c

Selamat

Rabu, 24 April 2024

NASIONAL

15 Oktober 2021

11:51 WIB

Perkawinan Dini Rampas Hak Dasar Anak

Fisik anak belum siap untuk perkawinan. Secara psikologis anak-anak rentan alami kekerasan

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Leo Wisnu Susapto

Perkawinan Dini Rampas Hak Dasar Anak
Perkawinan Dini Rampas Hak Dasar Anak
Aksi menentang perkawinan anak. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

JAKARTA – Anggota KPAI Retno Listyarti mengungkapkan perkawinan melanggar hak asasi anak. Anak tak lagi bisa mengakses pendidikan, kesehatan reproduksi terancam, pengembangan kemampuan untuk masa depan anak tersendat, serta status dan perannya sebagai anak tak terpenuhi.

“Kesemuanya berdampak pada masa depannya yang suram, mereka juga tidak akan memiliki keterampilan hidup,” ungkap Retno kepada Validnews, Jumat (15/10).

Retno menyoroti, perkawinan anak berdampak buruk pada kesehatan reproduksi anak. Karena, saat masih anak-anak, kondisi tubuh mereka belum siap untuk melakukan hubungan seksual dan juga mengandung. Muncul kekhawatiran jika terjadi kehamilan, akan berisiko pada kematian ibu dan anak.

Retno menambahkan, ada kesulitan anak yang menikah pada usia dini untuk memahami perannya sebagai seorang istri. Jadi hal ini seringkali menimbulkan konflik dan berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan angka perceraian. 

“Secara psikologis mereka belum siap menjadi seorang ibu dan istri, karena mereka masih membutuhkan arahan dari orang tuanya,” kata Retno.

Untuk itu, Retno meminta seluruh pihak mencegah terjadinya pernikahan anak, karena hanya akan merampas hak asasi anak dan membahayakan kondisi anak. 

KPAI bahkan telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait hal tersebut, dan meminta pemerintah daerah untuk membuat model-model pencegahan perkawinan anak, yang telah disesuaikan dengan budaya, agama, sosial, hingga ekonomi.

Ia pun mendorong agar sosialisasi bahaya pernikahan anak yang disesuaikan dengan faktor-faktor yang menyebabkan adanya pernikahan anak di suatu daerah. Apabila pernikahan anak terjadi karena faktor agama, pihak yang mengedukasi adalah ulama yang dipercaya di wilayah tersebut. Begitu pula jika pernikahan anak terjadi karena faktor budaya maka edukasi harus dilakukan oleh budayawan yang berpengaruh di masyarakat.

“Kita harus bersama-sama melakukan berbagai terobosan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, terlebih tidak mudah untuk berhadapan dengan perilaku sosial masyarakat, persepsi agama, dan budaya,” tambah Retno.

Retno juga turut menyayangkan kasus pernikahan anak yang baru-baru ini terjadi di Maluku. Menurutnya, pernikahan anak yang terjadi bukan didasarkan kepentingan terbaik bagi anak, tetapi karena adanya keinginan kuat dari orang tua sang anak untuk menikahkan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar