25 Agustus 2022
08:11 WIB
Editor: Rikando Somba
BANDA ACEH – Parlemen lokal Aceh kini mempertimbangkan mendayagunakan ganja yang biasanya dimusnahkan, untuk kepentingan medis. Peluang ekonomi ini dinilai harus dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dengan cara melegalkannya. Caranya dengan mengatur tegas untuk kepentingan medis. Apalagi, kualitas ganja Aceh dinilai lebih bagus ketimbang ganja di negara lain.
Ini merupakan bagian pertimbangan yang mendasari Komisi V Bidang Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mewacanakan pembuatan qanun (peraturan daerah) tentang legalisasi ganja untuk kepentingan medis. DPRA bersama unsur lainnya terus menganalisis secara detail positif dan negatifnya penerapan qanun tersebut nantinya.
"Ini juga menjadi salah satu prospek ke depan untuk peningkatan PAD (pendapatan asli daerah) Aceh. Karena ini akan menjadi barang ekspor untuk negara-negara luar," kata Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani, di Banda Aceh, Rabu (24/8).
Rizal mengatakan, perlu ada aturan tegas menyoal mekanisme dan tata cara apa saja yang dilarang dan dibolehkan terkait penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Sehingga nantinya tanaman tersebut tidak disalahgunakan.
"Sebuah keharusan Aceh melakukan sebuah kajian dan ini tentunya akan melahirkan sebuah regulasi, tentunya karena kita berbicara Aceh adalah qanun," kata Rizal.
Falevi menambahkan, pihaknya juga menjadikan aturan dari Kementerian Kesehatan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sebagai rujukan. Permen tersebut, kata Falevi, menjadi dasar pihaknya melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap rencana legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan.
"Saya pikir karena Aceh mempunyai literatur ganja yang sangat komprehensif, dan juga memiliki berkualitas terbaik, tentu ini menjadi penting dikaji untuk melahirkan sebuah regulasi," ujarnya.
Komisi V DPRA dikutip dari Antara, dalam waktu dekat segera memanggil para tenaga ahli untuk mengkaji secara regulasi-nya, serta juga melibatkan berbagai unsur baik itu orang kesehatan serta tim riset.
Secara literatur, tanaman ganja bukan barang asing dan tabu bagi masyarakat Aceh. Hanya saja parlemen Aceh menilai, hal ini perlu dikemas dalam sebuah regulasi agar tidak menyalahi aturan bernegara.
Digodok MUI
Soal pemanfaatan ganja untuk keperluan medis, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga tengah mengajinya. Wakil Ketua MUI Marsudi Syuhud memastikan, fatwa ganja medis terus digodok oleh Komisi Fatwa MUI.
Ini dilakukan karena segala sesuatu yang ada baiknya untuk kehidupan harus mendapat dukungan.
Pengkajian ini, dikutip dari Antara, juga dilakukan menyambut pernyataan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang membuka peluang legalisasi ganja untuk medis. Wapres Ma’ruf juga meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera melihat fatwanya. Dia meminta dasar hukum dalam Islam mengenai legalisasi ganja untuk medis ke Komisi Fatwa.
"Ini akan dibahas oleh komisi fatwa, apa saja di dunia ada manfaatnya dan manfaatnya itu sangat dibutuhkan maka itu jadi jalan keluar untuk dipertanggungjawabkan. Intinya pada posisi kemaslahatan untuk kemanusiaan bagaimana," kata Marsudi di sela-sela Milad MUI ke-47 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Marsudi menilai, jika ganja selama ini dipersepsikan bersifat buruk, namun selama memiliki kebaikan untuk kemaslahatan umat maka dapat dikecualikan.
"Dalam fiqih-kan demikian, ini akan dilihat potensi sekaya apa cara penggunaannya, referensi dokter apa untuk bisa digunakan. Jadi ketika tidak ada benda lain yang bisa menggunakannya maka untuk itu kadar untuk diperbolehkan," urainya.
Namun, dia menekankan, selama penggunaan ganja masih memiliki alternatif benda lain yang dapat menggantikan, ganja menjadi opsi yang tak diprioritaskan.