c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

01 November 2025

09:17 WIB

500 Terpidana Mati Tunggu Kepastian Eksekusi

500 terpidana mati hidup tanpa kepastian menunggu eksekusi pengadilan terhadap mereka.  

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>500 Terpidana Mati Tunggu Kepastian Eksekusi</p>
<p>500 Terpidana Mati Tunggu Kepastian Eksekusi</p>

Ilustrasi Palu Hakim. Shutterstock/Stock Studio 4477.

JAKARTA - Kementerian Hukum (Kemenkum) mencatat sekitar 500 orang narapidana di Indonesia yang masih menunggu eksekusi hukuman mati. Mereka masih menunggu eksekusi pidana mati lantaran belum adanya aturan kejelasan waktu pelaksanaan hukuman mati.

"Bisa dibayangkan orang terpidana mati yang tidak ada waktu kapan (eksekusinya) ya, ini penantian yang luar biasa dan menjadi suatu masalah besar," kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkum Dhahana Putra dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Jakarta, Jumat (31/10) dikutip dari Antara.

Dhahana melanjutkan, pemerintah saat ini sedang memroses RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang dalam waktu dekat akan disampaikan Presiden Prabowo Subianto kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani.

Dalam RUU tersebut, Dhahana menyampaikan telah diatur bahwa pelaksanaan pidana mati tidak lebih dari 30 hari sejak penetapan pelaksanaan putusan, yang akan dilaksanakan di tempat tertutup dan terbatas, diutamakan di daerah tempat terpidana mati menjalani pembinaan.

Saat pelaksanaan putusan hukuman mati, pemberitahuan disampaikan kepada terpidana mati dan keluarga, presiden, advokat, Mahkamah Agung, menteri luar negeri, menteri hukum, menteri imigrasi dan pemasyarakatan, kepolisian, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Pemberitahuan itu disertai informasi upaya hukum, hasil pemeriksaan dan penilaian terpidana mati, dan keputusan penolakan permohonan grasi.

Ia menuturkan presiden dapat memberikan pertimbangan pelaksanaan pidana mati dan harus segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Apabila dalam 90 hari sejak keputusan pelaksanaan pidana mati diterima oleh presiden telah lewat dan presiden tidak menetapkan keputusan perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup, usulan perubahan pidana mati dianggap dikabulkan secara hukum," jelas Dirjen PP Kemenkum ini.

Dengan demikian, tambah Dhahana, RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati akan memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan hukuman mati.

Meski begitu, Dhahana menekankan dengan adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, pidana mati ke depannya akan menjadi upaya terakhir dalam pemberian hukuman oleh pengadilan.

Dalam KUHP baru, diatur bahwa pidana mati bukan lagi pidana pokok yang diberikan kepada narapidana, melainkan pidana alternatif yang disepadankan dengan hukuman penjara seumur hidup maupun 20 tahun.

"Inilah politik hukum, sejatinya pidana mati itu kita terapkan asas ultimum remedium. Bahkan ada kecenderungan tidak dilaksanakan," imbuh Dhahana.

Dikutip dari laman FH UMSU, ada dua asas penegakan hukum pidana, yaitu ultimum remedium dan primum remedium. Kedua asas ini memiliki fungsi yang berbeda dalam menentukan kapan hukum pidana harus diterapkan.

Ultimum remedium yakni hukum pidana hanya digunakan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah hukum. Jika suatu perkara dapat diselesaikan melalui cara lain, seperti mediasi, hukum perdata, atau hukum administrasi, maka pendekatan tersebut harus didahulukan sebelum menggunakan hukum pidana.

Sebagai contoh, dalam kasus pencemaran lingkungan, pelaku mungkin lebih dahulu diberikan sanksi administratif, seperti peringatan atau denda, sebelum dijerat dengan hukuman pidana.

Sedangkan primum remedium menekankan, hukum pidana adalah langkah utama yang digunakan untuk menegakkan hukum. Asas ini diterapkan ketika pelanggaran hukum dianggap serius dan membutuhkan efek jera yang kuat, sehingga tidak ada toleransi untuk menyelesaikan masalah melalui jalur lain terlebih dahulu.

Misalnya, dalam kasus pembakaran hutan yang merugikan masyarakat luas, pelaku langsung dijerat dengan sanksi pidana tanpa melalui tahapan penyelesaian lainnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar