30 September 2021
18:57 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Anggota Komnas Perempuan, Siti Amina Tardi, mengungkapkan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan seringkali dikriminalisasi karena melakukan aborsi.
Siti menjelaskan, kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) mungkin terjadi pada korban perkosaan. Namun, kehamilan tanpa nikah dianggap aib, termasuk perkosaan, seringkali memicu aborsi.
Saat korban pemerkosaan mengakses layanan aborsi, cenderung dikriminalisasi aborsi dilarang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Sementara, Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, membolehkan korban pemerkosaan melakukan aborsi dengan beberapa catatan,” ungkap Siti kepada Validnews, Kamis (30/9).
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan selama 2016–2020, telah terjadi 24.786 kasus kekerasan seksual. Sebanyak 7344 kasus (29.6%) di antaranya merupakan kasus perkosaan.
Di antara kasus perkosaan tersebut, ada korban yang melakukan aborsi dengan berbagai alasan. Komnas Perempuan mencatat, 147 aduan kasus pemaksaan Aborsi.
Menurut dia, hambatan yang seringkali dihadapi perempuan korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi, minimnya informasi aturan sesuai UU Kesehatan. Juga, terkait batasan usia kehamilan sebelum enam minggu untuk aborsi. Karena, umumnya korban perkosaan tidak tahu dirinya hamil atau tidak segera mendapatkan bantuan medis ketika terjadi perkosaan. Seperti, pemberian pil darurat yang hanya bisa digunakan kurang lebih lima hari setelah perkosaan untuk mencegah penempelan sperma ke ovum.
“Selain itu, proses pelaporan atau penyidikan yang bisa melewati enam minggu, akan menyebabkan keterlambatan korban untuk mendapatkan layanan aborsi aman,” tambah Siti.
Melhat hal ini, ia mendorong adanya perubahan aturan hukum dan cara kerja aparat penegak hukum. Yakni, izin aborsi tidak perlu dari pengadilan, tapi cukup laporan ke kepolisian dan rekomendasi dokter. Selain itu sebaiknya usia kehamilan ditingkatkan sampai sebelum empat bulan. Karena, korban pemerkosaan seringkali tidak menyadari dirinya sedang hamil.
Siti menegaskan, seharusnya kedudukan perempuan sebagai korban pemerkosaan menjadi pertimbangan utama untuk tidak dipidana. Karena, beban kejiwaan korban pemerkosaan akan bertambah.
Apalagi, jika korban masih usia anak-anak. Dia berpotensi kehilangan masa depannya karena berhenti sekolah. Apakah karena sebab diberhentikan oleh sekolah, mengundurkan diri, atau malu ke sekolah karena khawatir ada yang tahu peristiwa tersebut.
Siti menambahkan, jika korban pemerkosaan dipaksa untuk mempertahankan kehamilannya, tidak hanya berdampak pada kondisi ibu saja. Bisa saja kehamilan itu tidak berjalan secara sehat, apalagi jika menimpa usia anak, yang akan berkontribusi pada angka kematian ibu (AKI) akibat melahirkan ataupun angka kematian anak.