31 Juli 2023
17:38 WIB
PALEMBANG – Sejarah gerakan radikalisme dan ekstremisme bisa dibilang, sejalan dengan peradaban manusia modern. Seiring waktu, gerakan-gerakan ini hanya bertransformasi dan bersalin wajah sesuai dengan zaman.
Bedanya, jika dulu kebanyakan gerakan radikalisme dilakukan secara ekslusif dan hanya terpusat di lokasi-lokasi tertentu, saat ini pemikiran bahkan gerakan radikalisme bisa dengan gamblang muncul di permukaan. Kampus, sebagai basis berkumpulnya kaum intelektual pun tak lepas dari paparan radikalisme.
Fenomena ini menjadi perhatian Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof. Dr. Alfitri, M.Si. Menurut guru besar yang lama meniti karir akademisnya di departemen ilmu sosiologi ini, potensi radikalisme di arena kampus merupakan isu serius yang perlu penanganan segera jika terjadi. Apalagi jika telah melibatkan tenaga pengajar.
“Harus ada langkah nyata dari pimpinan, baik di lingkup universitas maupun fakultas. Yaitu dengan melakukan pemutusan hubungan dengan kelompok radikalisme. Misalnya saja dengan membentuk Satgas Anti-radikalisme. Jadi nantinya tak hanya menangani kasus, tapi juga merancang strategi mencegah masuknya radikalisme ke kampus,” jelasnya, Senin (30/07).
Pada 2016, BNPT menyatakan, gejala radikalisme telah menyebar di kalangan mahasiswa lewat berbagai saluran. Bahkan, pada 2018, lembaga ini jelas menyebutkan, setidaknya tujuh kampus negeri telah terpapar radikalisme.
Radikalisme tersebut umumnya dibawa oleh kelompok keagamaan eksklusif dan puritan yang menyasar lembaga-lembaga dakwah di lingkup universitas maupun fakultas. Masjid atau musala rentan jadi target sebagai tempat kaderisasi.
Ironisnya, tak hanya mahasiswa sebagai peserta didik yang menjadi korban paparan radikalisme di kampus, namun juga kelompok pendidik. Pada 2018, tercatat sejumlah dosen dicopot dari jabatannya karena dituding menganut ideologi antipancasila.
Konsep Jihad
Riset yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2012 pun menyebut, setidaknya 26,7% anak muda setuju pada konsep jihad yang dilakukan lewat kekerasan. Beberapa lainnya mengaku dengan tegas menolak pemimpin non-islam dan mendukung pendirian negara Islam.
Alfitri menuturkan, manajemen universitas idealnya memang menjadi garda terdepan yang mengambil tindakan bijak, ketika mengetahui adanya aliran radikal yang telah mulai menyelinap di antara masyarakat kampus. Bahkan tak hanya sigap menanggulangi, jika sampai kebobolan, evaluasi juga perlu dilakukan berkala demi menjaga hal yang sama untuk tak lagi terulang.
Dalam hal ini, Unsri, kata Alfitri, sudah melakukan upaya tersendiri. Perguruan tinggi negeri di Sumatra Selatan ini mengadakan monitoring dari waktu ke waktu kepada para mahasiswanya. Terutama kepada mereka yang diduga, berpotensi ataupun sudah pernah melakukan tindakan yang mengarah pada radikalisasi.
“Monitoring dilakukan melalui pemantauan kegiatan kelompok mahasiswa. Misalnya kalau ada kegiatan diskusi di musala atau masjid di area kampus, kita harus pastikan aman. Caranya dengan meneliti narasumber yang diundang, melihat rekam jejaknya,” ujar Alfitri.

Langkah ini seiring dengan kebijakan yang dilakukan Kemendibukdristek. Sebelumnya, Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti-Ristek Kemendibudristek Dr. Lukman mendorong agar Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), mampu mencegah berkembangnya paham radikalisme di kampus.
"Kehadiran AMKI diharapkan dapat mencegah berkembangnya radikalisme di kampus," kata Lukman beberapa waktu lalu.
Catatan saja, saat ini, terdapat sebanyak 4.231 perguruan tinggi di Indonesia dengan jumlah mahasiswa hampir 9 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 6,5 juta orang atau 80%-nya merupakan mahasiswa Muslim.
"Saat ini ada beberapa paradigm, masjid kampus itu berpotensi melahirkan radikalisme. Kami saat ini ingin menegaskan di masjid kampus itu justru bukan jadi radikal, tapi masjid kampus ini adalah pusat karakter, pengetahuan, dan peradaban," tutur Lukman.
Bukan Tugas Enteng
Alfitri sendiri mengakui, mengurus isu radikalisme di kampus bukanlah tugas enteng. Pasalnya, tak hanya di dalam kampus, agar efektif, pemantauan juga mesti dilakukan di luar kampus. Karena bisa jadi mahasiswa terlibat dengan kelompok radikal dengan orang-orang di luar masyarakat kampus. Jika terjadi di luar kampus, kerja sama dengan unsur pemerintah dan aparatur pun menurutnya harus dilakukan.
Dari pengalaman yang ada, Afitri pun berpendapat, cara terbaik dalam menangani isu radikalisasi adalah pencegahan sejak awal dengan cara edukatif. Misalnya saja dengan pembekalan bernuansa toleransi saat masih berstatus mahasiswa baru atau dalam rangkaian kegiatan penerimaan mahasiswa.
Perhatian Alfitri terhadap isu radikalisasi di kalangan kampus pun dituangkannya dalam pelaksanaan branding fakultas yang dipimpinnya sebagai ‘Kampus Kebangsaan’. Predikat ini diikuti dengan sejumlah agenda yang menjadi kalender akademis FISIP Unsri.
“Pencanangan FISIP sebagai ‘Kampus Kebangsaan’ sudah di-launch sejak tiga tahun yang lalu. Tujuannya adalah meningkatkan cinta tanah air di kalangan mahasiswa kami dan meredam unsur radikalisasi masuk ke kampus.”
Alfitri yang tengah tengah bersaing dengan dua calon lainnya dalam Pemilihan Rektor Universitas Sriwijaya, Kamis, 3 Agustus 2023 mendatang ini, mencontohkan beberapa acara yang biasa digelar untuk menumbuhkan rasa kebangsaan tersebut. Misalnya, mengadakan seminar, diskusi dengan narasumber terpilih, hingga kegiatan-kegiatan bela negara lainnya.