22 Mei 2023
20:53 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Dokter Spesialis Patologi Forensik dari Universitas Indonesia (UI), Oktavinda Safitry, mengatakan, RUU Kesehatan tidak memberi perlindungan yang jelas terhadap tenaga kesehatan pemberi layanan aborsi. RUU Kesehatan hanya menyatakan aborsi boleh dilakukan atas dasar indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
"Tapi, nggak bunyi pasal yang mengatakan bahwa dokter yang melaksanakan aborsi memang dilindungi. Dengan caranya seperti apa?" ujar perempuan yang kerap disapa Idhoen ini dalam webinar bertajuk "Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam Pusaran RUU Kesehatan", Senin (22/5).
Menurut Idhoen, banyak tenaga kesehatan yang mempertanyakan aspek perlindungan hukum bagi pemberi layanan aborsi. Pasalnya, sekalipun aborsi untuk korban perkosaan dilegalkan, masih ada tenaga kesehatan yang dikriminalisasi karena membantu proses aborsi.
Lebih lanjut, dia menyebut perlindungan hukum juga dibutuhkan oleh pihak-pihak yang biasa membantu tata laksana kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti psikolog dan pekerja sosial.
Kekhawatiran serupa, jelas Idhoen, sejatinya sudah muncul sejak terbitnya Permenkes Nomor 68 Tahun 2013. Permenkes itu mewajibkan tenaga kesehatan untuk menginformasikan dugaan kekerasan terhadap anak kepada Kepolisian. Di dalamnya juga tidak ada perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang memberi informasi pada polisi.
"Itu pasal-pasal yang menurut kami di Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) harus bunyi untuk membantu tenaga kesehatan. Supaya kasus-kasus kekerasan ini bisa tertangani dengan baik," tegas Idhoen.
Di kesempatan yang sama, Direktur Women's Crisis Center Jombang, Ana Abdillah mengatakan, perempuan masih dihadapkan dengan sistem kesehatan dan sistem hukum yang rumit. Khususnya, perempuan korban kekerasan seksual. Ini membuat hak mereka atas akses layanan yang komprehensif sulit terpenuhi.
"Ini menjadi PR berat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) maupun aparat penegak hukum untuk membangun paradigma sistem yang lebih berorientasi kepada hak-hak korban," jelas Ana yang kerap mendampingi korban kasus kekerasan seksual.
Ana juga menyampaikan, RUU Kesehatan harus mampu menjawab banyaknya regulasi terkait kekerasan seksual. Termasuk yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dia berharap, regulasi-regulasi itu bisa terkoneksi satu sama lain.