22 Agustus 2025
13:50 WIB
Perempuan Dan Anak Hadapi Tantangan Ganda Saat Bencana
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024 mendapati satu dari empat perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
Seorang perempuan menggendong anaknya yang baru saja lahir di posko pengungsian erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, Rabu (13/11/2024). AntaraFoto/Aditya Pradana Putra
JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengatakan, perempuan dan anak sering kali menghadapi tantangan ganda saat terjadi bencana. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal dan kehilangan akses terhadap layanan dasar, tapi juga lebih berisiko mengalami kekerasan dan eksploitasi.
Sekretaris KPPPA, Titi Eko Rahayu menjelaskan, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024, satu dari empat perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi.
"Dalam situasi bencana, risiko ini meningkat karena ruang aman berkurang, mekanisme perlindungan melemah, dan masyarakat berada dalam kondisi darurat," terang Titi dalam acara Peringatan Hari Kemanusiaan Sedunia di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Jumat (22/8).
Dia melanjutkan, ketika korban bencana berada di pengungsian yang penuh sesak, tak jarang muncul kekhawatiran bahwa anak akan menjadi korban pelecehan.
Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan korban bencana tak berhenti pada logistik dan pangan. Korban juga membutuhkan rasa aman, ruang aman, dan perlindungan yang memadai.
Oleh karena itu, KPPPA mendorong agar penanggulangan bencana menerapkan pengarusutamaan gender. Hal ini dilakukan mulai dari tahap mitigasi, respons darurat, hingga pemulihan bencana.
Titi menjelaskan, salah satu cara mendorong pengarusutamaan gender adalah menyediakan ruang ramah perempuan dan anak saat penanggulangan bencana. Hal ini pernah dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Tengah ketika gempa bumi mengguncang daerah tersebut pada 2018.
Selain itu, saat tsunami melanda Aceh pada 2004, pemerintah bersama sejumlah lembaga internasional mendirikan children center. Ruang ini berfungsi sebagai tempat bermain dan belajar anak, pusat konseling, layanan kesehatan reproduksi, dan pengaduan bagi perempuan yang mengalami kekerasan.
"Hasilnya nyata, banyak perempuan merasa lebih terlindungi, anak-anak lebih ceria, dan komunitas lebih cepat pulih dari trauma," tambah Titi.
Dia berpendapat, hal itu menunjukkan bahwa ketika perlindungan berbasis gender diutamakan, maka ketangguhan masyarakat pun meningkat. Di sisi lain, ketika perempuan dan anak masih mengalami kekerasan saat bencana, maka pembangunan Indonesia tidak sepenuhnya berhasil.
"Mari kita teguhkan komitmen bersama untuk memastikan tidak ada perempuan dan anak yang tertinggal dalam respons kemanusiaan dan bencana," tutup Titi.