08 Maret 2024
20:28 WIB
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitra Arsil menilai adanya dugaan kecurangan pemilu sangat rumit untuk dibuktikan. Sebab, belum ada desain penyelesaian sengketa pemilu yang sempurna.
Salah satu contoh kerumitan pembuktian menurut dia terlihat dari syarat pihak penggugat mesti membuktikan adanya kecurangan 50% lebih dari total 800 ribu lebih TPS di seluruh Indonesia.
“Dari sisi peserta (pemilu) sangat rumit. Mereka dihadapkan beban pembuktian yang berat,” ujar Fitra dalam diskusi publik di Fakultas Hukum UI, Depok, Jumat (8/3).
Fitra menambahkan, dugaan kecurangan ini juga akan sulit dibuktikan, karena pengaruhnya tidak bisa ditaksir terhadap hasil penghitungan suara pemilu. Apalagi, yang dipersoalkan sejauh ini bukan jumlah suara dan berada di luar tahapan pemilu.
Selain itu, dari sisi pihak yang menyelesaikan sengketa pun dinilai rumit untuk memutuskan pemilu curang. Lantaran desain penyelesaian tidak mendukung untuk menghasilkan keputusan yang memadai bagi pihak penggugat.
“Di samping desain pembuktiannya susah, dari sisi MK pun bagaimana caranya membuktikan hanya dikasih waktu 14 hari. Artinya tidak realistis ini. Desainnya tidak mungkin memutus secara adil,” beber dia.
Begitupun dengan mekanisme hak angket, yang dianggap Fitra hasilnya tidak akan memuaskan. Utamanya dikarenakan pihak terkait masing-masing masih menjabat dalam posisinya saat ini yang memungkinkan ada situasi tawar menawar politik.
"Dalam lame duck session masih sulit, dalam kajian saya menunjukkan pada lame duck session ini legislasi paling produktif, imbuh Fitra.
Kendati demikian, Fitra mengajak publik agar tidak putus asa dalam melakukan pembuktian kecurangan Pemilu 2024. Menurutnya, pihak terduga curang tidak boleh dibiarkan melanggeng tanpa kontrol.
"Nggak bisa putus asa juga, karena kalau kita putus asa sama saja mempersilakan yang diduga curang berkuasa," tutur dia.