04 November 2025
09:14 WIB
Pustaka Alam Saran Verifikasi Ulang Data Satgas PKH
Verifikasi ulang data penguasaan lahan kembali oleh Satgas PKH karena berpotensi mencaplok lahan milik petani sawit.
Pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit saat panen di kawasan Desa Suak Raya, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/YU.
JAKARTA - Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) menilai perlu adanya evaluasi dan verifikasi ulang terhadap data penguasaan lahan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Direktur Pustaka Alam, Muhammad Zainal Arifin dalam keterangannya di Jakarta, Senin (3/11) menilai, hal ini penting guna memastikan kebijakan penertiban kawasan hutan berjalan transparan, akurat, dan berpihak pada keadilan sosial, terutama petani sawit.
“Selama ini Satgas PKH mengklaim dan melaporkan kepada Presiden Prabowo bahwa seluruh lahan yang dilakukan penguasaan kembali merupakan lahan milik perusahaan. Namun, temuan awal kami menunjukkan sekitar 614.235 hektare (ha) yang lahan sawit dikuasai kembali oleh Satgas adalah kebun sawit milik petani rakyat,” urai Zainal dikutip dari Antara.
Dari total 3.404.522,67 ha kawasan hutan yang diklaim telah dikuasai kembali oleh Satgas PKH per 1 Oktober 2025, Zainal mengatakan sebanyak 1.507.591,9 ha telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara.
Baca juga: Satgas PKH Ambil 360 Ha Lahan Sawit di Taman Nasional Gunung Leuser
Berdasarkan kajian awal, Pustaka Alam mengidentifikasi sekitar 614.235 ha merupakan kebun sawit milik petani rakyat yang ikut tercatat sebagai objek penguasaan kembali.
Data yang digunakan untuk analisis ini bersumber dari SK Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan (SK DATIN) No. I sampai XXIII, Rekapitulasi Penyerahan Lahan dari Satgas PKH ke Agrinas Palma, dan laporan dari perusahaan sawit.
Zainal mengingatkan bahwa penguasaan kembali kebun rakyat ini berpotensi meningkatkan konflik horizontal yang tajam di berbagai daerah, khususnya di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatra Utara dan Riau.
“Petani sawit yang memperjuangkan lahannya diperlakukan sebagai penggarap ilegal di tanah mereka sendiri,” lanjut dia.
Kajian ini juga menyoroti potensi denda administratif yang dapat dibebankan kepada petani berdasarkan PP No. 45 Tahun 2025. Jika 614.235 ha lahan rakyat itu dikategorikan sebagai kegiatan tanpa izin selama 20 tahun dan dikenakan denda sebesar Rp375 juta per ha, maka potensi denda atas lahan tersebut mencapai Rp230,34 triliun.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) Abdul Aziz meminta pemerintah segera menata ulang kebijakan tata kelola sawit dan kehutanan yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Hal ini merugikan para petani sawit yang kebunnya tiba-tiba dianggap berada di dalam kawasan hutan, meski mereka sudah mengantongi sertifikat maupun HGU (Hak Guna Usaha),” sambung dia.