04 Juli 2023
20:24 WIB
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Indonesia punya cita-cita menjadi bangsa yang besar. Ini bukan sekadar keinginan tak berdasar. Langkah mencapai cita-cita itu sudah disiapkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah menorehkannya dalam dokumen negara Visi Indonesia Tahun 2045.
Untuk mencapai cita-cita sebagai bangsa maju dan besar pada 2045, upaya itu didasari 4 (empat) pilar. Keempatnya adalah (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, serta (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan.
Di bidang pendidikan, sasaran yang dituju adalah terciptanya sumber daya manusia (SDM) unggul dan berbudaya. Angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi mencapai 60% dengan angkatan kerja lulusan pendidikan SMA sederajat dan PT mencapai 90% pada 2045.
Dengan tercapainya Indonesia emas, derajat kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia semakin baik. Rata-rata usia harapan hidup diproyeksikan mencapai 75,5 tahun.
Kesehatan dan pendidikan merupakan pilar pertama menuju Indonesia Emas 2045. Karenanya pembangunan pendidikan dan kesehatan semestinya berjalan selaras. Satu sama lain sama cepatnya, sama prioritasnya.
Sayangnya, dalam kenyataannya tidak demikian. Ini terpapar dari banyak sekolah di tanah air, termasuk di kota besar.
Semua anak Indonesia berhak untuk mendapatkan akses pada lingkungan aman, bersih dan sehat di sekolah. Toilet atau jamban yang bersih dan layak menjadi salah satu fasilitas wajib ada di sekolah. Selain itu, adanya toilet yang bersih dan layak di sekolah akan mendukung kesehatan siswa, meningkatkan kualitas pendidikan, mencegah penyakit menular, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual di sekolah.
Namun, 73% sekolah di Indonesia tidak memiliki sanitasi yang layak. Begitu, data profil sanitasi sekolah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 2020. Bahkan, satu dari tiga sekolah tidak memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Miris, bukan.
Padahal, Permendikbud Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTS dan SMA/MA menegaskan ini sebagai mandatory alias sarana wajib. Beleid itu juga mengatur rasio ideal untuk toilet atau jamban di sekolah.
Adapun rasio toilet SD ditetapkan 1:60 siswa laki-laki dan 1:50 siswa perempuan. Sementara itu, rasio toilet SMP, SMA/SMK adalah 1:40 siswa laki-laki dan 1:30 siswa perempuan.
Pada aturan yang sama, luas minimum satu unit jamban adalah dua meter persegi (m2). Serta, tersedia air bersih di setiap unitnya.
Namun, hasil studi UNICEF menyebutkan, 33% toilet di sekolah yang tidak dipisah antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan. Hal ini membuat siswa perempuan tidak nyaman untuk mengganti pembalut di toilet sekolah saat mereka menstruasi. Banyak anak perempuan harus menunggu sampai waktu pulang sekolah untuk mengganti pembalut.
Padahal, dari segi kesehatan, pembalut sebaiknya diganti setiap 4-5 jam sekali. Ini menyebabkan potensi penyakit kulit, iritasi hingga terkena kanker serviks, jadi besar.
Kemendikbud juga memaparkan, dari data Profil Sanitasi Sekolah tahun 2020, hanya 16% satuan pendidikan memiliki akses pada semua layanan dasar, yaitu tersedia air, sanitasi dan kebersihan sekaligus. Selanjutnya, ada 43,5 juta anak Indonesia yang tidak memiliki akses pada salah satu atau kombinasi dari akses air minum dasar, sanitasi dasar dan kebersihan dasar di satuan pendidikan mereka.
Sementara itu, pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk kepentingan itu. Seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, tertulis, dana BOS Reguler untuk membantu biaya operasional sekolah. Serta, meningkatkan aksesbilitas dan mutu pembelajaran bagi peserta didik, dengan besaran yang disesuaikan dengan jumlah peserta didik.
“Dana BOS yang disalurkan ke masing-masing sekolah, bisa digunakan untuk perbaikan dan pembangunan toilet. Namun memang ada beberapa sekolah yang mementingkan hal-hal terkait pembelajaran ketimbang sarana prasarana yang ada,” jelas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Iwan Syahril, Senin (3/7).
Iwan menyampaikan, pemanfaatan dana BOS berada di tangan satuan pendidikan. Masing-masing berhak memutuskan penggunaan dana BOS tersebut, karena memahami kebutuhan apa yang paling mendesak. Pembangunan toilet yang baik, semestinya tercakup jika pihak sekolah ingin menggunakannya.
Dia menguraikan, Kemendikbudristek terus berupaya meminta satuan pendidikan menyediakan toilet layak, bersih dan terpisah. Sebab hal tersebut sesuai dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030.
Salah satu indikator utama SDG 4 terkait pendidikan, terkait ketersediaan air, sanitasi dan kebersihan (WASH) di sekolah, yaitu akses air minum dasar, akses sanitasi dasar, dan akses kebersihan dasar.
Iwan mengamini, toilet dan sanitasi sekolah merupakan hal yang krusial di tiap-tiap sekolah.
Sekolah dapat dikatakan menerapkan sanitasi sekolah yang baik apabila dapat sekolah tersebut dapat memenuhi tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, sekolah memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi. Terutama, akses pada sarana air bersih yang aman dari pencemaran. Sanitasi (jamban) berfungsi dan terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan, serta fasilitas cuci tangan pakai sabun.
Kedua, sekolah melaksanakan kegiatan pembiasaan hidup bersih dan sehat (PHBS) sekolah. Seperti, kegiatan cuci tangan pakai sabun (CTPS) secara rutin dan memastikan pelaksanaan manajemen kebersihan menstruasi (MKM) secara konsisten.
Ketiga, adanya dukungan manajemen sekolah untuk mengalokasikan biaya operasional dan pemeliharaan sarana sanitasi.
“Jika ketiga hal ini bisa dipenuhi oleh tiap-tiap satuan pendidikan tentu anak-anak kita akan merasa nyaman saat belajar di sekolah dan mereka akan terhindar dari berbagai penyakit menular,” kata Iwan.
Di sisi lain, dia juga mengamati berbagai faktor penyebab sekolah tidak memiliki toilet dan sanitasi baik. Selain karena kekurangan biaya, beberapa sekolah juga tidak memiliki lahan yang cukup untuk membangun toilet di sekolah tersebut.
“Selain itu, ada juga sekolah-sekolah yang menggunakan ruang kelas secara bergantian sehingga toilet yang ada tidak bersih, kemudian akses air bersih yang sulit, dan beberapa hal lainnya,” katanya.

Toilet Di Madrasah
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan & Kesiswaan Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) Moh. Isom di kesempatan berbeda, juga mengungkapkan hal sama di lembaga pendidikan agama. Dia mengutip data Profil Sanitasi Madrasah 2020. Data itu mencatat, hanya 50% madrasah memiliki akses ke sanitasi dasar. Atau, fasilitas sanitasi layak yang terpisah berdasarkan jenis kelamin. Sementara, 50% lainnya menggunakan fasilitas sanitasi terbatas atau tidak memiliki akses sama sekali.
“Ini terus menjadi perhatian kita, kami sudah meminta agar tiap-tiap madrasah yang ada di Indonesia bisa memiliki toilet layak dan terpisah jadi toilet yang digunakan siswa laki-laki dan perempuan tidak campur,” kata Isom kepada Validnews, Sabtu (30/6).
Dia melanjutkan, salah satu komponen penting dalam pemenuhan hak anak di madrasah adalah ketersediaan sarana air, sanitasi dan kebersihan. Atau disebut sanitasi madrasah.
Namun diakuinya, hingga saat ini, sanitasi di madrasah belum menjadi isu prioritas bersama yang perlu mendapat perhatian.
Padahal, dalam beberapa penelitian yang dilakukan Kemenag, ketersediaan sanitasi yang memadai akan memberikan dampak luar biasa. Yaitu, pada beberapa indikator utama dalam pembangunan sektor kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, ekonomi, serta air dan sanitasi.
Diurainya, belum semua madrasah memperhatikan kesehatan lingkungan sekolah khususnya keberadaan toilet. Padahal buruknya fasilitas sanitasi di madrasah dapat memengaruhi kualitas pendidikan. Seperti, hilangnya waktu belajar dan menurunnya produktivitas siswa akibat sering tidak masuk sekolah.
“Karena banyak madrasah yang tidak mengalokasikan anggaran operasional dan perawatan sarana sanitasi di sekolah,” beber Isom.
Menyangkut hal sama, Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anas Ma’ruf menyampaikan, data Kemenkes pada 2022 menyimpulkan, sekitar 293 ribu sekolah, tidak memiliki akses terhadap air bersih dan toilet terpisah bagi siswa laki-laki dan perempuan.
Padahal, jika siswa laki-laki dan perempuan menggunakan toilet yang sama, akan menimbulkan beberapa masalah. Siswa perempuan paling banyak yang merugi.
Karena, berpotensi terinfeksi penyakit menular. Lalu, ada juga potensi kasus kekerasan seksual, hingga munculnya masalah sosial berbasis gender.
“Ini tentu perlu menjadi perhatian bersama, apalagi perempuan membutuhkan waktu lebih lama dari laki-laki saat menggunakan toilet, untuk itu toilet ini harus terpisah dan bersih,” tegas Anas kepada Validnews, Jumat (29/6).
Dia menyebutkan, standar toilet bersih dan layak sudah ada di Kepmenkes Nomor 1429 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah. Soal penyediaannya, Kemenkes juga berharap, pemerintah daerah membantu sekolah menyediakan toilet dan akses air bersih.
Adanya aturan-aturan hukum akan toilet ini, seperti Kepmenkes dan Permendibudristek memang tak membuat para pihak patuh. Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono menilai, pengabaian aturan-aturan itu selayaknya diperhatikan pemerintah.
“Aturan sudah ada, namun sayangnya masih ada masalah terkait komitmen pimpinan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan,” kata Aris kepada Validnews, Rabu (28/6).
Aris menemukan, pengabaian ini juga terkait dengan masih ada pandangan penyelenggara dan pelaksana pendidikan. Kebanyakan mereka menempatkan layanan pendidikan utama adalah pembelajaran. Mereka kurang memperhatikan pentingnya sarpras (sarana dan prasarana), terutama toilet, akses air bersih.
Sejatinya, tersedianya toilet bersih dan sanitasi yang baik adalah hak siswa. Sebagaimana amanat konstitusi dan ditegaskan dalam UU Nomor 35 Tahun 2024 tentang Perlindungan Anak. Sekolah, lanjut dia, harus mampu mengintegrasikan pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan.
Dia tak menafikan, isu ketersediaan toilet layak dan sehat di sekolah menurut dia juga karena pengawasan yang kurang tegas.
Karenanya, KPAI mendorong pemerintah pusat dan daerah betul-betul memperhatikan penggunaan anggaran BOS pusat ataupun daerah. Salah satunya manfaatnya adalah untuk menyediakan layanan toilet dan sanitasi yang memenuhi standar.
Saat ini, KPAI sedang melakukan pengawasan terkait implementasi sekolah ramah anak. Salah satu instrumennya adalah menggali data terkait ketersediaan toilet, air bersih, kantin sehat, UKS, dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan layanan pendidikan, juga harus memperhatikan pemenuhan hak kesehatan dasar peserta didik.
Ditemui pada kesempatan terpisah, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA, Rini Handayani menyuarakan hal senada. Dari sudut pandang PPPA, Rini menekankan, penyediaan toilet bersih, layak, dan terpisah adalah salah satu upaya pemenuhan hak anak.
“Hal ini pun sudah kami masukkan dalam standardisasi sekolah ramah anak, dengan tujuan mendukung tumbuh kembang anak yang sehat dan tangguh,” kata Rini kepada Validnews, Sabtu (30/6).
Upaya yang dilakukan Kementerian PPPA dalam hal ini adalah mengaitkannya dalam standardisasi Sekolah Ramah Anak (SRA). Pemerintah mendorong sekolah bisa menciptakan lingkungan sekolah bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merugikan anak.
Secara khusus pula, Kementerian PPPA menegaskan, bukan hanya harus ada. Toilet juga harus dipisahkan untuk siswa laki-laki dan perempuan. Pemisahan harus dilakukan sejak di pendidikan anak usia dini (PAUD).
Hal itu harus dilakukan agar anak-anak mengetahui adanya batasan antara laki-laki dan perempuan. Selain, itu hal ini juga diyakini akan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di sekolah.
Toilet, diamini semua narasumber, merupakan salah satu komponen yang masuk dalam sarana prasarana pendukung yang wajib ada di setiap sekolah. Juga, harus diingat bahwa toilet kotor merupakan sarang penyakit, paling umum adalah diare, infeksi saluran kemih.
Jika siswa kerap sakit karena tidak tersedianya jamban, cita-cita Indonesia Emas pasti hanya sekadar angan-angan.