11 Oktober 2023
13:26 WIB
JAKARTA - Solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang mencari nafkah dengan sepeda motor perlu disiapkan, jika aturan ganjil genap (gage) untuk kendaraan roda dua di DKI Jakarta diterapkan. Hal ini diungkapkan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, di Jakarta, Rabu (11/10).
"Kebijakan itu menyusahkan masyarakat bawah atau masyarakat miskin. Jika kendaraan roda duanya adalah satu-satunya cara untuk mencari nafkah, lalu apa solusinya?" kata Trubus seperti dilansir Antara.
Menurutnya, kebijakan ganjil genap akan menyulitkan masyarakat miskin yang pencaharian utamanya menggunakan sepeda motor. Pasalnya, apabila plat nomor polisi tak sesuai tanggal ganjil atau genap, maka tidak bisa bekerja.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar ada solusi serta atensi dan perlindungan khusus bagi masyarakat bawah ketika akan menerapkan aturan tersebut.
"Masyarakat miskin harus diberikan solusi. Misalnya, motor konvensionalnya diganti dengan motor listrik oleh Pemprov," tuturnya.
Selain itu, dia menilai aturan ganjil genap pada sepeda motor tidak efektif untuk menekan tingkat polusi di DKI Jakarta. Menurutnya, ketimbang menerapkan aturan pembatasan tersebut, pemerintah daerah lebih baik mengajak masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.
Trubus menyebut, salah satu angkutan umum di DKI yang jumlahnya banyak adalah angkot. Ia pun menyarankan perlunya dilakukan peremajaan agar masyarakat mau kembali memanfaatkan moda angkutan umum tersebut.
"Angkot-angkotnya itu kan masih pakai yang lama, yang tidak ada pendingin. Nah, itu harus diganti atau diremajakan agar orang mau naik angkot lagi," kata dia.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengusulkan agar peraturan ganjil genap ke depannya bisa diterapkan untuk pengguna sepeda motor. Hal ini juga sebagai langkah proaktif untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
"Suatu saat nanti tolong dipikirkan, karena memang 67% emisi kendaraan bermotor menyebabkan polusi," ucap Listyo dalam acara Hari Lalu Lintas Bhayangkara ke-68 yang disiarkan secara daring, Selasa (26/9).
Menurut Listyo, salah satu upaya untuk mengurangi emisi gas buang yakni dengan menggunakan kendaraan listrik. Jika aturan ganjil genap di atas resmi diterapkan, pemerintah akan memberikan perlakuan yang spesial untuk jenis kendaraan listrik ini.
Reaksi Keras
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menyatakan, reaksi keras mungkin dapat timbul di kalangan pengojek daring terhadap pembatasan itu. Apalagi, ojek daring sudah jadi andalan masyarakat dan banyak pihak yang cukup toleran dengan keberadaan mereka.
Menurutnya, pemerintah dan pengelola aplikasi ojek daring perlu tegas mengatur para pengojek apabila pemberlakuan skema ganjil-genap bagi kendaraan pribadi di Jakarta diperluas ke kendaraan beroda dua.
“Kalau mau ada kekhususan bagi ojek daring tentu bisa, tapi tentu ada konsekuensi, tetap ada pembatasan,” kata Deddy Herlambang, Selasa.
Misalnya saja, kata Deddy, apabila nantinya ada 100 ribu pengojek yang meminta akses masuk ke jalan di mana pembatasan ganjil-genap diberlakukan, pengelola aplikasi harus tegas untuk memberi izin hanya kepada 50 ribu pengojek.
Pemerintah dan pengelola aplikasi juga dapat bekerjasama menentukan kebijakan lain untuk mengatur ojek daring dan mendukung pemberlakuan ganjil-genap bagi sepeda motor apabila nantinya diterapkan.
Namun, walau bagaimanapun, lanjutnya, semua pihak harus fokus pada tujuan utamanya, pembatasan kendaraan beroda dua adalah untuk mengurangi polusi dan kemacetan di Jakarta yang kondisinya sudah cukup parah.
“Kalau nanti pengojek daring berdemonstrasi, ya itu sudah risiko, apa kita mau menyelesaikan masalah yang lebih besar apa tidak,” kata dia.
Masih Dibahas
Seperti diketahui, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, pihaknya bersama Kepolisian akan membahas penerapan kebijakan ganjil-genap bagi kendaraan roda dua.
"Kami akan pikirkan. Semua itu harus dikaji bersama dengan Direktorat Lalu Lintas/ Ditlantas Polda Metro Jaya," kata Heru di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (9/10).
Hal serupa dikatakan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo yang mengatakan perlu adanya kajian lebih lanjut sebelum menerapkan ganjil genap (gage) untuk sepeda motor. "Usulan itu kami akan kaji lebih lanjut secara komprehensif," ujar Syafrin saat dikonfirmasi di Jakarta.
Deddy Herlambang mengatakan, pembatasan sepeda motor dengan skema ganjil genap di Jakarta sudah mendesak untuk mengurangi macet dan polusi di Ibu Kota. “Memang adilnya sepeda motor juga diberlakukan ganjil genap karena sepeda motor sudah membuat macet dan polusi,” kata Deddy.
Menurutnya, kendaraan roda dua merupakan penyumbang polutan yang cukup besar karena bahan bakar yang digunakan motor pada umumnya adalah yang kualitasnya kurang baik. Terlebih, populasi sepeda motor sudah mencapai 70-80% dari 26 juta unit lebih kendaraan di DKI Jakarta pada 2022.
“Selain menurunkan polusi dan kemacetan, pembatasan sepeda motor juga akan mengurangi jumlah kecelakaan di jalan raya,” lanjutnya.
Tak Efektif
Meski begitu, Deddy menmperkirakan penerapan skema ganjil-genap untuk sepeda motor justru dapat memicu masyarakat membeli motor kedua. Bisa juga mendorong warga membuat plat nomor polisi bodong untuk mengakali pembatasan itu, mengingat sepeda motor mudah dibeli dan terjangkau harganya.
Untuk mengatasi masalah itu, ia berkata pembatasan sepeda motor dapat berjalan lebih efektif melalui penerapan electronic road pricing (ERP) dibanding dengan pemberlakuan skema ganjil-genap saja.
“ERP itu adil karena kendaraan apapun, termasuk motor, yang lewat jalan pasti akan bayar. Kalau jadi penyebab macet atau polusi, pasti didenda,” kata dia.
Sementara itu, Anggota DPRD DKI Jakarta William A Sarana menilai penerapan ganjil-genap untuk sepeda motor bukan kebijakan yang efektif dan tepat. Dia mendorong pemerintah terlebih dahulu meningkatkan kecepatan dan kenyamanan pengguna transportasi umum sebelum melakukan pembatasan
William menjelaskan, penerapan tersebut belum waktunya diterapkan. Dia menilai pemerintah sebaiknya fokus terlebih dahulu dalam meningkatkan kecepatan dan kenyamanan pengguna transportasi umum.
Selain itu, masih banyak daerah atau wilayah baik di Jakarta atau daerah penyangga yang belum terjangkau oleh transportasi umum. Menurutnya, pemerintah harusnya melihat hal ini sebagai pekerjaan rumah (PR) agar transportasi umum di DKI dan sekitarnya semakin lebih baik.
"Pada hari ini masih banyak wilayah di Jakarta yang belum terjangkau transportasi umum khususnya pinggiran Jakarta," tuturnya.