17 November 2025
13:45 WIB
Siswa Meninggal Diduga Perundungan, Satgas TPPK Disorot
Saat Satgas TPPK dibentuk, JPPI menilai kekerasan di sekolah makin meningkat hingga ada korban meninggal seperti di SMPN 19 Tangsel, Banten.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi perundungan di sekolah. Shutterstock/Odua Images.
JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti lemahnya kinerja Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) di sekolah, buntut meninggalnya siswa SMPN 19 Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, diduga akibat perundungan siswa di sekolah yang sama.
JPPI menilai, TPPK dibentuk hanya untuk memenuhi persyaratan administratif, tapi tidak bekerja efektif. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus di berbagai daerah yang tidak ditangani dengan serius, pelapor tidak didampingi, dan korban tidak mendapatkan perlindungan.
"Jika TPPK bekerja sebagaimana mestinya, tidak mungkin kita terus melihat korban berjatuhan seperti sekarang," tegas Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, melalui keterangan tertulis, Senin (17/11).
JPPI juga mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) serta pemerintah daerah untuk mengevaluasi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kinerja satgas ini dinilai tidak jelas karena kasus kekerasan di sekolah justru meningkat.
Dia pun mengingatkan, sekolah harus menjadi ruang aman, ramah, dan mendidik bagi semua anak. Kekerasan yang terus berulang menunjukkan ada masalah serius dalam manajemen sekolah, pengawasan pemerintah, dan lemahnya implementasi regulasi perlindungan anak.
"Hari ini anak-anak kita tidak aman di sekolah. Jika negara tidak segera bertindak, maka tragedi akan terus berulang," pungkas Ubaid.
Baca juga: KPAI Saran Perundungan di SMPN 19 Tangsel Ke Jalur Hukum
Selain itu, JPPI juga mendesak Kepala SMPN 19 Tangerang Selatan (Tangsel), Banten mengundurkan diri. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban atas meninggalnya seorang siswa SMPN 19 Tangsel diduga akibat menjadi korban perundungan sesama siswa sekolah itu.
"Kepala sekolah harus mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab atas gagalnya perlindungan anak di sekolah," ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, melalui keterangan tertulis, Senin (17/11).
Dia menjelaskan, kepala sekolah adalah penanggung jawab utama keamanan peserta didik di lingkungan sekolah. Jika ada anak yang menjadi korban kekerasan hingga kehilangan nyawa, hal itu adalah kegagalan kepemimpinan.
Kepala sekolah yang gagal menjamin keselamatan anak pun harus mengambil tanggung jawab moral dengan mengundurkan diri.
Apalagi, lanjut Ubaid, kekerasan yang dialami korban bukan kejadian baru. Informasi yang dia dapat, praktik perundungan telah berlangsung sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada bulan Juli.
Namun, tidak ada intervensi nyata dari sekolah maupun satgas pencegahan kekerasan. Perundungan seolah dibiarkan terjadi pada korban selama berbulan-bulan hingga akhirnya anak tersebut meninggal pada bulan November.
"Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi bentuk nyata kegagalan negara memastikan sekolah aman," tambah Ubaid.