13 Oktober 2021
17:19 WIB
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto kritik pelantikan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menurut dia, pelantikan tersebut membuka potensi politisasi di dunia riset nasional. Padahal, pembangunan riset di Indonesia saat ini merupakan titik yang krusial dalam kaitannya dengan intervensi ideologi-politik di dunia riset dan inovasi.
"Dengan kondisi ini menurut saya, terbuka lebar peluang politisasi riset. Apalagi Ketua Dewan pengarah BRIN memiliki kewenangan yang lumayan besar, termasuk membentuk satuan tugas khusus," ujar Mulyanto saat dihubungi Validnews, Rabu (13/10).
Mulyanto menjelaskan, sebelumnya para ahli sudah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar meninjau ulang kebijakan menjadikan Megawati secara ex-officio sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan politisasi riset di dalam BRIN.
"Ternyata Presiden Joko Widodo tidak memperhatikan masukan para ahli tersebut dan tetap melantik Ketua Dewan Pengarah BRIN dari Dewan Pengarah BPIP," cetus Mulyanto.
Menurut dia, pemerintah dan Presiden Jokowi terkesan memaksakan diri, karena pembangunan riset dan inovasi tidak berkaitan langsung dengan BPIP atau ketua umum partai politik yang dijabat Megawati.
Mulyanto menambahkan, beberapa jurnal juga melaporkan bahwa ada kekhawatiran intervensi politik dalam BRIN, sebagai lembaga baru terpusat (super agency) dengan reorganisasi yang ambisius, namun tidak jelas rencana kinerjanya.
Kekhawatiran tersebut tercermin dari peringkat inovasi Indonesia dalam laporan Global Innovation Index tahun 2021 (GII) yang semakin merosot. Posisi Indonesia berada pada peringkat ke-87 dari 132 negara.
"Faktor yang terutama lemah adalah aspek kelembagaan yaitu peringkat ke-107. Bahkan di bawah Vietnam dan Brunei. Indonesia hanya di atas Laos dan Kamboja di kawasan Asean," ungkap Wakil Ketua Fraksi PKS ini.
Selain itu, tugas-fungsi BRIN yang campur aduk sebagai pelaksana sekaligus sebagai penetap kebijakan riset dan inovasi, bahkan juga menjalankan fungsi penyelenggaraan ketenaganukliran (eks BATAN) serta keantariksaan (eks LAPAN) juga dinilai akan menjadi persoalan tersendiri.
"Dengan masalah yang besar dan mendasar itu saya pesimis konsolidasi kelembagaan ini berjalan baik," tutur Mulyanto.