01 Juli 2025
17:39 WIB
Pemilu Dipisah, Putusan MK Tidak Langgar Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) telah berkembang menjadi penafsir konstitusi yang progresif seperti MK di Korea Selatan, Jerman, dan Turki
Editor: Nofanolo Zagoto
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menjawab pertanyaan wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (1/7/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)
JAKARTA - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tetap berada dalam koridor tugas konstitusionalnya saat memutuskan pemisahan pemilu nasional dan lokal. Sebab, MK hanya sebatas menafsirkan norma undang-undang.
“Kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka (MK) lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka,” kata Bivitri saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (1/7).
Dia menjelaskan, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang amarnya memerintahkan ada jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal merupakan hasil dari penafsiran norma suatu pasal terhadap konstitusi.
Ia tidak setuju dengan pandangan yang menyebut putusan tersebut menjadikan MK sebagai positive legislator. Sebab, dalam putusan dimaksud, MK meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam hal mengatur masa transisi pemisahan pemilu nasional dan lokal.
“Mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang ‘kan, ‘Bikin, dong, rekayasa konstitusionalnya’, karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang. Mereka benar-benar cuma menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
Khawatir Pelemahan MK
Terlepas dari itu, Bivitri menyebut perdebatan soal posisi MK sebagai positive atau negative legislator sudah tidak lagi relevan. Dalam praktiknya, kata dia, MK RI berkembang menjadi penafsir konstitusi yang progresif seperti MK Korea Selatan, Jerman, dan Turki.
Pernyataan yang bernada melemahkan putusan MK diduga Bivitri dilontarkan dari pihak-pihak yang merasa “diacak-acak”. Ia jadi khawatir ke depannya akan ada pelemahan kelembagaan MK, entah itu melalui revisi undang-undang ataupun penggantian hakim.
Di sisi lain, Bivitri memandang bahwa belakangan ini masyarakat banyak bergantung kepada MK melalui pengujian undang-undang. Ia menyebut MK merupakan benteng pertahanan demokrasi di Indonesia.
MK, Kamis (26/6), mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
Menurut MK dalam pertimbangan hukum, desain penyelenggaraan pemilu selama ini mengakibatkan impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan tahapan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan adanya perimpitan itu, tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tak terelakkan. Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah menilai, kondisi yang demikian berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.
Hal lain yang disoroti MK dalam pertimbangan hukum, yaitu pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
Sementara itu, dari segi rakyat pemilih, MK menilai pemilu beruntun dalam tahun yang sama berpotensi membuat pemilih menjadi jenuh dan tidak fokus.
MK turut menyinggung masalah pelemahan pelembagaan partai jika pemilu nasional terus digelar berdekatan dengan pemilu lokal. Partai politik menjadi tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya sehingga mudah terjebak dalam pragmatisme.