02 Januari 2025
17:04 WIB
MK Hapus Presidential Treshold Untuk Capres-Cawapres
MK menyatakan presidential treshold bertentangan UUD 1945, hak politik rakyat dan kedaulatan rakyat.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
majelis hakim konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Sumber: AntaraFoto/Dhemas Reviyanto.
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan presidential treshold 20%, atau syarat minimal partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Perkara ini teregister dengan nomor 62/PUU-XXII/2024
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan perkara uji materi UU Pemilu pada sidang dengan agenda pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Suhartoyo menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 222 UU Pemilu tertulis, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
MK menilai presidential threshold bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan majelis hakim konstitusi.
Sebagai informasi permohonan ini diajukan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, DI Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, dan kawan-kawan. Para Pemohon mendalilkan prinsip "one man one vote one value" tersimpangi oleh adanya presidential threshold.