21 Agustus 2021
12:24 WIB
Editor: Rikando Somba
BANDA ACEH – Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh mencatat selama setahun ini, hingga Juni 2021, ada 202 kasus tindak kekerasan terhadap anak yang terdiri dari 46 kasus pelecehan seksual, 45 kasus kekerasan psikis, dan 34 kasus kekerasan fisik di provinsi tersebut. Komisi menilai, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dinilai belum membuat jera para pelaku kekerasan terhadap anak.
KPPA menginginkan adanya upaya pemulihan kondisi korban (restitusi) atau penggantian kerugian yang dialami korban baik secara fisik maupun mental. Selayaknya, ada peraturan gubernur di Aceh yang mengatur hal ini.
“Qanun Jinayat lebih mengutamakan penghukuman pada pelaku kejahatan dan belum menyentuh pada aspek perlindungan terhadap anak yang menjadi korban,” kata Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh Ayu Ningsih, di Banda Aceh, yang dikutip dari Antara, Sabtu (21/8).
Ayu menjelaskan, Qanun Jinayat masih menawarkan tiga alternatif hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak . Ada hukuman cambuk, kurungan, dan denda. Namun, menurutnya penegak hukum belum pernah memakai qanun tersebut untuk menjerat pelaku kekerasan terhadap anak di Aceh. Padahal, sudah sepantasnya para aparatur hukum memastikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan.
“Seharusnya Pemerintah menerapkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak bagi pelaku kekerasan terhadap anak,” katanya.
Dalam Webinar bertajuk Ruang Negosiasi pada Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Dalam Tinjauan Sosiologis, Yuridis, dan Politis diselenggarakan Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (FISIP USK), Ayu Ningsih menjelaskan anak yang menjadi korban pemerkosaan sangat rentan menjadi pelaku, dan dijunctokan dengan pasal-pasal lain dalam Qanun Jinayat, seperti pengakuan zina dan zina anak.
Sebaliknya, dalam UU Perlindungan Anak, apa pun kondisi anak tetap dianggap sebagai korban. Meskipun persetubuhan tersebut dilakukan tanpa ancaman kekerasan, perbuatan pelaku bisa dijerat pidana dengan perluasan unsur pidana, seperti tipu muslihat, bujuk rayu, iming-iming, dan serangkaian kebohongan lainnya.
“Maka orang dewasa tetap akan dihukum dan anak tetap merupakan korban tindak pidana, sayangnya hal ini tidak ada dalam Qanun Jinayat,” imbuhnya.

Anggota DPR Aceh Darwani A Gani mengamini, jumlah kekerasan terhadap anak sebenarya bisa jauh lebih besar dari yang tercatat. Dia mengatakan selama ini masih ada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, tetapi tidak melapor karena takut malu.
“Masyarakat menganggap kasus kekerasan seksual adalah masalah yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” katanya.
Di wilayah lain, yakni di Kalimantan Selatan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dicatat berpotensi meningkat selama pandemi covid-19. Polisi mencatat kenaikan ini.
"Jumlah kasus yang ditangani dalam setengah tahun 2021 sudah mencapai lebih dari enam puluh persen kasus sepanjang 2020 lalu," terang Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Mochamad Rifa'i di Banjarmasin, Kamis.
Hingga pertengahan tahun 2021, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Kalsel menangani 147 kasus terdiri dari 68 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 79 kasus anak.
Di tahun sebelumnya, ada 214 kasus yang ditangani, terdiri dari kekerasan terhadap perempuan 94 kasus dan terhadap anak 120 kasus.
Dari tindak pidana yang terjadi, mayoritas KDRT yaitu sebanyak 32 kasus. Diakui Rifa'i, KDRT dipicu persoalan ekonomi dampak dari pandemi antara suami terhadap istri. "Kasus suami istri ini kebanyakan berakhir dengan perceraian karena tidak ada jalan damai," bebernya.
Ada juga KDRT dengan pelaku orangtua terhadap anaknya. Terhadap hal ini, Polisi berupaya memediasi agar hubungan keluarga kembali harmonis.
"Namun orangtua sebagai pelaku juga membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya. Jika sampai terulang, tindakan lebih tegas berupa pidana siap diberikan," ucap Rifa'i.
Kasus kekerasan terhadap anak didominasi pencabulan dan perkosaan masing-masing 19 kasus, diikuti persetubuhan 18 kasus, penganiayaan 14 kasus, pelarian anak enam kasus, pengeroyokan dua kasus dan perbuatan tidak menyenangkan satu kasus.