21 April 2025
18:33 WIB
Piknik Perlawanan Dari Seberang DPR
Sekelompok masyarakat sudah beberapa minggu mendirikan tenda dan berkemah bak melakukan piknik di seberang Gedung DPR RI, berharap pengembalian supremasi sipil.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Rikando Somba
Tenda milik kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam aksi Piknik Melawan diletakkan di trotoar seberang Gerbang Pancasila DPR, DKI Jakarta, Jumat (18/6). Validnews.ID/Ananda Putri
JAKARTA – Gerimis mulai turun di Jakarta Pusat, Jumat (18/4) sore itu. Sekelompok masyarakat yang berkemah di seberang Gerbang Pancasila Gedung DPR RI bergegas membenahi tenda mereka. Tiang-tiang tenda itu sebisa mungkin dibuat lebih kokoh. Mereka bersiap, agar tenda tidak roboh meski diguyur hujan deras.
Ini bukan pertama kalinya mereka harus beradaptasi dengan cuaca. Sekitar dua minggu sudah, mereka menginap di tenda-tenda itu.
Mereka adalah masyarakat sipil yang tergabung dalam aksi damai bertajuk Piknik Melawan. Ini merupakan aksi berkemah yang diselingi kegiatan-kegiatan menyenangkan, mulai dari memasak, membaca, berolahraga, hingga belajar bahasa isyarat. Tujuannya, menuntut DPR mengembalikan supremasi sipil dan mencabut berbagai Undang-Undang (UU) anti-demokrasi.
Salah satu peserta aksi adalah Bara, bukan nama sebenarnya. Pekerja yang tinggal di Jakarta Timur itu sebenarnya tak bisa hadir setiap hari. Dia punya pekerjaan yang harus diurusnya saban hari, mulai pagi. Namun, ia tetap berusaha meluangkan waktu selepas kerja untuk mengikuti aksi hingga sekitar tengah malam.
Bagi Bara, mengurangi waktu istirahat untuk hadir aksi kemah bukan persoalan besar. Ia punya keresahan yang lebih besar terkait berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai berdampak buruk bagi masyarakat sipil. Sebut saja revisi Undang-Undang (UU) TNI, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan RUU Polri.
“Kalau aku gerak sendirian kan enggak mungkin, gitu. Jadi, ini ruang untuk aku gabung sama teman-teman,” ungkap Bara, saat ditemui di lokasi aksi, akhir pekan kemarin.
Bukan kali ini saja Bara menyampaikan pendapat. Sebelumnya, ia berpartisipasi dalam demonstrasi menolak rancangan revisi UU TNI di Jakarta pada tanggal 20 dan 27 Maret 2025. Kedua demonstrasi itu berakhir dengan tuntutan demonstran yang tak digubris pemerintah.
Tidak seperti demonstrasi yang usai setelah hari berubah gelap, tenda Piknik Melawan terus berdiri tanpa mengenal waktu. Para pesertanya makan, tidur, dan beraktivitas di lokasi selama 24 jam tanpa henti.
Bara bercerita, Piknik Melawan juga menggunakan pendekatan nirkekerasan. Mereka mengadakan berbagai kegiatan ringan yang terbuka bagi seluruh masyarakat. Dengan harapan, masyarakat dapat memahami apa saja regulasi pemerintah yang bermasalah bagi mereka.
“Harapannya memberikan kesadaran kepada masyarakat, dan dari para pemerintah sendiri memperhatikan bahwa ini ada protes dari masyarakat,” ujar Bara.
Dukungan Masyarakat
Harapan serupa diutarakan peserta Piknik Melawan lainnya, Fajar (juga bukan nama sebenarnya). Penyampaian pendapat tanpa kekerasan lewat Piknik Melawan ia harap bisa menggaet hati masyarakat. Terlebih, aksi demonstrasi selama ini kadang diwarnai kericuhan yang bisa membuat masyarakat antipati.
Meski belum bisa menyebut Piknik Melawan efektif meraih perhatian masyarakat, ia mendapati partisipasi masyarakat terus bertambah, utamanya beberapa hari belakangan. Sekitar 20–30 orang akan hadir mengisi tenda Piknik Melawan dalam satu hari. Mayoritas dari mereka berusia dewasa muda.
Atensi masyarakat tak hanya terlihat dari jumlah massa yang hadir. Namun, juga dari donasi yang mengalir dalam bentuk makanan, minuman, maupun uang yang dibelanjakan untuk keperluan logistik. Donasi itu cukup membantu lantaran mereka sering harus mendanai keperluan aksi dari dompet sendiri.
“Kadang ada orang lewat yang ngedrop kopi atau ngedrop untuk logistik. Jadi, kita enggak pernah takut untuk kesusahan,” cerita Fajar.
Walaupun berupa aksi damai, Piknik Melawan bukannya tidak pernah menghadapi masalah. Pada 8 April 2025, tenda piknik yang semula berada di depan pintu gerbang DPR dipindahkan paksa oleh Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR ke seberang jalan. Alasannya, aksi tersebut mengganggu estetika Gedung DPR. Keesokan harinya pada 9 April, Satpol PP DKI Jakarta meminta massa aksi membubarkan diri.
Satpol PP menyebut massa aksi telah melanggar peraturan dengan menggelar aksi di trotoar dan mengganggu pejalan kaki. Di sisi lain, massa aksi percaya trotoar merupakan fasilitas publik yang bisa digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Tidak adanya titik temu antara kedua pihak membuat Satpol PP melakukan pembubaran paksa dengan mengangkut tenda dan logistik massa.
Upaya pembubaran aksi masih belum berhenti. Pada Senin (14/4), giliran aparat kepolisian membubarkan Piknik Melawan. Mereka turut menangkap enam orang peserta aksi untuk diinterogasi selama satu jam. Salah satu dari enam orang itu adalah Fajar.
“Waktu itu dinaikin ke mobil tahanan, habis itu diturunin lagi karena sebenarnya kan agak bingung ya. Kita enggak melakukan apapun sebenarnya, enggak ada kejahatan secara pidana atau perdata,” ujar Fajar.
Berulang kali mendapat intimidasi dan pembubaran paksa tak membuat massa Piknik Melawan goyah. Mereka kembali bangkit mendirikan tenda. Terus berpiknik hingga perwakilan DPR mau mendengar tuntutan mereka. Mereka berpegang pada hak yang dijamin oleh Konstitusi, tepatnya Pasal 28E UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Fajar percaya, massa aksi mampu terus bertahan karena punya semangat yang sama. Mereka saling menopang meski seluruhnya baru mengenal satu sama lain melalui aksi ini.
“Api itu harus tetap dijaga,” harap Fajar.
Minimalkan Respons Represif
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati berpendapat, aksi Piknik Melawan merupakan bagian dari upaya advokasi masyarakat sipil untuk terus mengawal UU TNI, meskipun masyarakat sudah kecolongan dengan pembahasan UU tersebut yang terbilang cepat. Aksi ini juga menjadi simbol bahwa rakyat hadir dan siap berdialog dengan DPR.
“Jika aksi itu diabaikan, maka sama saja menandakan ada jarak antara rakyat dan wakil rakyat,” ujar Wasisto kepada Validnews, Sabtu (19/4).
Dia juga menyebut, aksi damai seperti piknik merupakan cara massa menunjukkan bahwa aksi tidak selalu berujung pada kekerasan. Pendekatan ini sekaligus mampu meminimalkan respons represif dari aparat jika massa aksi akhirnya bertindak anarkis.
Piknik Melawan bukanlah satu-satunya aksi damai di Indonesia. Negeri ini lebih dulu mengenal Aksi Kamisan, demonstrasi diam yang diadakan di depan Istana Negara setiap Kamis sore. Sejak tahun 2007, Aksi Kamisan menuntut negara untuk menuntaskan kasus HAM berat di Indonesia.
Di samping itu, aksi berkemah di ruang publik juga sudah banyak dilakukan di luar negeri. Di antaranya, Occupy Wall Street di Amerika Serikat (AS) pada 2011, Occupy Central di Hong Kong pada 2014, dan aksi berkemah pro Palestina yang dilakukan para mahasiswa di AS pada 2024.
Wasisto tidak menutup kemungkinan aksi berkemah Piknik Melawan berkembang menjadi gerakan okupasi yang lebih besar seperti di luar negeri. Namun, hal ini masih perlu melihat faktor-faktor lain.
“Saya pikir itu tergantung pada dinamika politik ke depan dan eskalasi isu yang berkembang di ruang publik,” tandas Wasisto.