17 Oktober 2025
08:44 WIB
MK Tegaskan Penangkapan Jaksa Harus Seizin Jaksa Agung
Penangkapan jaksa tak perlu izin Jaksa Agung saat OTT dan pengecualian lain.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi-Penangkapan jaksa. Shutterstock/dok.
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, penangkapan jaksa saat melaksanakan tugas dan wewenangnya, harus ada izin Jaksa Agung. Kecuali, dalam hal operasi tangkap tangan (OTT) atau disangka melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati.
Demikian putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dimohonkan Agus Setiawan dan advokat Sulaiman.
“Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian tertentu,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta, Kamis (16/10).
Pengecualian yang dimaksud MK, yakni tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Baca juga: Kejagung Tanggapi KPK Tangkap Jaksa
MK memberikan pemaknaan baru atas Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan yang semula tertulis, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”
Jika merujuk pada norma pasal sebelum pemaknaan MK, setiap penangkapan jaksa, tanpa terkecuali, harus mendapat izin Jaksa Agung terlebih dahulu.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, MK menilai, pelindungan hukum untuk penegak hukum atau penyelenggara negara yang tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memang diperlukan.
Namun, norma Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan tidak selaras dengan semangat persamaan semua orang di hadapan hukum, khususnya dalam perspektif pelindungan hukum bagi sesama penegak hukum.
Pengecualian perlakuan seharusnya tetap diperlukan dengan batas-batas yang wajar dan terukur. Sebab, kata Arsul, ketiadaan pengecualian dapat menghambat proses penegakan hukum dan memperlemah prinsip persamaan di hadapan hukum.
“Maka tidak ada pilihan lain bagi MK berkaitan dengan norma Pasal 8 ayat 5 UU 11 Tahun 2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat,” tutur dia dikutip dari Antara.
Selain itu, dalam putusan ini, MK juga mengabulkan dalil pemohon terkait Pasal 35 ayat 1 huruf e. Pasal itu pada pokoknya menyatakan Jaksa Agung dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam pemeriksaan kasasi.
Menurut MK, pasal tersebut tidak mengatur batasan atau pengaturan yang tegas mengenai pertimbangan teknis seperti apa yang dapat diberikan Jaksa Agung kepada MA sehingga berpotensi membuka ruang intervensi dalam proses pengambilan putusan.
Maka dari itu, Mahkamah menyatakan Pasal 35 ayat 1 huruf e UU Kejaksaan beserta penjelasannya bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, pasal tersebut kini tidak lagi berlaku.