c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

25 Juli 2025

19:00 WIB

Mencipta Ruang Berkarya Untuk Anak Autis

Komunitas Donasi Barang ingin menjadi ruang aman, sekaligus ladang pelatihan kemandirian bagi anak autis dan ODGJ.

Penulis: James Fernando

Editor: Novelia, Nofanolo Zagoto,

<p>Mencipta Ruang Berkarya Untuk Anak Autis</p>
<p>Mencipta Ruang Berkarya Untuk Anak Autis</p>

Kedua murid penyandang autisme yang sedang belajar membuat kerajinan keset di Sekolah Autis, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (23/07). Validnews.ID/Hasta Adhistra

JAKARTA –Biasanya, banyak orang tak memedulikan pakaian tak layak pakai. Namun, baju-baju tidak layak pakai yang ada di sebuah gudang di kawasan Bekasi tidak pernah lama dibiarkan menumpuk. Semua ini bisa cepat diolah menjadi barang-barang bermanfaat lagi, berkat anak-anak autis dan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). 

Inisiatif melibatkan anak-anak autis dan ODGJ ini muncul dari Ade Rahmad, inisiator Donasi Barang. Mantan guru anak autis itu memahami mereka tersisihkan dari lingkungan sosial. Jarang ada masyarakat yang memberikan mereka kesempatan berkarya. 

Gerakan Donasi Barang sebenarnya tidak hanya menerima baju tidak layak pakai, tapi juga barang-barang bekas lainnya. Ini sudah dijalani sejak 2017, sesuai dengan slogan yang mereka usung; sisa-sisa tidak selalu sia-sia.  

Barang-barang bekas masih layak pakai yang mereka terima sebagian akan disalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Sebagian lainnya dijual untuk mendanai operasional program. Sementara itu, barang tidak layak pakai, akan jadi bahan baku untuk didaur ulang oleh anak autis dan ODGJ.

Bukan tanpa alasan Kang Ade, sapaan akrabnya, melibatkan anak-anak autis dan ODGJ. Sebab, menurut pengalaman Ade saat menjadi guru di sekolah luar biasa, mereka perlu diberikan kesempatan untuk berkarya. Kegiatan ini diyakininya akan menstimulasi fungsi motorik halus mereka, sehingga bisa fokus dan percaya diri.

Ade dan teman-temannya mulai melibatkan anak-anak autis dan ODGJ sejak tahun 2021. Saat itu, Rumah Autis yang ada di kawasan Bekasi setuju dengan tawaran Ade dan teman-temannya yang ingin membuat kegiatan mendaur ulang untuk anak-anak di sana.  

Dari awal, Ade sadar harus pintar-pintar menjaga mood anak-anak autis di sana saat kegiatan daur ulang Donasi Barang berlangsung. Ia memahami penjelasan dari Donasi Barang baru bisa ditangkap sempurna jika mood anak-anak terjaga. Kalau mood sedang buruk, mereka rentan menjadi pemarah, bahkan bisa segera mengalihkan perhatiannya ke hal lain.

Makanya, Ade selalu mencoba untuk membangun interaksi yang menyenangkan dengan anak-anak autis. 

Ade biasanya akan mengenalkan warna-warna dari barang-barang bekas yang mereka bawa. Setelah mendapat perhatian penuh, ia akan mulai mengajak anak-anak tersebut untuk memilah pakaian bekas sesuai dengan warna masing-masing. 

Fokus anak-anak autis itu gampang hilang. Kalau sudah tidak tertarik mereka akan langsung menjauh mencari kegiatan lain. Ade harus ekstra sabar menghadapi hal semacam ini.

“Mengajarkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk menjalankan ini tidak gampang. Karena mereka duduk dan fokus untuk lima menit saja itu susah. Makanya harus dilakukan pelan-pelan,” kata Ade, saat berbincang kepada Validnews, Kamis (24/7).

Donasi Barang akhirnya melibatkan guru-guru di Rumah Autis untuk mengatasi fokus anak autis tersebut. Mereka mengajarkan para guru untuk memilah hingga cara menggunting pakaian bekas yang akan didaur ulang. Guru-guru juga diajari cara mengolah kain-kain yang sudah gunting itu, entah itu menganyamnya menjadi keset kaki, atau membentuknya menjadi barang lainnya.   

Setelah menguasainya, para guru juga mulai mengajarkan cara mendaur ulang kepada anak-anak secara berkala sekali sepekan. Ini tentunya dijalani tanpa mengganggu kegiatan belajar anak-anak autis. 

Proses pelatihan ini disampaikan Ade memakan waktu yang tidak sedikit. Sebab anak-anak juga harus diajari tentang pengenalan bahan baku, menyatukan bahan hingga soal pemilihan warna.

Meski diarahkan, anak-anak tetap diberi kebebasan memilih warna sesuai imajinasinya masing-masing. Ade ingin anak-anak tersebut bisa bergembira saat mengerjakan karya tersebut.

Ade mengatakan, untuk membuat anak-anak paham untuk membuat satu kerajinan tangan saja, dibutuhkan waktu tiga hingga enam bulan. Karya anak-anak tersebut tergolong rapi, meski sentuhan akhirnya masih mendapat bantuan guru. 

Walhasil, saat ini, sekitar 70% peserta pelatihan sudah mampu menghasilkan karya secara mandiri. Salah satunya Akmal. Ia mampu membuat satu keset dalam waktu tiga jam, hasil dari latihan bertahun-tahun.

“Ada anak yang namanya Akmal, dia sudah terampil sekali membuat ini. Kami yang mendampingi dan mengajari mereka itu sangat senang melihat perkembangan ini,” ucap Ade.

Terapi ODGJ
Selain anak autis, Donasi Barang juga memberdayakan lebih dari 200 ODGJ di Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat. Pelibatan ODGJ untuk kegiatan mendaur ulang barang ini merupakan permintaan dari Yayasan di sana.

Menurut Kang Ade, aktivitas ini bukan sekadar pekerjaan, tapi juga terapi. Kegiatan ini setidaknya bisa membuat para pasien untuk lupa dengan dunia halusinasinya. Efeknya ada, salah satu pasien ODGJ mulai sembuh karena aktivitas ini.  

“Kalau mereka bengong, halusinasi itu datang. Tapi kalau diajak fokus, menggunting atau memilah warna, mereka bisa lupa dengan dunia halusinasinya. Ini bentuk terapi non-medis yang sangat efektif,” ujar Kang Ade.

Sebenarnya pelatihan terhadap ODGJ tidak jauh berbeda dengan anak-anak autis. Guru-guru pendamping tetap dilibatkan untuk mengajarkan ODGJ cara menggunting, memilah warna, dan menganyam tekstil bekas menjadi keset. Meski begitu, kendala terkadang muncul. Suasana hati ODGJ mudah berubah.

Kendala lainnya, jarak dengan rumah ODGJ di Cianjur terlalu jauh. Donasi Barang lebih sering hanya bisa melakukan pendampingan jarak jauh.

Ade mengatakan, program pelatihan keterampilan terhadap anak autis dan ODGJ ini menekankan pada keberlanjutan serta penanaman nilai kebudayaan. Oleh karena itu, karya-karya daur ulang buatan anak autis maupun ODGJ ini akan dipasarkan. 

Di Rumah Autis, penjualan dilakukan secara online dibantu oleh tim Donasi Barang. Hasil penjualannya, diserahkan sepenuhnya ke anak-anak autis. 

Sedangkan di Cianjur, karya ODGJ dijual melalui jalur komunitas lokal seperti pameran, pasar malam, dan pemerintahan desa. Hasilnya akan dikelola pengurus rumah ODGJ itu, untuk keperluan anak-anak di sana.

“Selama ini orang beli karena kasihan. Kita ingin ubah itu. Jangan beli karena iba, tapi karena butuh dan mengapresiasi karya mereka,” tegas Kang Ade.

Muhammad Hambali, inisiator Donasi Barang lainnya, mengatakan, kegiatan donasi barang ini memang mengusung misi sosial sejak pertama dibentuk. Kegiatan ini merupakan turunan dari program Sibara Action yang juga mereka rancang.

Salah satu isi program ini yakni memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus baik autis maupun ODGJ. Keduanya selama ini kesulitan diterima di masyarakat. Energi mereka melimpah, tapi kerap dianggap ‘mengganggu’. 

Donasi Barang ingin menjadi ruang aman, sekaligus ladang latihan kemandirian bagi anak autis dan ODGJ. Anak-anak autis misalnya, diberi tugas menyortir pakaian bekas di markas Donasi Barang. Kegiatan ini menjadi lanjutan kegiatan daur ulang yang dilakukan di Rumah Autis.

Di markas Donasi Barang, mereka akan dilibatkan membantu menyortir dan membuat kerajinan dari bahan daur ulang. Anak-anak autis tersebut tidak hanya mendapat kesempatan belajar mandiri dan penghasilan, tetapi juga rasa percaya diri dan rasa memiliki mereka terasah.


Pendekatan yang Lembut
Pelibatan anak autis ini sendiri dilakukan tiga kali seminggu, dari pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB. Buat Kang Bali, sapaan akrab Hambali, kegiatan di gudang donasi ini menjadi simbol jika inklusi bukan sekadar kata, tapi tindakan nyata. Jadi bukan hanya sekadar memilah barang.

Kegiatan menyortir barang ini akan didampingi oleh guru khusus yang memahami betul karakteristik dan kebutuhan emosional dari anak-anak berkebutuhan khusus. Pendampingan ini tidak hanya memberikan tugas, tetapi juga menanamkan rasa hormat terhadap keberagaman dan menjadikan setiap aktivitas sebagai sarana belajar interaksi sosial yang sehat.

Para guru pendamping juga sering memberikan pemahaman tentang pentingnya pendekatan yang lembut, tanpa paksaan, dan menghargai setiap emosi anak kepada Kang Bali dan teman-temannya. Guru itu juga berperan sebagai penghubung antara anak-anak dan orang tua, memastikan setiap anak mendapatkan perhatian sesuai kebutuhan mereka.

Pendekatan ini terbukti efektif. Kang Bali mulai bisa berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sana. Ia bahkan bisa mengenalkan anak autis itu ke lingkungan sekitar gudang, dan mengajak anak autis itu ke warga yang sedang berkumpul. 

Kang Bali mau menunjukkan kepada masyarakat sekitar bahwa anak autis tidak berbahaya. Mereka bisa diajak bergaul dan bercanda. Meski begitu, Kang Bali tetap mengingatkan warga untuk menjaga mood anak itu tetap baik.

Sesekali saat melakukan pendampingan di markas Donasi Barang, Kang Bali mendapati anak yang sedang tidak mood berkegiatan. Kondisinya tidak tenang dan marah-marah. Anak itu bahkan sempat berlari meninggalkan lokasi itu.

Melihat hal itu, Kang Bali coba menegur anak itu dengan lembut dan mengingatkannya untuk kembali. Warga setempat yang mengetahui dengan tenang mengawasi pergerakan anak itu, hanya agar ia tidak pergi terlalu jauh.

Mereka akhirnya memanggil guru pendamping untuk menenangkan si anak. Beruntung anak itu mau dibujuk kembali ke tempat kantor Donasi Barang. Setelah tenang, guru itu langsung membawanya pulang ke Rumah Autis.

“Kalau ada anak tantrum, masyarakat tidak kaget. Mereka malah bantu. Ajak bicara dengan lembut, arahin ke tempat aman. Sudah terbiasa. Mereka paham,” kata Kang Ade.

Seluruh kegiatan ini dipastikan Kang Bali merupakan bagian dari upaya besar Donasi Barang untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, di mana keterbatasan tidak menjadi penghalang untuk berdaya dan berkarya. 

Di luar itu, Donasi Barang juga memiliki kegiatan rutin seperti Turing Sedekah dan aksi tanggap darurat. Mereka ingin menunjukkan bahwa aksi kecil akan jauh lebih berarti jika dilakukan bersama-sama.

Beri Ruang Belajar
Kegiatan yang dilakukan Donasi Barang ini sangat positif bagi perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus. Kegiatan ini bila dijalankan dengan pendekatan yang tepat dapat menjadi sarana pembelajaran dan pengalaman positif bagi anak-anak berkebutuhan khusus, terutama dalam hal berkreativitas. Sebab, anak-anak akan merasa berkontribusi.

Akan tetapi, Psikolog klinis Rini Hapsari Santosa mengingatkan, kegiatan seperti ini harus dilakukan secara hati-hati. Sebab jika tidak, kegiatan justru tanpa disadari akan mengarah pada tindakan eksploitasi. 

Oleh karena itu, ia menekankan agar kegiatan ini selalu memberikan ruang dan waktu agar anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar.

“Kalau mereka diberi ruang dan waktu untuk belajar, dibimbing dengan sabar hingga bisa menyelesaikan sesuatu, itu bisa menjadi pengalaman yang sangat membangun untuk kepercayaan diri mereka,” kata Rini, kepada Validnews, Kamis (24/7)

Rini mengingatkan tekanan target, eksploitasi atau manipulasi bantuan sering kali mengancam program semacam ini. Jadi, transparansi, integritas, dan pendekatan yang manusiawi menjadi keharusan.

Di sisi lain, program yang digagas oleh Donasi Barang ini menurutnya menunjukkan adanya permasalahan besar dalam sistem pendidikan dan kesehatan publik di Indonesia. Akses pendidikan yang inklusif masih jauh dari ideal.

“Untuk anak pada umumnya saja aksesnya belum merata, apalagi untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Akhirnya ketika mereka dewasa, mereka kesulitan mencari ruang untuk tumbuh dan bekerja. Komunitas seperti ini menjadi penopang sementara yang penting,” tandas Rini.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar