c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

13 November 2025

18:45 WIB

PSEL, Proyek Gagah Yang Masih Bermasalah

PSEL dinilai jadi solusi penanganan sampah dengan teknologi. Tanpa pengawasan ketat, ada potensi pemborosan anggaran dan minim guna. Banyak pemda juga masih belum terinformasikan terang dan jelas.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman, Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Rikando Somba

<p>PSEL, Proyek Gagah Yang Masih Bermasalah</p>
<p>PSEL, Proyek Gagah Yang Masih Bermasalah</p>

Sebuah truk sampah yang sedang mengantar sampah menuju PSEL Benowo, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Moch Asim.

JAKARTA - Masalah sampah menjadi hal berulang yang merisaukan pemerintah pusat sampai ke daerah. Beragam opsi dan solusi dicoba mengatasinya. 

Belakangan, pemerintah punya keyakinan tebal bahwa teknologi dibutuhkan untuk mengatasi masalah sampah yang tak kunjung selesai. Maka, dibangunlah Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di berbagai daerah untuk mengubah beban lingkungan menjadi sumber energi terbarukan.

PSEL atau pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) bukan hanya dinilai sebagai solusi untuk mengatasi timbulan sampah. Di saat sama, pembangkit ini juga diharapkan menjadi panasea buat keterjangkauan dan ketersediaan listrik di perkotaan.  

Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq adalah salah satu figur yang mengutarakan hal ini. Hanif menilai, pembangunan PSEL mampu mengatasi persoalan pengelolaan sampah di daerah yang menghadapi volume sampah harian besar, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang sudah kelebihan muatan, serta keterbatasan lahan.

“Sehingga yang masuk ke TPA nanti hanya residu,” ujar Hanif sebagaimana juga dicantumkan di laman KLH, Rabu (12/11).

KLH lalu mencari tempat yang cocok untuk membangun PSEL. Timbulan sampah harian di atas seribu ton, serta TPA yang volume sampah telah melebihi kapasitas atau ada di lahan terbatas, menjadi indikator yang utama pemilihan tempat PSEL.  

Hasilnya, tujuh wilayah aglomerasi di enam provinsi dipilih, yakni Yogyakarta Raya (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul), Denpasar Raya (Kota Denpasar, Kabupaten Badung), dan Bogor Raya (Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok).

Kemudian, Bekasi Raya (Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi), Tangerang Raya (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang), Medan Raya (Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang), dan Semarang Raya (Kota Semarang, Kabupaten Semarang), juga terpilih.

Dari hasil ini, pemerintah daerah (pemda) punya tugas menyediakan lahan minimal lima hektare (ha), menjamin pasokan sampah minimal seribu ton per hari, serta mengalokasikan anggaran untuk pengumpulan dan pengangkutan. Apa yang diupayakan pemda, tidak akan sia-sia. KLH memastikan, PSEL membuat pemda mendapat keuntungan. Seperti, tipping fee atau biaya yang dibayarkan pemda kepada pihak pengolah sampah jadi nol. 

Hanya saja, Jakarta dan Bandung Raya, dengan volume sampah besar tak masuk di antara tujuh daerah yang akan dibangun PSEL. Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq terang menyebutkan, kedua daerah itu tak memenuhi syarat luas minimal lahan dan kebutuhan air bersih.

Pembangunan PSEL ini termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Danantara, diberi tugas untuk membangun PSEL dan menggaet investor.

Sejauh ini, Danantara mengumumkan 24 perusahaan asing yang lolos menjadi Badan Usaha Pengembang dan Pengelola PSEL (BUPP PSEL). Perusahaan asing tersebut diminta menggandeng mitra lokal dan membentuk konsorsium guna mengikuti tender PSEL di tujuh wilayah aglomerasi.

Hitungan sementara, tiap unit PSEL memerlukan investasi sebesar Rp2-Rp3 triliun, dengan mengolah seribu ton sampah menghasilkan energi sebesar 15 megawatt (MW). Atau, bisa menerangi sekitar 20 ribu rumah tangga.

Adapun metode utama pengolahan sampah dalam sistem PSEL adalah dengan cara dibakar. Namun, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memastikan tidak akan ada gas buang yang mencemari lingkungan. Pemerintah menetapkan standar baku mutu, baik itu gas maupun limbah cair dari teknologi PSEL, yang menjamin tak adanya pencemaran..

“Dengan pembakaran sampai 900 derajat celcius, gas buangnya juga diolah dan tidak mencemarkan lingkungan, seperti di Singapura dan kota-kota besar di dunia,” katanya saat ditemui Validnews di kantornya, Jakarta, Jumat (7/11).

Beban Pemda
Lalu, bagaimana tanggapan Pemda? Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Sarman Simanjorang mengatakan, komunikasi pemerintah pusat dengan pemda dibutuhkan. Bagaimana skema anggaran bagian dari pemda di tengah transfer ke daerah (TKD) terbatas seperti saat ini, adalah pertanyaan dominan pemerintah daerah. Jelas, persoalan anggaran menjadi tantangan bagi pemda dalam menjalankan PSEL.

“Memberikan anggaran APBD dengan kondisi saat ini mungkin berat. Tapi, untuk lahan, saya yakin pemda punya,” sergah Sarman saat diwawancarai, Minggu (9/11).

Sementara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang, Ujat Sudrajat mengatakan, lahan di Kabupaten Tangerang sudah tersedia untuk dibangun PSEL aglomerasi Tangerang Raya. Lahan itu seluas 5,6 ha di dalam kompleks TPA Jatiwaringin yang sudah beroperasi sejak 1995. 

Ujat mengungkapkan, ketiga pemda sanggup menyetorkan sampah minimal lima ribu ton per hari. Meski ada masalah pengangkutan. Seperti, Kabupaten Tangerang, dengan produksi sampah 2.600 ton per hari, yang terangkut rata-rata baru mencapai 1.200 ton per hari. Sampah yang tidak terangkut menimbulkan masalah di lingkungan. Karena itu, Pemkab Tangerang akan menambah armada truk sampah yang saat ini ada 240 truk. Ada tambahan 60 unit lagi karena ada PSEL. Serta, dengan kualitas baik, agar lindi tidak bercecer ke jalan. 

Dia perkirakan, untuk memenuhi kebutuhan PSEL, minimal ada 500 truk per hari dari Tangerang Raya. Sehingga Pemkab Tangerang mesti menyiapkan rute pengangkutan yang efisien untuk memaksimalkan jumlah trip per hari. Lalu, menyediakan jalan untuk memperlancar distribusi, aman untuk masyarakat, dan menyediakan kantong parkir.

“Pemkab Tangerang akan melakukan peningkatan dan perbaikan jalan menuju PSEL. Menyiapkan infrastruktur air bersih untuk mendukung kebutuhan operasional di lokasi PSEL,” ujar Ujat saat ditemui Validnews, di Kantor DLHK Kabupaten Tangerang, Selasa (11/11).

Ujat jelas berharap adanya dukungan dana dan insentif dari pemerintah pusat dalam skema pembiayaan dan memberikan insentif dari penjualan listrik. Hitungan pembangunan PSEL Tangerang Raya diperkirakan mencapai Rp14 triliun. 

Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sekretaris Daerah provinsi itu, Ni Made Dwipanti Indrayanti mengatakan, hasil verifikasi menunjukkan, volume sampah di wilayah Yogyakarta Raya belum mencapai seribu ton per hari. “Gubernur DIY mengharap, Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo ikut serta pengelolaan sampah melalui PSEL,” imbuhnya, mengutip laman Pemprov DIY, Kamis (13/11).

Pemda DIY, lanjut Ni Made akan mengusulkan pemerintah pusat menetapkan status kedaruratan sampah, sebagai dasar Pemprov DIY mengakses dana Belanja Tidak Terduga (BTT) 2026. Bahkan, Pemprov DIY juga melakukan penghematan program kegiatan 2026.

PSEL ini juga berdampak terhadap daerah yang merencanakan PSEL secara mandiri. Misalnya, PSEL di Kota Tangerang. Padahal, PSEL mandiri sudah sampai pada penyerahan Surat Penunjukan Pemenang Lelang (SPPL) kepada pihak konsorsium pemenang.

Menuai Masalah 
Adanya kebingunganm atau ketidak siapan pemda diungkap pula oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman. Ahmad mengatakan, seperti terjadi Pemkot Tangerang dan Tangsel, juga di Yogyakarta Raya, menunjukan pemerintah pusat tidak melibatkan pemda dahulu dalam membuat program PSEL.

“Bagi kami, minim pelibatan pemda menjadi catatan serius bagi pemerintah pusat ketika mereka merancang kebijakan,” katanya, Jumat (7/11).

Armand meminta, sebelum PSEL diimplementasikan harus benar-benar diidentifikasi kesiapan daerah, baik dari infrastruktur dan fiskal. Pasalnya, jika berharap PSEL dijalankan sambil belajar, malah menghabiskan energi dan anggaran. Ujungnya PSEL tidak efektif.

Ia juga menyoroti skema aglomerasi dalam PSEL. Sebab, selama ini daerah-daerah yang berada dalam satu aglomerasi punya kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Sehingga, haram hukumnya ada egosentris masing-masing pemda.

Sorotan lain disampaikan Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi, Dwi Sawung. Menurut dia, mayoritas kota di Indonesia tidak memiliki timbulan sampah yang cukup untuk memenuhi kapasitas insinerator sebesar seribu ton per hari. Mayoritas timbulan sampah di Indonesia, lebih dari 60%, adalah sampah organik dengan kelembapan tinggi dan bernilai kalor rendah, sehingga tidak layak bakar untuk PSEL. 

Walhi menilai, tidak semua jenis sampah bisa dikelola PSEL. Paling dasar tidak boleh ada logam, batu, kaca, tanah serta bahan berbahaya dan beracun (B3) masuk ke dalamnya.

“Proses pengeringan perlu energi yang artinya lebih sedikit energi nett yang dihasilkan,” katanya, Senin (10/11).

Tak hanya itu, Dwi menyampaikan PSEL tak ramah lingkungan. Karena hanya akan memindahkan masalah sampah menjadi polusi udara dan abu sisa pembakaran yang beracun.

Ia turut menyoroti air lindi yang masalahnya tak pernah selesai dan dikhawatirkan masih muncul dalam proyek PSEL. Air lindi, menurutnya, selama ini muncul tak hanya karena truk pengangkut yang tak layak, tapi juga karena manajemen persampahannya tidak benar sehingga dari TPS ke TPA muncul lindi. Seperti yang terjadi pada kasus uji coba Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan.

Sementara itu, Founder Bersih-Bersih Bali sekaligus Leader World Cleanup Indonesia Provinsi Bali, Agus Norman Sasono menilai, kunci pengelolaan sampah berkelanjutan bukan terletak pada kecanggihan teknologi, melainkan budaya memilah yang konsisten. Tanpa kesadaran memilah dari sumber, sistem pengelolaan sampah di daerah manapun dikhawatirkan hanya akan berputar dalam siklus penumpukan tanpa penyelesaian mendasar.

“Negara manapun yang memiliki pembangkit listrik dari sampah pasti menerapkan sistem pemilahan. Kalau tidak dipilah, ya tidak bisa berjalan,” tukasnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya mengatakan PSEL terbilang sangat mahal dibanding Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

“Harga listrik PSEL per kwh akan dibiayai Danantara masih mahal yaitu US$20 sen atau Rp3.200 per kwh dibandingkan harga listrik dari PLTS Cirata yang US$5,6 sen atau Rp900 per kwh atau lebih mahal hampir empat kali lipatnya. Jadi secara keekonomian tidak masuk. Bahkan harga listrik sekarang saja masih Rp1.800,” jelasnya, Kamis (6/11).

Di kacamatanya, lebih baik pemerintah fokus untuk pembangunan 100 gigawatt (GW) PLTS dibandingkan mengeluarkan Rp91 triliun PSEL di 33 lokasi dengan total 330 MW. Dengan PLTS Rp91 triliun bisa membangun paling tidak lima gigawatt kapasitas listrik baru.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) di sisi lain menegasksan, solusi krisis sampah tidak terletak pada pembakaran seperti PSEL. Solusi ini harusnya mencakup perubahan sistemik di hulu melalui penguatan kebijakan pengurangan di sumber, pembatasan produk sekali pakai. Bahkan, sejak produksi, dan perluasan sistem pemilahan agar masyarakat dapat berperan aktif.

Direktur Operasional Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Fictor Ferdinand, seperti AZWI, juga menyoroti ketersediaan sampah sebagai bahan yang akan dibakar. Dia mengatakan sekitar 60% sampah Indonesia yang bersifat organik dapat dikelola tanpa pembakaran, semisal melalui kompos, maggotisasi, atau biogas komunitas. 

“Model pengelolaan sampah yang dikembangkan anggota AZWI menunjukkan bentuk pengelolaan sampah lain yang lebih memberikan manfaat untuk masyarakat. Selain pemulung, juga ada para petani kota, peternak, dan komunitas maggot. Mereka-mereka ini sebenarnya yang saat ini melakukan ‘penghabisan’ sampah, namun kenyataannya selama ini tidak mendapat pengakuan dan dukungan yang cukup dari pemerintah” ujar Fictor, dikutip dari laman resmi AZWI, Kamis (13/11).



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar