c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

07 Maret 2023

14:20 WIB

Menkeu Didesak Evaluasi Menyeluruh Pejabat Kemenkeu

Kasus Rafael Alun dan Eko Darmanto diduga hanya puncak gunung es dari gaya hidup mewah pejabat di Kemenkeu. Diduga banyak pejabat lain yang memiliki harta jumbo di luar kewajaran, tapi belum terungkap

Menkeu Didesak Evaluasi Menyeluruh Pejabat Kemenkeu
Menkeu Didesak Evaluasi Menyeluruh Pejabat Kemenkeu
Ketua Umum (Ketum) Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho. dok. ist

JAKARTA- Pemeriksaan kewajaran harta kekayaan Mantan Kabag Umum Kanwil Pajak Jakarta Selatan Rafael Alun Trisambodo dan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, diharapkan jadi pintu masuk menelusuri dan memeriksa harta kekayaan pejabat-pejabat di Kemenkeu yang lainnya. Sebab, patut diduga masih banyak pejabat di Kemenkeu yang memiliki harta jumbo di luar kewajaran, tapi belum terungkap.

Hal ini diungkapkan Ketua Umum (Ketum) Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho, merespons terungkapnya kekayaan tak wajar dan gaya hidup mewah pegawai Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Menurutnya, kondisi saat ini menjadi pembuka kotak ‘Pandora’ atas kejanggalan jumlah harta kekayaan pribadi dan perilaku hedonis di kalangan pejabat DJP dan DJBC Kemenkeu. 

Apalagi, dia melihat, sudah menjadi rahasia umum sejak era Orde Baru, para pejabat di lingkungan DJP dan DJBC Kemenkeu, memiliki harta kekayaan yang cukup fantastis. 

“Tidak sesuai dengan normal Take Home Pay atau gaji resmi yang diterima setiap bulan sebagaimana peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia  (PGPS), termasuk ‘tunjangan khusus’ yang diterimanya pula secara formal,” ujar Hardjuno di Jakarta, Selasa (7/3).

Hardjuno yakin, kasus Rafael Alun dan Eko Darmanto hanyalah puncak gunung es dari gaya hidup hedonis pejabat-pejabat di lingkungan Kemenkeu khususnya di DJP dan DJBC.

“Intinya perilaku oknum-oknum pejabat Kemenkeu yang over confidence, menggunakan kekuasaannya untuk kesenangan pribadi. Ini mengerikan dan menjadi bibit lahirnya kecemburuan sosial. Apalagi ini, terjadi disaat angka kemiskinan di Indonesia meningkat,” tuturnya.

Kredibilitas Di Titik Nadir
Dia khawatir jika dibiarkan, kecemburuan sosial seperti ini, bisa memicu instabilitas politik menjelang tahun politik 2023-2024 ini. Untuk itu, Hardjuno mendesak Sri Mulyani melakukan evaluasi menyeluruh kepada seluruh pegawainya agar kejadian hedonisme ini tidak terulang lagi.

"Saya kira, ini menjadi PR bagi Menkeu Sri Mulyani, agar mengevaluasi secara menyeluruh kepada pegawainya agar tidak ada kejadian seperti ini terulang lagi,” ujar Staf Ahli Pantia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tersebut.

Dia menilai, terbongkarnya kasus Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto, membuat kredibilitas Menkeu Sri Mulyani berada di titik nadir. Kedua kasus ini mengkonformasikan Menkeu Sri Mulyani sama sekali tidak melakukan perbaikan kinerja di Kemenkeu, kecuali menumpuk utang Negara yang angkanya mencapai Rp7.000 Triliunan di era Rezim Jokowi-Ma’aruf Amin.

Tumpukan utang ini tegas Hardjuno lagi sangat memberatkan generasi yang akan datang. “Selama ini, Menkeu Sri Mulyani memang sukses membuat rakyat percaya. Tapi kasus pamer harta, harta yang tak wajar, dan bahkan angka jumlah pejabat pajak yang tidak lapor pajak, membuktikan sebaliknya. Yakni, kemenkeu ternyata tidak bisa dipercaya,” tegasnya.

Padahal, selama ini, Menkeu Sri Mulyani mencitrakan dirinya sebagai sosok yang telah banyak melakukan perubahan di jajaran kementeriannya, khususnya dilingkungan DJP dan DJBC.

Senada, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro  mengusulkan pentingnya Revolusi Keuangan Negara. Hal ini penting agar sumber penerimaan negara dikelola tepat sasaran dan memberikan benefit bagi rakyat.

Apalagi, DJP dan DJBC memberi kontribusi lebih 70% dari total penerimaan APBN. “Untuk menyelamatkan citra Kemenkeu, saya kira, perlu revolusi total di Kemenkeu. Sebab terbukti, banyak pejabat nakal di Kemenkeu yang belum melapor pajaknya,” tuturnya.

Dia pun mempertanyakan efektivitas sistem emunerasi besar-besaran untuk jajaran Kemenkeu. Apalagi, masyarakat diminta memaklumi kebijakan ini agar para pejabat tidak tergoda melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelaporan pajak. 

“Tapi hari ini Tuhan membongkar semuanya. Bagaimana kita bisa percayakan uang kita, masa depan anggaran kita kepada Sri Mulyani dan anak-anak buahnya?” tandasnya. 

Redesain LHKPN
Sebelumnya, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga Gitadi Tegas Supramudyo, menyebut, dugaan kepemilikan harta bernilai fantastis oleh eks pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan reformasi. Khususnya redesain kebijakan, terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

"Sudah seharusnya LHKPN segera diperbaiki sehingga tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain atau penyamaran aset. Dalam hal ini, para pemangku kepentingan harus juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga," ujarnya.
 
Selain itu, momentum ini juga sangat tepat untuk melakukan memeratakan keadilan bagi profesi lain sesuai dengan kontribusinya. Perlu diketahui, setiap instansi memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. 

Namun demikian, masih terjadi ketimpangan khususnya dalam hal anggaran dan tunjangan yang diterima.
 
"Jadi, menurut saya ini momentum penting untuk melakukan redesain dan reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi profesi lain yang juga memiliki kontribusi masing-masing, terutama di bidang pendidikan yang paling kentara kesenjangannya," ujarnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar