29 November 2024
15:31 WIB
Penderita HIV/AIDS Masih Terima Perlakuan Diskriminatif
JIP sebut selama 12 tahun terakhir, penderita HIV/AIDS terus menerima perlakuan diskriminatif saat akses layanan kesehatan.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Illustrasi HIV dan AIDS. Sumb: Pexels.
JAKARTA - Jaringan Indonesia Positif (JIP) mendata, selama 12 tahun terakhir, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih mendapatkan diskriminasi saat mengakses layanan kesehatan.
Berdasarkan studi yang JIP lakukan, sebanyak 19,5% dari 1.290 responden ODHA mengalami diskriminasi dan stigma oleh petugas kesehatan saat mengakses layanan HIV dalam 12 bulan terakhir.
"Memang stigma ini menjadi salah satu tantangan kita yang terbesar untuk bisa memastikan teman-teman bisa mengakses layanan, baik layanan tes maupun layanan pengobatan," ujar Ketua Sekretariat Nasional JIP, Meirinda Sebayang, dalam webinar yang diadakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jumat (29/11).
Dia memaparkan, dari 19,5% responden ODHA yang mengalami diskriminasi dan stigma di layanan HIV, sebanyak 11,2% di antaranya disarankan dokter untuk tidak berhubungan seks karena status HIV mereka.
Di samping itu, sebanyak 4,3% berpengalaman bertemu nakes yang menghindari kontak fisik atau mengambil tindakan pencegahan ekstra, misalnya memakai sarung tangan ganda, karena status HIV. Selanjutnya, sebanyak 4,1% berpengalaman bertemu nakes yang memberitahu orang lain tentang status HIV pasien tanpa persetujuan.
Selain itu, di layanan kesehatan non-HIV sebanyak 3,9% responden ODHA pernah digunjingkan karena status HIV mereka.
"Ini mungkin bisa menjadi perhatian kita juga apakah intervensi-intervensi untuk penurunan stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan oleh petugas nakes ini masih bisa kita kuatkan," tambah Meirinda.
Dia juga menjelaskan, populasi kunci HIV terbagi menjadi empat kelompok, yaitu lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), transgender, pekerja seks, dan pengguna NAPZA. Mereka tak hanya mendapat stigma karena status HIV, tapi juga mendapat stigma karena identitas sosial mereka.
Hal itu menimbulkan stigma interseksional atau stigma berlapis yang berkontribusi terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang mereka alami, termasuk dalam mencari layanan kesehatan.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja HIV dan Penyakit Infeksi Menular Seksual Kemenkes, Endang Lukitasari mengatakan, pemerintah memiliki target three zero HIV/AIDS pada 2030. Ini mencakup nol kasus infeksi baru, nol kematian akibat AIDS, dan nol diskriminasi terhadap ODHA.
Untuk mencapai hal itu, dia menyebut pemerintah pusat tidak bisa bergerak sendiri melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Diperlukan pula peran dari pemerintah daerah, pemerintah desa, komunitas, dan mitra pembangunan lainnya.
"Kami berharap seluruh jajaran kesehatan terutama pemerintah daerah dan mitra-mitra terkait mengambil peran, terutama dalam memperkuat edukasi," pungkas Endang.