12 April 2022
14:11 WIB
Penulis: Dwi Herlambang
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA – Melihat sederet makanan di atas meja pujasera (food court) salah satu perkantoran di selatan Jakarta, Caka (26) mengurungkan niatnya untuk memesan.
Bukan apa-apa, makanan yang disajikan, terbuka begitu saja tanpa penutup. Koloni lalat mengerubunginya. Sebagian bahkan hinggap lama di atas makanan dan membuat Caka tertegun.
Melihat hal tersebut, perut yang tadinya lapar mendadak kenyang. Caka lebih memilih menahan lapar sejenak, ketimbang mengambil risiko mengkonsumsi makanan tersebut.
“Setelah gue pulang, gue bilang sama istri di rumah kalau mulai besok lebih baik dibawakan bekal saja untuk makan siang,” kata Caka memulai ceritanya kepada Validnews, Rabu (6/4).
Istri Caka setuju. Karena, dengan menyiapkan sendiri menu makanan, istri Caka yakin menu makanan yang akan dilahap Caka tiap hari terjaga hiegenitasnya dan lebih sehat.
Tak terasa, sudah satu tahun Caka membawa bekal dari rumah. Manfaat yang didapat Caka tak hanya soal urusan kebersihan makanan saja. Dengan membawa bekal, Caka lebih bisa mengirit pengeluaran. Hitung punya hitung, sekitar Rp30 ribu per hari, tak harus keluar dari kantong.
Caka juga lebih bebas menentukan variasi menu yang akan dibawanya ke kantor. Kotak makanan Caka biasanya berisikan beberapa item, seperti nasi, sayur dan lauk pauk. Dari sejumlah manfaat itu, Caka yakin membawa bekal adalah jalan terbaik buatnya.
“Karena gue mau (program) punya anak, balik lagi ke gizi gue. Jadi, gue percaya masakan istri gue lebih bergizi. Apalagi cara ngolahnya kan gue lebih percaya ama istri,” ujarnya.
Caka tak sendiri, Aisyah (25) juga yakin kesehatannya lebih terjaga dengan membawa bekal makanan dari rumah. Ia sendiri sudah terbiasa membawa bekal sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Dulu, meski sempat diledek teman sebaya akibat membawa bekal, Aisyah tetap percaya diri. Baginya, kesehatan dirinya lebih penting dari sekadar ledekan teman.
Pola pikir seperti itu menurutnya sudah ditanamkan sejak dini oleh kedua orang tua, dan terus terbawa sampai dia berumah tangga. Suaminya selalu disiapkan bekal makanan untuk bekerja.
Selain gizi yang lebih tercukupi, mereka juga dapat lebih menghemat anggaran rumah tangga.
Aisyah senang menyiapkan bekal tersebut, sekalipun ia harus bangun lebih pagi. Ia biasanya memang mulai bekal untuk suami dan dirinya selepas solat Subuh. Agar proses memasak lebih cepat, bahan makanan yang akan diolah, sudah disiapkan sejak malam hari sebelumnya.
“Tentu repot, tapi ini jauh lebih baik. Pertama hemat pasti dan kedua kebersihan. Gue nggak tahu makanan di luar seperti apa, dari mulai proses pengolahan hingga menjadi makanan matang. Bukan (makanan luar) tidak baik, tapi dengan membawa bekal gue merasa lebih nyaman,” serunya.
Selain itu, keuntungan membawa bekal juga tidak banyak membuang waktu pada saat jam istirahat. Ketika jam istirahat tiba, ia hanya perlu membuka kotak makanan dan menyantapnya di ruang makan, tidak perlu berjalan keluar gedung untuk mencari makanan. Dengan begitu, waktu istirahatnya akan menjadi lebih banyak dibandingkan dengan karyawan lainnya.
Bahan Berbahaya
Untuk diketahui, tren membawa bekal setiap tahunnya terus meningkat. Berbeda pada era tahun 2000-an, di mana masih banyak anak-anak sekolah atau pekerja yang gengsi membawa bekal dari rumah.
Saat ini, kondisi tersebut berbalik. Banyak orang yang mulai tak segan membawa bekal dari rumah untuk makan siangnya.
Jika merujuk ke belakang, tren membawa bekal makin terlihat setelah ada peringatan Hari Bawa Bekal Nasional pada tahun 2013 yang diperingati setiap tanggal 12 April. Kampanye ini digagas oleh salah satu brand peralatan rumah tangga dengan berkolaborasi bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Alasannya, riset dari BPOM pada tahun 2006-2010 mendapati, 48% jajanan anak sekolah mengandung bahan kimia yang berbahaya. Riset lanjutan pada tahun 2014 juga menjelaskan, dari 10.429 sampel jajanan anak sekolah di seluruh Indonesia ditemukan masih ada 23,82% yang tidak memenuhi syarat.
Indikator tidak memenuhi syarat yang dimaksud itu ialah 74,9% disebabkan pencemaran mikroba, 15,7% menggunakan bahan tambahan pangan berlebihan dan 9% menggunakan bahan berbahaya.
Psikolog klinis Denrich Suryadi menjelaskan, kampanye membawa bekal bertujuan untuk membangun kesadaran tentang pentingnya membawa bekal yang dijamin lebih bersih dan sehat karena dibuat oleh orang tua maupun pasangan. Dari sisi priskologis, bekal menjadi bentuk nyata perhatian orang tua atau pasangan.
Sebab dalam prosesnya, orang tua atau pasangan perlu menyisihkan waktu secara khusus, sebelum anak maupun pasangan pergi beraktivitas. Dalam hal ini tentu dibutuhkan komunikasi dua arah, sehingga makna pembawaan bekal bisa diterima oleh setiap orang.
“Orang tua perlu mengkomunikasi maksud dan tujuan anak membawa bekal,” kata Denrich melalui sambungan pesan singkat, Jumat (8/4).
Komunikasi tersebut menurut Denrich sangat penting karena kebanyakan anak-anak merasa bosan dengan menu bekal yang dibawa. Belum lagi, ada rasa ingin menjajal jajanan di luar sekolah yang menggoda dan stigma ‘anak mama’ yang bisa jadi bahan ejekan.
“Ada yang pertimbangannya adalah menghemat. Sementara ada juga yang lebih nyaman makanan buatan sendiri karena tidak repot mencari makan, lebih sehat, bersih. Ketika pandemi mungkin ada kekhawatiran tertular melalui udara atau makanan,” imbuhnya.
Gizi Seimbang
Berbicara soal kesehatan, Ahli Gizi Rahmi Dzulhijjah memastikan, kebiasaan membawa bekal punya berpengaruh positif ke kesehatan. Akan tetapi, agar tujuan itu tercapai, masyarakat perlu memahami bahan makanan dan proses pengolahan makanan, sampai tujuan mendapat gizi seimbang untuk tubuh, bisa didapat.
Dia juga menyoroti masalah gizi di Indonesia. Menurutnya, faktornya bisa berupa kekurangan kalori, kekurangan protein dan anemia akibat kekurangan zat gizi mikro, serta kelebihan kalori yang menyebabkan obesitas.
“Faktor nomor satu adalah pola konsumsi. Masyarakat Indonesia dominan dapat asupan dari nasi, padahal tidak hanya dari nasi saja bisa kita ganti dengan yang lain. Ada juga faktor konsumsi sayur buah-buahan yang rendah di Indonesia, 95,5% penduduk di atas 5 tahun kurang konsumsi sayur dan buahnya,” jelas Rahmi kepada Validnews, Sabtu (8/4).
Menurut Rahmi, setiap bekal makanan yang disiapkan juga perlu memperhatikan prinsip ASD2H yaitu aman, sehat, bersih, bergizi dan hemat. Kalau poin-poin tersebut bisa terpenuhi, bekal yang dibawa tentu tidak hanya berpengaruh pada faktor ekonomis saja, tetapi juga sisi kesehatan.
Sementara itu, Konsultan dan Ahli Gizi, dokter Susianto menjelaskan, secara umum makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat saat ini cenderung ke arah makanan cepat saji atau fast food. Padahal, dari sisi kesehatannya, tidak memiliki gizi seimbang.
Menurutnya, gizi seimbang bisa didapatkan jika masyarakat mengikuti pedoman Isi Piringku dari Kemenkes. Secara sederhana pedoman tersebut berisikan anjuran pada masyarakat untuk membagi piring menjadi empat bagian, yakni 1/3 piring adalah makanan pokok seperti nasi atau diganti dengan ubi, jagung, kentang bahkan sagu, 1/3 piring sayur-sayuran. Kemudian, 1/3 sisanya dibagi menjadi dua, masing-masing 1/6 untuk lauk pauk yang berbeda.
“Kalau makan di luar cuma fast food isinya, cuma nasi sama daging. Ini bukan gizi seimbang. Jadi kalau kita siapkan di rumah bekal buat sekolah atau kerja kita bisa lengkapi dengan gizi seimbang,” kata dokter Susianto kepada Validnews, Jumat (7/4).
Upaya pemenuhan gizi seimbang menurut dia tidak melulu harus mengandung hewani seperti daging saja. Pilihan lainnya bisa diperoleh dari unsur nabati. Jadi, terdapat dua pilihan dalam memilih lauk yang presentasenya hanya 1/6, yaitu hewani dan nabati. Bisa juga masing-masing 1/12 atau hanya 8% dari isi piring.
“Jadi total sekali makan itu sebenarnya nggak usah mahal. Kalau daging, ikan mahal kita bisa substitusi ke lauk nabati yang jauh lebih murah, tapi gizinya nggak kalah. Kayak tahu, tempe dan jamur,” ujarnya.
Gizi tempe sendiri sejatinya tak kalah dari daging. Protein di dalam tempe setara dengan daging sapi atau ayam, yakni 18,5% dan lebih tinggi dari daging kambing di angka 16,6%. Zat besi tempe yang mencapai 10mg, juga lebih tinggi dari daging sapi 2,8 mg, ayam 1,5mg dan kambing 1mg. Oh ya, zat besi dibutuhkan untuk pencegahan anemia.
Lalu, kadar kalsium dalam tempe 129mg, sekitar 9-11 kali di atas daging sapi, ayam dan kambing yang kalsiumnya hanya 11-14mg. Angka ini, kata Susianto, menunjukkan protein yang dibutuhkan untuk dikonsumsi, tidak perlu mahal. Kita hanya perlu meracik dengan kreatif bekal makanan agar tak membosankan.
“Karbohidrat kompleks sebagai sumber tenaga tubuh itu datang dari umb-umbian dan bukan dari nasi putih. Jadi, tidak ada istilah mesti makan mahal baru bisa cukup gizi,” ujarnya.
Sementara itu jika membedah fast food—makanan yang sering dikonsumsi masyarakat saat ini tentu sangat tidak bergizi. Fast food berisi gorengan yang tinggi lemak, lemak jenuh, minyak, dan garam tinggi yang bisa membuat kolestrol. Soft drink pada makanan cepat saji juga memiliki kandungan gula yang sangat tinggi dan tidak memiliki serat.
Serat sendiri hanya bisa ditemukan pada makanan nabati seperti sayur atau umbi-umbian yang seharusnya sudah dikonsumsi oleh masyarakat. Serat menjadi indikator penting untuk mencegah kanker, mencegah kolesterol. Sementara gula, dengan kadar yang cukup bisa memperbanyak koloni bakteri baik dan menaikan imunitas tubuh.
“Daya tahan tubuh kita 70% tergantung pada kesehatan usus pencernaan,” imbuhnya.
Ia mencontohkan, makanan yang mengandung gizi seimbang dan bisa dibeli oleh masyarakat adalah gado-gado, karedok, atau ketoprak. Di dalam makanan tersebut terdapat sumber protein, sayur-sayuran, mineral, vitamin dan karbohidrat. Dari segi biaya juga sangat terjangkau.
Sayangnya, menurut Susianto, saat ini masyarakat Indonesia masih memiliki pandangan yang salah terkait pola konsumsi makanan. Karena itu, keberlangsungan kesehatan masyarakat ini harus dimulai sejak di rumah. Bisa dibilang, rumah punya peran startegis untuk menentukan asupan yang baik buat anggota keluarga.
“Mereka sudah terpaku sama pola yang lama. Problemnya orang malas. Padahal yang paling penting, makan bervariasi itu dijalanin enggak? Jadi kita sudah ngerti makan ada sayur, buah, lauk, kemudian ada makanan pokok,” ujarnya.
Susianto berpesan pada masyarakat untuk memahami makanan yang memiliki gizi seimbang. Langkah sederhananya, adalah membuat bekal dengan panduan Isi Piringku.
Satu yang tak kalah penting, membawa bekal sendiri juga menimbulkan efek psikis yang sangat luar biasa. Denrich bilang, bekal bisa membangun hubungan lebih dekat, antara orang yang membuatkan bekal, menghargai orang yang membuatkan bahkan sebagai bentuk bahasa kasih yaitu acts of service.