09 September 2024
08:44 WIB
P2G Minta Skema Anggaran Pendidikan 20% Tidak Dubah
Skema anggaran pendidikan diusulkan tak diambil dari belanja negara tapi dari pendapatan negara.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Warga menggendong siswa sekolah dasar (SD) untuk berangkat sekolah melintasi daerah aliran sungai (DAS) Kali Regoyo di Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, Senin (22/4/2024). Antara Foto/Irfan Sumanjaya.
JAKARTA - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menolak usul Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, yang ingin mengubah skema anggaran pendidikan 20% dari belanja negara menjadi dari pendapatan negara.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengatakan, ide ini akan memperkecil anggaran pendidikan. Pasalnya, pendapatan negara lebih kecil dari belanja negara karena APBN sering mengalami defisit.
"Angka 20% sifatnya sudah minimalis. Jadi mengapa mesti diakali lagi untuk dikurangi? Jelas kami menolak usulan tersebut!" ujar Satriwan melalui keterangan tertulis, Minggu (8/9).
Dia menjelaskan, keberpihakan anggaran dibutuhkan mengingat kualitas pendidikan nasional masih rendah. Contohnya, sebanyak 60% bangunan SD dalam kondisi rusak (Badan Pusat Statistik/BPS 2022), gaji guru honorer tidak layak, dan kemampuan literasi siswa Indonesia di bawah rata-rata skor negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (PISA, 2022).
Tak hanya itu, Satriwan menyoroti anggaran pendidikan 20% tak seluruhnya dikelola oleh kementerian pendidikan. Sebanyak 52% atau setara Rp346 triliun justru merupakan transfer daerah dan dana desa.
"Skema anggaran pendidikan seperti inilah yang sejak awal kami tolak. Masa dana desa diambil dari dana pendidikan yang sifatnya mandatory perintah konstitusi," ujar Satriwan.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri menambahkan, anggaran pendidikan harus menyentuh kebutuhan riil di masyarakat. Namun, saat ini Dana BOS pun belum mampu menutupi biaya pendidikan siswa yang sifatnya primer.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sebut Iman, sepanjang tahun ajaran 2022/2023, siswa putus sekolah tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang. BPS mencatat, angka anak putus sekolah muncul karena faktor ekonomi, yaitu mahalnya biaya pendidikan.
"Meskipun ada dana BOS, tapi orang tua murid masih mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membeli seragam sekolah, batik, olahraga, pramuka, beli buku paket," terang Iman.
P2G pun berharap pemerintahan baru melakukan perbaikan sistematis dan mendesain ulang tata kelola anggaran pendidikan 20%. Sebagai langkah awal, menteri pendidikan baru perlu menyusun Cetak Biru Peta Jalan Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Emas 2045.