22 September 2025
10:33 WIB
Pengajar UGM Desak Penerapan Cukai Minuman Berpemanis
Desakan cukai minuman berpemanis karena prevalensi diabetes terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi diabetes. Shutterstock/Raihana Asral.
JAKARTA - Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Yayi Suryo Prabandari, mendesak pemerintah untuk menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Desakan itu dengan mempertimbangkan prevalensi diabetes pada 2023 lebih dari 11% berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Yayi menjelaskan, salah satu pemicu kenaikan kasus diabetes adalah konsumsi MBDK yang memiliki kadar gula sangat tinggi. Minuman ini memiliki harga yang cukup murah dan ketersediaannya melimpah sehingga banyak dikonsumsi masyarakat.
"Adanya cukai MBDK nanti harganya akan lebih mahal, sehingga masyarakat akan berpikir kembali untuk membelinya," terang Yayi dikutip dari laman resmi UGM, Senin (22/9).
Dia memaparkan, menurut studi di berbagai negara, cukai merupakan salah satu kebijakan paling efektif untuk menekan prevalensi diabetes. Kebijakan ini juga sudah diterapkan di beberapa negara.
Baca juga: CISDI Minta Pemerintah Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis
Yayi menyebutkan, di Indonesia wacana cukai MBDK sudah bergulir sejak 2016, tapi belum kunjung diberlakukan hingga saat ini. Menurutnya, ada banyak hal yang memengaruhi lambatnya penerapan kebijakan ini.
Contohnya, ekonom masih menghitung besaran cukai yang diperlukan agar kebijakan ini memiliki keberhasilan yang tinggi. Tak hanya itu, kemungkinan ada negosiasi dari produsen-produsen MBDK yang khawatir produksinya akan menurun setelah penerapan cukai.
Selain cukai, Yayi berpendapat pengurangan prevalensi diabetes akan lebih efektif jika diiringi edukasi hidup sehat. Misalnya, tentang pentingnya mengurangi konsumsi gula, risiko penyakit tidak menular, dan pentingnya penerapan cukai MBDK.
"Instrumen kebijakan itu efektif, tetapi akan lebih efektif lagi kalau multi-level, yaitu edukasi lewat media, edukasi oleh petugas kesehatan, melalui kader kesehatan, serta pengabdian masyarakat,” pungkas Yayi.
Sebelumnya, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) juga meminta pemerintah untuk segera menerapkan cukai MBDK. Menurut studi CISDI pada 2024, penerapan cukai MBDK sebesar 20% berpotensi mencegah 3,1 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 455.310 kematian akibat diabetes tipe 2.
Studi yang sama pun menunjukkan, tidak diterapkannya cukai MBDK berpotensi menimbulkan 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat diabetes tipe 2 dalam waktu 10 tahun ke depan. Lalu, studi CISDI pada 2023 menunjukkan, penerapan cukai sebesar 20% mengurangi biaya pengobatan diabetes tipe 2 sebesar Rp24,9 triliun.
"Kami meyakini bahwa MBDK sudah menjadi barang yang harus dikenakan cukai, karena peredarannya perlu diawasi dan juga pemakaiannya menimbulkan efek yang negatif bagi masyarakat," terang Health Economics Research Associate CISDI, Muhammad Zulfiqar Firdaus, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) dan media roundtable di Jakarta Selatan, Rabu (10/9) lalu.