c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

28 Agustus 2025

19:33 WIB

Mencegah Nila Setitik Pada Longgarnya Mutasi PNS

Ada dua aturan tentang mutasi PNS saat bersamaan. Satu dinilai tak manusiawi, lainnya bisa memunculkan titik nila dalam pelayanan publik.

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Mencegah Nila Setitik Pada Longgarnya Mutasi PNS</p>
<p id="isPasted">Mencegah Nila Setitik Pada Longgarnya Mutasi PNS</p>

Ilustrasi CPNS dan PPPK. ANTARA FOTO/Moch Asim.

JAKARTA – Sebagai abdi negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) punya sejumlah hak. Selain menerima gaji dan promosi, PNS juga punya hak untuk melakukan mutasi.

Adapun mutasi mengacu pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 5 Tahun 2019. Beleid ini mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi adalah perpindahan tugas dan/atau lokasi dalam satu instansi pusat, antar-instansi pusat, satu instansi daerah, antar-instansi daerah, antar-instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan negara Indonesia di luar negeri serta atas permintaan sendiri.

Pada Peraturan BKN yang mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, mutasi PNS memuat syarat batas minimal. Yakni, pengajuan mutasi dilakukan setelah dua tahun PNS itu bekerja di satu instansi atau maksimal lima tahun.

Bahkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), pada 2024 menerbitkan Peraturan Menteri PAN dan RB (Permenpan RB) Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengadaan Pegawai Aparatur Sipil Negara.

Tertulis pada Pasal 59 ayat 2, yakni calon PNS harus membuat surat pernyataan bersedia tidak pindah (mutasi) minimal 10 tahun setelah diangkat jadi PNS. Syarat ini menuai keresahan. Banyak abdi negara mempermasalahkan, karena dinilai memberatkan dan kurang mempertimbangkan aspek kemanusiaan.

Saat audiensi secara daring dengan DPD, Forum PNS dari 38 provinsi pada Rabu (21/5/2025) menyoroti bagaimana aturan mutasi ASN 10 tahun telah menghambat proses kepindahan ribuan ASN. 

Meskipun, banyak di antaranya sudah memenuhi prosedur dan mendapatkan izin dari instansi asal maupun tujuan. Akibatnya, banyak ASN terkendala untuk berkumpul dengan keluarga, menghadapi masalah kesehatan, hingga mengalami penurunan kinerja akibat tekanan psikologis.

Wakil Ketua Harian Forum PNS, Alfian Fahruddin pada kesempatan itu menjelaskan, akibat perbedaan aturan mutasi ini, Sistem Informasi ASN (SIASN) yang dikelola BKN menjadi terkunci untuk proses mutasi yang tidak memenuhi syarat 10 tahun pengabdian.

“Banyak yang sudah mendapat izin dari atasan, lulus assessment, dan lolos butuh, tetapi tidak bisa pindah karena SIASN dikunci. Sementara masalah keluarga dan kesehatan makin menumpuk,” urai Alfian.

Baca juga: BKN Larang ASN Baru Langsung Minta Pindah   

Salah satu ASN Kementerian Agama (Kemenag) asal Bone, Sulawesi Selatan mengaku telah melalui seluruh tahapan mutasi secara sah, termasuk tes talenta dan persetujuan dari berbagai level di Kemenag. Namun, prosesnya terhambat oleh sistem SIASN yang diblokir berdasarkan aturan mutasi ASN 10 tahun tersebut. Akibatnya, ASN yang tak menyebutkan identitas lengkapnya itu, ia harus menanggung biaya bolak-balik antara pusat dan daerah yang menguras energi dan mengganggu optimalisasi pekerjaannya.

Menanggapi keresahan ASN semacam ini, para PNS mendapat angin segar. BKN melahirkan kebijakan baru yang mempersingkat syarat masa jabatan untuk mutasi menjadi enam bulan. Menurut BKN, kebijakan ini dibuat untuk akselerasi kinerja PNS.

“Kemenpan, BKN, dan Kemendagri sudah memberikan relaksasi, yang tadinya (syarat mutasi) harus dua tahun, sekarang enam bulan sudah boleh dipindah,” ujar Kepala BKN, Zudan Arif Fakrulloh, dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR, Senin (30/6).

Dia menguraikan, sesuai aturan mutasi PNS dilakukan dengan tiga metode. Pertama, uji kompetensi untuk mutasi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) PNS. Kedua, evaluasi kinerja bagi JPT yang telah menjabat selama lima tahun untuk menentukan perpanjangan masa jabatan berdasarkan pencapaian kinerja. Ketiga, manajemen talenta yaitu sistematisasi pengembangan dan penempatan ASN potensial dan berkinerja tinggi.

Zudan juga berkata, mutasi PNS dilakukan dengan tetap memerhatikan tata kelola kepegawaian nasional. Artinya, keputusan mutasi mempertimbangkan kontrak kinerja PNS yang menjadi tolok ukur capaian kerja yang bersangkutan. Mutasi juga mempertimbangkan evaluasi kinerja yang merupakan instrumen penting dalam menilai kinerja PNS.

Hingga saat ini, BKN belum menerbitkan aturan resmi terkait kebijakan mutasi ini. Oleh karena itu, hal-hal teknis dan detail terkait kebijakan ini belum dapat dipastikan.

Namun, kebijakan ini tak berdampak pada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lantaran, berdasarkan regulasi yang ada, termasuk UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PPPK tidak memiliki hak mutasi otomatis seperti PNS. Sehingga, jika seorang PPPK nekat mengajukan pindah tugas sebelum kontraknya berakhir, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pengunduran diri.

Potensi Gangguan
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai kebijakan baru mutasi PNS ini berpotensi mengganggu pelayanan publik. 

Sebab, sejak awal penempatan PNS disesuaikan dengan pemetaan kebutuhan di masing-masing instansi. Artinya, ketika seorang PNS melakukan mutasi hanya setelah enam bertugas, ada kekosongan tenaga kerja di instansi yang ditinggalkan.

Tak hanya itu, instansi yang dituju juga belum tentu membutuhkan pegawai. Hal ini membuat mutasi PNS yang dilakukan tanpa urgensi berisiko menambah beban instansi tujuan. Akhirnya, pemerintah mempertontonkan perencanaan SDM yang tidak matang.

“Menurut saya yang bisa diizinkan untuk mutasi karena ada kebutuhan urusan keluarga, terutama misalnya suami-istri bertugas di tempat yang berbeda. Tapi, kalau hanya karena urusannya lain, menurut kami perlu dipertimbangkan,” ujar Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N. Suparman, kepada Validnews, Senin (25/8).

Berdasarkan pengamatan KPPOD, praktik mutasi PNS selama ini juga kerap kali tidak memiliki standar prosedur, baik mutasi daerah ke pusat maupun sebaliknya. Ketiadaan standar ini membuat para PNS memiliki pengalaman mutasi yang berbeda. Sebagian dapat menyelesaikan proses mutasi dalam waktu singkat, sedangkan sebagian lainnya harus melalui proses yang panjang.

KPPOD mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan mutasi tersebut. Pasalnya, hal itu akan mengganggu layanan publik dan perencanaan SDM. Namun, jika pemerintah ingin menerapkan kebijakan itu, perlu ada penilaian ketat dan standar prosedur mutasi yang secara rinci mengatur mutasi antar kabupaten/kota, antar provinsi, dan lainnya. 

Sementara itu, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, mengaku  memahami kekhawatiran soal kekurangan PNS di daerah. Namun, dia menilai hal itu kecil kemungkinan terjadi. Sebab, selama aturan teknis belum terbit, prosedur mutasi pegawai masih merujuk pada Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi.

Dalam peraturan itu, mutasi PNS dilakukan berdasarkan kesesuaian antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan, klasifikasi jabatan dan pola karir, serta memperhatikan kebutuhan organisasi. Selain itu, mutasi tetap memperhatikan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan pertimbangan BKN.

Dalam hal ini, PPK memiliki perencanaan pengembangan karir dan pemetaan jabatan ASN yang ditempuh melalui analisis jabatan dan beban kerja. Itulah sebabnya Robert menilai pelayanan publik akan tetap berjalan meskipun ada perubahan kebijakan terkait mutasi PNS.

“Kebijakan tersebut tentu mempengaruhi efektivitas pelayanan publik, namun kembali lagi peran PPK menjadi krusial,” ujar Robert kepada Validnews, Senin (25/8).

Dia juga melihat, pemberlakuan mutasi kurang dari dua tahun hanya diberlakukan untuk JPT PNS. Mereka biasanya tidak melaksanakan pelayanan publik. Sebab, peran ini diemban oleh PNS pelaksana yang memang bertugas melaksanakan pelayanan publik dan administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, dia yakin pelayanan publik nantinya masih bisa dikondisikan sesuai standar.

Kecurangan Mutasi PNS
Meskipun yakin pelayanan publik masih dapat dikondisikan, bukan berarti proses mutasi PNS akan berjalan tanpa cela. 

Robert mengatakan, selama ini Ombudsman menemukan banyak praktik kecurangan, terutama perbedaan perlakuan antara satu PNS pengaju mutasi dengan PNS lainnya. Hal ini berkaitan dengan proses kinerja, verifikasi, dan validasi yang menjadi persyaratan mutasi sebagaimana aturan BKN.

Selain itu, Ombudsman tak jarang menemukan mutasi JPT yang dilakukan pada waktu yang berdekatan dengan batas usia pensiun. Alhasil, PNS yang bersangkutan terlebih dulu memasuki batas usia pensiun sebelum proses mutasi selesai.

Salah satu contoh aduan terkait mutasi, demosi, atau promosi PNS yang ditangani oleh Ombudsman terjadi pada Februari tahun ini. Dua orang PNS Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, diduga mengalami maladministrasi dalam proses demosi jabatan mereka. Demosi itu disebut tidak transparan dan tanpa penjelasan yang sah.

Temuan Ombudsman senada dengan pengamatan Ketua Umum Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza. Dia menyebutkan, beberapa kasus mutasi PNS disoroti karena ada potensi praktik tidak transparan atau nepotisme. Meskipun ada implementasi sistem seperti Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang menjanjikan pengawasan lebih ketat, risiko tetap ada jika pengendalian lemah.

“Terlebih, kombinasi dari aspirasi personal yang kuat tanpa aturan tegas bisa membuka potensi penyimpangan, seperti jalur orang dalam atau intervensi pejabat dalam mutasi,” terang Ivan kepada Validnews, Rabu (27/8).

Untuk mencegah berbagai praktik kecurangan mutasi PNS itu, Ivan menilai pemerintah perlu memperkuat akuntabilitas dan transparansi. Salah satunya dengan memastikan setiap pengajuan mutasi dilakukan melalui sistem, sehingga intervensi dapat diminimalisasi.

Secara menyeluruh, perencanaan juga harus dilakukan dengan parameter yang jelas. Ini mencakup kompetensi, kinerja, kebutuhan organisasi, dan succession plan yang sejalan dengan PP Nomor 11 Tahun 2017 dan Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019.

Juga, Ivan menyoroti adanya sejumlah daerah yang kekurangan PNS. Jika mutasi dilakukan tanpa mekanisme distribusi yang terstruktur, maka daerah-daerah itu berpotensi mengalami kekosongan SDM yang mengganggu layanan publik.

Ini dikarenakan banyak PNS mungkin lebih memilih lokasi urban atau yang lebih nyaman. Belum lagi, ada persepsi bahwa PNS yang ditempatkan di pelosok adalah PNS buangan dan tidak kompeten.

Untuk itu, Ivan menilai pemerintah perlu membangun skema insentif daerah, misalnya tunjangan khusus, karir akseleratif, atau kompensasi tambahan untuk PNS yang bertugas di daerah terpencil. Harapannya, distribusi talenta PNS dan pengelolaan mutasi bisa lebih seimbang. Hal ini juga perlu diimbangi dengan pendekatan humanis yang memahami aspek keluarga, kualitas hidup, dan produktivitas PNS.

“Ini bukan asumsi, berbagai literatur PNS menekankan bahwa mutasi harus berbasis kebutuhan organisasi, kompetensi, dan pola karir, agar tetap menjaga governance dan kontinuitas layanan,” tegas Ivan.

Dia juga berkata, dalam jangka panjang pemerintah perlu memantau dan mengevaluasi dampak kebijakan mutasi PNS secara berkelanjutan. Hal ini mencakup pengaruh kebijakan terhadap kualitas layanan publik, distribusi SDM, serta kepuasan dan kinerja PNS. Dengan begini, pemerintah dapat memberikan tindak lanjut yang tepat secara menyeluruh apabila dibutuhkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengingatkan, proses rotasi, mutasi dan promosi pejabat di lingkungan instansi pusat maupun daerah merupakan salah satu titik rawan disusupi praktik korupsi dengan berbagai modus transaksional.

KPK, melalui tugas koordinasi dan supervisi, menjadikan manajemen sumber daya manusia aparatur sipil negara sebagai satu dari delapan area pencegahan korupsi berdasar nilai Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP) dan Survei Penilaian Integritas (SPI).

Hasil penilaian MSCP tahun 2024 pada area tersebut menunjukkan skor 81 atau mengalami perbaikan 12 poin dari MCSP 2023. Namun hasil berbeda ditunjukkan skor SPI 2024, di mana dimensi pengelolaan SDM pada komponen internal mendapatkan skor 65,93.

Berdasarkan nilai tersebut, KPK menilai, masih terdapat celah korupsi di pemerintah daerah dalam menjalankan pengelolaan SDM.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar