c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

27 Oktober 2025

19:30 WIB

Siasat Mengajak Warga Berdaya Dengan Sampah Plastik

Aktivitas ecobrick bisa menjadi pintu masuk ideal agar masyarakat mau mulai memilah sampah di rumahnya. Nilai ekonominya juga bisa memberdayakan warga.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Rikando Somba

<p>Siasat Mengajak Warga Berdaya Dengan Sampah Plastik</p>
<p>Siasat Mengajak Warga Berdaya Dengan Sampah Plastik</p>
Sejumlah perempuan membuat ecobrick. Dok.Yayasan GSSI

JAKARTA - Usia yang sudah 66 tahun bukan lah penghalang buat Umi Tutik Asmawi untuk berkeliling daerah membimbing anak sekolah, guru, hingga ibu rumah tangga. Semua dilakukannya dengan niat dan penuh dedikasi. Umi mengajari siapapun cara menangani sampah plastik. Salah satunya, dengan mengubahnya jadi ecobrick.

Ecobrick merupakan botol plastik yang diisi padat dengan sampah plastik kering dan bersih. Ecobrick biasanya digunakan sebagai material ramah lingkungan buat furnitur, bangunan, dan kebun.

Saban dia mendatangi suatu daerah, pasti Umi akan memamerkan ecobrick buatannya. Di antaranya, kursi yang terbuat dari 24 ecobrick. Ini dilakukannya untuk meyakinkan ibu-ibu bahwa sampah plastik masih bisa diolah menjadi benda bermanfaat. 

Selain kursi, ecobrick dapat dirangkai menjadi meja, sofa, pot, pagar, dan lainnya. Semakin banyak ecobrick yang digunakan, semakin banyak pula sampah plastik yang tertangani. Sebab, untuk membuat ecobrick dari botol berukuran 600 mililiter saja, dibutuhkan sampah plastik 200 hingga 250 gram.

Umi mengaku senang akan antisiasme mereka yang didatangi. Banyak ibu-ibu yang jadi tertarik mengumpulkan sampah plastik setelah mendengarkan penjelasannya. Umi tidak keberatan jika harus membimbing mereka berhari-hari sampai berhasil membuat barang bermanfaat dari ecobrick.  

Meski begitu, ada juga masyarakat yang punya seribu alasan saat diajak berkreasi dengan ecobrick. 

“Saya tidak ada darah seni. Membuat ecobrick kan harus kreatif,” kata Umi menirukan salah satu alasan yang didengarnya, saat berbincang dengan Validnews di kompleks kampus Universitas Budi Luhur, Jakarta, Jumat (24/10).

Umi tidak akan diam jika mendengar alasan seperti itu. Dia tetap berupaya menjelaskan beragam hal baik dari ecobrick. Sebab, ecobrick sebenarnya tidak sulit dibuat. Di media sosial, juga banyak tersaji karya ecobrick yang bisa dicontoh. 

Pembuatan ecobrick juga tidak mesti dilakukan sendiri. Misalnya, di desa binaan Bank Sampah Budi Luhur, karya dari ecobrick ada yang dibuat secara berkelompok.

Sayangnya, saat minat akhirnya bertumbuh, masyarakat kadang merasa kesulitan mendapatkan sampah plastik. Umi cukup sering menerima keluhan seperti ini. 

Terkait ini, Umi menyarankan agar mereka bekerja sama dengan pengelola warung makan. Jadi, sampah plastik yang dihasilkan warung makan bisa dikumpulkan untuk mereka.

Umi sampai rela mendampingi masyarakat binaannya bertemu dengan pengelola warung makan. Bagusnya, pengelola warung makan rata-rata setuju. Sebab mereka hanya tinggal menaruh plastik saset di sebuah kantong plastik besar yang telah Umi dan teman-temannya sediakan. Setiap sore, kantong plastik yang telah terisi penuh itu akan diambil.  

“Bisa warteg, warung mi, tukang kopi kami ajak kerja sama. Kasih mereka kantong plastik kresek yang besar untuk menaruh sampahnya,” kata Umi.

Pemilik warung makan biasanya akan bersedia karena kegiatan ini memudahkannya mengelola sampah. Apalagi mereka tidak direpotkan. Kantong plastik sudah disediakan, berikut guntingnya jika diperlukan untuk memotong sampah plastik saset.

Tumbuhkan Kebiasaan Baru
Target Umi bukan hanya ibu-ibu. Siswa dan guru di sekolah juga menjadi sasarannya. Ia bercerita pernah mengajarkan ecobrick ke seratus siswa SD di sekolah, dan ini tidak cukup dijalani satu sesi saja.

Pada sesi berikutnya, Umi akan datang lagi ke sekolah untuk mengumpulkan ecobrick yang dihasilkan dari sampah plastik dari rumah para siswa. Dari ecobrick yang terkumpul, huruf-huruf besar dibuat dan disusun hingga bertuliskan nama sekolah mereka. 

Karya ini kemudian dipajang di sekolah sebagai simbol sekolah ramah lingkungan. “Di SD Islam Terpadu bikin ecobrick ada yang bikin taman-taman, hiasan pagar. Ada nama sekolah ecobrick dimasukkan rangka besi menyerupai huruf-huruf,” kata perempuan dengan tujuh cucu ini.

Umi makin senang karena kegiatan ini menumbuhkan kebiasaan baru sejumlah siswa. Mereka jadi terbiasa membuat ecobrick di rumahnya masing-masing. 

Hanya saja, kebiasaan baru ini diakui Umi lebih berpeluang muncul di pedesaan. Umi merasa lebih mudah mengajar di desa, di mana masyarakatnya menilai ecobrick sebagai suatu seni keindahan. Sementara buat masyarakat perkotaan, ecobrick lebih sering dianggap tidak bernilai. 

Umi mengaku tidak mau dibayar setiap kali diundang masyarakat untuk menyampaikan edukasi terkait penanganan sampah, termasuk ecobrick. Kesehariannya, Umi  banyak menghabiskan waktunya di Bank Sampah BL. Orang-orang yang tertarik ecobrick bisa bertanya langsung padanya di sana. 

Selama ini, ada saja orang datang padanya, entah itu minta diajarkan ecobrick atau sekadar meminta sampah plastik. ”Tidak rugi saya, karena tidak mungkin dia ambil sampai satu ton,” Umi berseloroh.

Umi bahkan tidak akan keberatan jika ada orang meminati karya yang dibuatnya dari ecobrick. Pernah Umi membuat sofa, tapi akhirnya diberikan kepada desa binaan Bank Sampah BL di Bogor. Dia juga mempersilakan jika ada yang mau menemuinya di rumah. Biasanya ia ada di rumah di akhir pekan. 

“Banyak yang sudah datang ke rumah. Minta tolong buat tugas keterampilan anaknya di sekolah,” jelas pendiri sekaligus koordinator Bank Sampah Budi Luhur.

Di lokasi lain, Koordinator Kampung Ramah Lingkungan (Kang Raling) Tini Martini Tapran juga melakukan hal serupa. Dia menggerakkan warga Desa Mekargalih membuat ecobrick untuk bahan pembuatan bangunan bank sampah KSM Binangkit.

Butuh tujuh bulan untuk mengumpulkan 500 kg sampah plastik yang sudah dijadikan ecobrick. Botol-botol berisi sampah plastik ini kemudian dijadikan dinding KSM Binangkit.

“Kalau 500 kg itu dibiarkan terurai atau dibiarkan di lapangan, itu bisa penuh lho satu lapangan bola,” jelas Ketua Yayasan Generasi Semangat Selalu Ikhlas (GSSI) ini, Jumat (24/10).

Sepanjang tahun ini, warga Desa Mekargalih sebenarnya berhasil mengumpulkan dua ribuan botol ecobrick atau 600 kg sampah plastik. Jumlah ini lebih sedikit dibanding dari tahun lalu yang mencapai tiga ribuan botol ecobrick dari 800 kg sampah plastik. Artinya, menurut perempuan yang sudah memberikan, kondisi Mekargalih semakin baik dari masalah persampahan.

“Tahun lalu di Mekargalih, mereka sampai rebutan sampah dan mereka mencuci sampah dari jalan, dari selokan. Nah tahun ini alhamdulillah selokannya nggak kotor-kotor banget, nggak banyak sampah di kebun. Karena memang sudah diambil sama orang-orang, dikumpul lah,” kata perempuan yang sudah memberikan edukasi persampahan di Jawa Barat lebih dari 10 tahun ini.

Solusi Jangka Pendek
Meski mampu membuat ribuan botol tiap tahun, namun tidak semua warga desa setuju penanganan sampah dengan cara ecobrick. Mereka menilai ecobrick bukan solusi jangka panjang. Sebab hal ini diamati mendorong orang memakai produk saset.

“Kalau kontra sok atuh bagaimana caranya, kasih dong solusinya atasi persampahan,” ujarnya.

Dia mengakui ecobrick adalah solusi jangka pendek untuk atasi masalah sampah kemasan yang tidak bernilai seperti saset atau plastik potongan kecil. “Karena sampah jenis itu tidak bisa dijual dijual di bank sampah. Lalu ini siapa yang menyelesaikan. Kalau dibiarkan mencemari sungai dan kebun. Jika dibakar juga menimbulkan asap dioxin,” kata Tini.

Namun, Tini yakin ecobrick menjadi pintu masuk ideal agar masyarakat mau mulai memilah sampah. 

Ia sendiri, setiap kali mengedukasi selalu mengedepankan untuk meminimalisir munculnya sampah. Ecobrick masuk dalam langkah terakhir penanganan sampah. 

Gerakan serupa Umi dan Tini juga dilakukan Riyadi Achmad, Leader Selayar Bebas Sampah Plastik (SBSP). Dia mendorong ecobrick setelah menyadari laut Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, kerap mendapat kiriman sampah dari luar Indonesia.

Kemasan plastik yang kerap ia temukan di laut Kepulauan Selayar merek dan bahasanya berasal dari negeri lain. Biasanya ada dari  Vietnam dan China. Meski begitu, sampah yang dihasilkan masyarakat setempat juga ada banyak.  

“Kita mengedukasi mereka bahwa ketimbang dibuang di laut mending jadikan ecobrick. Kita juga mewajibkan relawan kami membuat ecobrick satu bulan satu ecobrick sebagai tanggung jawab sampah yang dihasilkan,” kata pria yang disapa Adi itu, Rabu (22/10).

Tidak terasa sudah tiga tahun Adi mengedukasi ecobrick ke warga Selayar. Ini dilakukannya karena pemerintah belum punya cara yang efektif mengatasi masalah sampah di Selayar. 

“Satu orang buat satu ecobrick berarti Anda menyelamatkan 250 gram sampah tidak terlepas ke lingkungan,” tegasnya.

Sementara Pendiri Si Paling Lingkungan, Reizha Ananda Setyara, mendorong ecobrick di kalangan anak muda. Dirinya bersama rekan-rekan komunitas Si Paling Lingkungan kerap mengisi workshop di kampus dan sekolah. Teknisnya, para peserta yang hadir sudah membawa satu ecobrick. Saat acara dimulai, Reizha akan mengajarkan bagaimana membentuk ecobrick menjadi sebuah karya. Universitas Negeri Jakarta dan Trisakti merupakan dua kampus dari beberapa kampus yang menggelar workshop ini.

Reizha mengaku tak selalu mendapat bayaran saat komunitas yang berdiri pada 2023 ini mengisi workshop. “Kadang ada yang sekedar silaturahmi. Jadi ada yang gratis, ada yang berbayar. Misal, mereka ada rezeki ya sudah terima,” ungkapnya.

Gerakan membuat ecobrick yang coba digalakkan di masyarakat, menurut Direktur Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (PPIM UIN Jakarta), Iim Halimatusa’diyah, merupakan inisiatif yang perlu diapresiasi. 

Namun, pendekatan seperti ini diakuinya bukan solusi untuk permasalahan sampah secara keseluruhan. Menurutnya, permasalahan sampah harus ditangani dari pelbagai sisi, mulai dari penanaman perilaku ramah lingkungan di level individu hingga penguatan peran pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang tegas terkait penggunaan plastik.

Selain itu, kata Iim, penanganan sampah memerlukan infrastruktur yang baik. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi sampah juga harus bertanggung jawab atas produknya.

“Tanpa pendekatan komprehensif dari berbagai pihak saya kira permasalahan sampah plastik akan sulit diselesaikan,” pungkasnya, Sabtu (25/10).

Masalah sampah memang tak bisa dianggap remeh. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari 329 kabupaten/kota se-Indonesia pada 2024, timbulan sampah mencapai 34.969.723,79 ton per tahun. Dari 34.969.723,79 ton tersebut, sampah terkelola hanya 33.09% atau 11.571.462,46 ton per tahun. Sampah tidak terkelola mencapai 66.91% atau 23.398.261,33 ton per tahun.

Berdasarkan komposisi sampah, pada tahun 2024 jenis sampah plastik menempati posisi kedua terbanyak setelah sampah sisa makanan. Rinciannya, sisa makanan sebanyak 37,84% dan plastik 19,52%.

Komposisi lainnya yakni kayu atau ranting 13,38%, kertas atau karton 11,17%, logam 3,3%, kain 2,66%, kaca 2,28%, karet atau kulit 2,11%, dan lainnya 7,64%. Dari hal ini, ecobrick memang relevan sebagai salah satu 'jalan' mengurangi kotornya lingkungan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar