c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

26 Juni 2024

11:53 WIB

Negera Dinilai Belum Tegas Larang Sunat Perempuan 

Pemerintah masih mendua akan praktik sunat perempuan karena mash terjadi berdasarkan tradisi di beberapa daerah.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Negera Dinilai Belum Tegas Larang Sunat Perempuan&nbsp;</p>
<p>Negera Dinilai Belum Tegas Larang Sunat Perempuan&nbsp;</p>

Ilustrasi Gedung Komnas Perempuan di Menteng, Jakarta Pusat. rri.co.id.

JAKARTA - Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rainy Hutabarat menyatakan, negara masih belum bersikap tegas untuk melarang pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. 

Menurut dia, praktik tradisional yang masih dilakukan di sejumlah daerah ini merupakan bentuk penyiksaan berbasis gender. Pemerintah, menurut Komnas Perempuan masih bersikap mendua, antara membolehkan atau melarang praktik tradisional ini.

“Praktik sunat pada perempuan ini masih dilakukan di Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Sumba, kami menganggap ini adalah praktik berbasis tradisi yang mengarah pada perbuatan sewenang-wenang dan tidak manusiawi,” papar Rainy dalam keterangan yang diterima, Rabu (26/6).

Dihubungi secara terpisah, Rainy mengatakan, praktik ini disebut penyiksaan dan kekerasan karena umumnya korban menganggap praktik ini bagian dari budaya dan tak bisa melawan hal tersebut. Korban merasa harus menuruti tradisi keluarga dan tak memiliki support system terjangkau.

Padahal, jika dilihat dari sisi kesehatan, sunat perempuan ini hanya akan menyebabkan masalah bagi perempuan seperti pendarahan dan nyeri hebat. Kelamin perempuan tidak tertutupi oleh preputium atau sudah terbuka sejak lahir sehingga tidak perlu dilakukan sunat. 

“Kasus penyiksaan ini hanya akan terungkap, setelah terjadi tindak kriminalitas termasuk kekerasan seksual dan korban berani melaporkan kasusnya,” kata Rainy.

Untuk itu, Rainy mendorong agar pemerintah bisa bertindak tegas melarang praktik sunat ini. Sebab korban tidak berani untuk melawan tindak perlukaan ini, karena umumnya praktik sunat dilakukan saat perempuan masih berusia balita. 

“Kami mendorong agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang sunat bagi perempuan untuk urusan apapun, karena jika negara tidak hadir di sini maka partik tradisional ini tidak akan berhenti,” kata Rainy.

Rainy menambahkan, dalam mengeluarkan kebijakan pelarangan ini, pemerintah perlu melakukan perubahan pendekatan. Jika selama ini pendekatan yang dilakukan dari perspektif agama dan kesehatan, maka ke depan pendekatan yang dilakukan juga akan melihat dari perspektif anak dan remaja. Termasuk, perspektif tokoh adat atau budayawan untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya sunat pada perempuan. 

“Perlu menekankan perlindungan terhadap perempuan khususnya dari masalah kesehatan, karena jika dilihat dari sisi medis sunat ini tidak ada manfaat kesehatannya,” kata Rainy.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar