c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

07 Mei 2021

19:53 WIB

Serak Emosi Terlecut Ujung Sarung

Hikayat sarung sangat jauh dari kekerasan. Bahkan banyak kalangan melekatkannya dengan keislaman

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

Serak Emosi Terlecut Ujung Sarung
Serak Emosi Terlecut Ujung Sarung
Perang sarung yang dilakukan oleh para remaja. Tangkap layar Youtube/dok

JAKARTA – Sehabis salat tarawih sejumlah remaja di sekitar Masjid Al-Ikhlas, Bogor Barat, langsung bergerombol di taman masjid. Sebagian sibuk memilin dan mengikat bagian ujung sarung agar mudah diayunkan saat ‘perang sarung’ nanti. 

Rencananya, Diky (15) dan teman-teman sekitaran rumahnya akan mengajak remaja RW sebelah untuk bertanding di jalan kosong kompleks. Persiapan mereka matang, mulai dari urusan strategi hingga sarung. Bahkan Diky mencoba berulang kali bongkar pasang sarung agar bagian ujungnya benar-benar menggumpal.

"Cuma main-main, kan ini tidak sakit, pakai sarung. Lagipula enggak setiap malam main (perang sarung)," ujar Diky saat berbincang dengan Validnews, Kamis (6/5).

Waktu telah menuju pukul 22.00 WIB. Terlihat gerombolan remaja lainnya datang dari arah berlawanan. Saat jarak kedua kelompok remaja ini sudah cukup dekat, duel pun pecah. Sarung-sarung yang diayunkan segera beradu dengan sarung lainnya. Kadang, ujung sarung juga menyasar ke muka, tangan ataupun dada lawan. 

Namun, kegaduhan yang mereka buat tak berlangsung lama. Warga yang merasa terganggu menyiram Diky dkk dengan air di gayung dan membubarkannya. Namun bukannya pulang ke rumah, Diky dkk justru memindahkan lokasi duel di Ruang Terbuka Hijau (RTH) kompleks sebelah.

Perang sarung pada malam itu tidak hanya melibatkan para remaja tanggung saja. Warga seumuran Saldy (25) bahkan terlihat menikmati perang-perangan ini. Saldy mengaku, kegiatan perang sarung ini sudah terjadi sejak lama dan turun temurun. Biasanya dilakukan sehabis tarawih sampai sahur.

"Sambil jalan-jalan putarin komplek bangunin sahur nantinya," begitu ucapnya.

Tersulut Emosi
Meski rutin menjalani sehabis tarawih, Saldy mengakui kalau perang sarung belakangan ini jadi ajang gengsi dan rentan berujung tawuran. Maklum saja, permainan ini memang dominan melibatkan para remaja yang masih labil emosinya. 

"Biasanya slek-nya itu karena ejek-ejekan. Jadi berantem ujungnya. Sampai jadi tawuran," imbuh dia.

Permainan yang kerap muncul di bulan Ramadan ini memang bisa berbahaya jika peserta sudah tersulut emosinya. Contohnya, kejadian di Tangerang pada bulan April 2021. Satu remaja didapati tewas dengan luka bacok di dada akibat tawuran yang diawali perang sarung.

Di Kota Bogor juga sempat terjadi perang sarung berdarah dengan korban luka-luka tiga orang. Dari mulanya bercanda riang menggunakan sarung, para pelaku di sana akhirnya tawuran menggunakan pedang dan golok.

Direktur Eksekutif Menara Center, Nabiel Hayaze mengakui bahwasanya perang sarung sudah berkembang menjadi tradisi di bulan Ramadan. Karena pada bulan ini jumlah salat lebih banyak ditambah tarawih sehingga waktu menggunakan sarung semakin sering.

Akan tetapi, perang sarung dipastikannya sebatas permainan. Tak pernah ada kisah atau pun catatan, bahwa perang sarung dimainkan untuk melukai.

"Yang salah itu orangnya, pola pikir anaknya. Sarung itu identitas Islam yang digunakan untuk salat. Lagipula sarung kan tidak ada material melukai sebenarnya," paparnya.

Hasil Modifikasi
Nabiel kemudian menceritakan hikayat sarung yang sangat jauh dari kekerasan. Sarung awalnya merupakan kain yang tidak dijahit ujungnya, bernama Saba'iyah dan merupakan pakaian masyarakat Hadhramaut di bagian Yaman. Warga Hadhramaut yang disebut Hadhrami kemudian melakukan perjalanan ke Indonesia. Ada yang menyebarkan agama Islam, berdagang, maupun berbisnis.

Para pendatang dari Hadhrami yang datang ke Nusantara ini mengenakan kain Saba'iyah karena dianggap lebih luwes dan memudahkan gerakan di atas kapal atau perahu. 

Namun, sebelum sampai Nusantara, para pendatang ini transit di India yang lekat nuansa Hindu dan memiliki kain putih menyerupai sarung. Oleh karenanya, saat akan pergi dari India, kain Mori dari India itu juga ikut dibawa ke Nusantara.

Begitu sampai di Nusantara, barulah proses modifikasi terjadi. Perpaduan Saba'iyah yang aslinya bercorak ngejreng dan tidak dijahit disesuaikan dengan kain di India yang dijahit dan digulung. Budaya lokal juga ikut mempengaruhi proses modifikasi ini.

Hasil modifikasi yang disebut sarung itu kemudian berkembang menjadi identitas Islam. Identik dengan salat, budaya masjid, budaya santri dan sebagainya. Bahkan, kemudian ada berkembang kesan doktrinisasi bahwa saat salat ke masjid harus pakai sarung.

"Jadi jelas sarung ini berasal dari pendatang Hadhramaut, yang kemudian beradaptasi dan terpengaruh budaya lokal Indonesia serta juga India, hingga akhirnya menjadi identitas Islam," urai Nabiel kepada Validnews, Kamis (6/5).

Seiring waktu, sarung makin multifungsi. Salah satunya untuk permainan, seperti ninja-ninjaan ataupun perang sarung. Sarung juga menjadi atribut yang lekat dengan banyak tradisi di Nusantara. Dan, salah satunya adalah sebagai atribut perang. Namun, sarung sebatas dipakai sebagai pembatas arena perang antar individu. Tradisi di Sulawesi Selatan yang namanya Sigajang Laleng Lipa adalah contohnya. .

Menurut buku berjudul Riset Budaya: Mempertahankan Tradisi di Tengah Krisis Moralitas, Sigajang Laleng Lipa adalah salah satu ritual penting masyarakat Bugis. Ritual ini dilakukan dengan menyatukan dua pria di dalam sebuah sarung. 

Sigajang Laleng Lipa ini juga sebuah tradisi yang dimiliki masyarakat Bugis untuk menyelesaikan sebuah masalah. Tradisi ini sendiri artinya saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung, dengan melakukan kesepakatan antara kedua belah pihak. Konon, tradisi ini berasal dari sifat masyarakat bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, atau yang dalam bahasa bugisnya disebut Siri.

Kedua pria itu akan saling bertarung dan adu kekuatan hingga keduanya sama-sama mati atau sama-sama hidup, atau salah satunya mati. Jarang dalam ritual ini pihak yang mati atau hidup sendirian.

Ritual Sigajang Laleng Lipa diyakini mulai dilakukan pada masa Kerajaan Bugis ratusan tahun lalu. Pada masa itu, jika ada dua keluarga yang berseteru, penyelesaian terakhirnya adalah dengan adu kekuatan lewat upacara Sigajang Laleng Lipa. Kalau ada keluarga yang merasa harga dirinya diinjak, pertarungan ini akan dilangsungkan agar segala permasalahan segera diselesaikan dan perselisihan tidak terus terjadi.

Di sisi lain, menurut kepercayaan, ritual ini juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Bugis. Mereka mengartikan sarung sebagai simbol persatuan dan kebersamaan. Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri mereka ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antarmanusia. Jadi, maknanya jauh dari sekadar perkelahian.

Tampak Keren
Pemaparan di atas setidaknya menunjukkan kalau penggunaan sarung di Tanah Air sarat makna. Lain halnya dengan perang sarung versi para remaja.

Soal perang sarung belakangan ini, Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Gisella Tani Pratiwi menjelaskannya. Katanya, pada usia remaja, otak emosi memang berkembang lebih dulu daripada otak logika. Artinya, remaja sering kali mudah terpicu emosi dan melakukan perilaku atau suatu tindakan tanpa pikir panjang.

Ia mengimbau para orang tua untuk mempraktikkan pengasuhan yang sehat dan sesuai dengan perkembangan anak sejak dini. Hal ini bisa mengurangi risiko terlibat pada perilaku yang berbahaya saat dewasa.

Namun, orang tua juga perlu memperhatikan faktor lain yang dapat membuat perilaku pada usia dewasa menjadi berisiko dan terkesan di luar nalar. Misalnya, faktor lingkungan.

Kondisi remaja juga menjadi lebih rentan, karena adanya perkembangan hormonal masa pubertas, yang memunculkan fluktuasi dan intensitas emosi. Hal ini terjadi terutama saat mereka memiliki pemahaman bahwa mengikuti suatu kegiatan yang berisiko akan membuat mereka terlihat keren dan bisa diterima oleh teman sebayanya.

"Tapi pendampingan dan pengasuhan anak remaja harus berlangsung terus menerus sih. Karena setiap masa perkembangan ada ciri khas dan kebutuhan pengasuhannya masing-masing," terang Gisella kepada Validnews, Jumat (7/5).

Edukasi dan pengawasan orang tua untuk mengelola emosi pada remaja, sangat diperlukan. Orang tua perlu memberikan alternatif kegiatan pengembangan diri yang lebih positif, agar mereka tidak terlibat dalam aktivitas yang membahayakan diri. Hal ini diperlukan untuk mencegah perang sarung lebih dari sekadar permainan usai tarawih.

"Artinya, tidak hanya faktor pengasuhan yang menyebabkan seorang remaja melakukan tindakan berisiko, seperti perang sarung yang berujung tawuran itu," tutupnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar