c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

28 Maret 2024

21:00 WIB

Memulihkan Tawa Anak Korban Bencana

Aksi sosial para pendongeng dapat membantu anak terbebas dari ingatan memilukan saat bencana alam terjadi.

Penulis: James Fernando

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Memulihkan Tawa Anak Korban Bencana</p>
<p>Memulihkan Tawa Anak Korban Bencana</p>

Ilustrasi mendongeng. Pendongeng Kak Haris (kiri) menghibur anak-anak di Stasiun Gubeng Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/7/2022). Antara Foto/Didik Suhartono

JAKARTA – Ahmad Fauzan masih ingat betul rasanya dicurigai warga saat menjalankan aksi sosial. Pada 2015, dia pernah dihadang sejumlah orang yang terdampak kabut asap di Palangkaya, Kalimantan Tengah. Tak sedikit dari mereka yang menggenggam senjata tajam. Padahal, kedatangan Ahmad Fauzan bertujuan mulia, membantu pemulihan psikologi anak di sana. 

Hari itu, Ojan-sapaan akrabnya-dan sejumlah temannya sempat dituding hanya akan memanfaatkan keadaan warga buat pansos (usaha yang dilakukan untuk mencitrakan diri sebagai orang yang mempunyai status sosial tinggi.red) di media sosial. Beberapa warga yang terlihat kesal bahkan sempat mengumpat mereka memakai bahasa Banjar. 

Ojan yang tidak ingin situasinya tambah runyam mencoba menerangkan maksud kedatangannya dengan bahasa yang sama. Ketegangan seketika surut.

Warga kaget campur malu begitu tahu Ojan mengerti bahasa Banjar dan juga berasal Kalimantan Tengah. Beberapa senjata tajam yang tadinya sudah mengacung akhirnya mereka sarungkan kembali.

Akhirnya, Ojan bisa lebih tenang menerangkan bahwa kedatangan mereka dari Jakarta murni untuk menghibur dan membantu anak-anak agar tidak dilanda ketakutan berlarut-larut dalam situasi kabut asap tersebut. Bukan untuk pansos.

Warga yang mendengarnya lega, dan sontak menerima kedatangan rombongan itu. Mereka bahkan menyediakan lahan kosong, mikrofon dan pengeras suara. 

Aksi Ojan di lahan kosong secercah mata menyita perhatian anak-anak di sana. Anak-anak cepat tersenyum bahkan tertawa lagi berkat trik sulap dan dongeng yang disuguhkan Ojan dan teman-teman. 

Pernah anak-anak dibawakan cerita tentang kura-kura, kelinci dan singa yang ketakutan karena asap tebal. Ojan sebenarnya ingin menyisipkan pesan pada anak agar tidak malu mengutarakan rasa takut saat menghadapi bencana. Dia yakin perasaan yang jujur bisa mengurangi tingkat stres anak.

Mereka juga yakin pembacaan dongeng bisa menghilangkan kemurungan anak-anak. Isi ceritanya bisa membangunkan mood dan menimbulkan keceriaan anak. 

Ojan konsisten melakukan semua ini karena efek menonton siaran televisi yang mengabarkan situasi pascabencana alam di suatu daerah. Dia mengaku sedih saat menyaksikan anak-anak luput dari perhatian orang dewasa usai bencana gempa terjadi. Orang-orang dewasa lebih sibuk mengurusi rumah mereka yang runtuh karena gempa. Ada juga yang sibuk mencari bantuan makanan. 

Akhirnya, Ojan kerap tergerak menjadi relawan tiap kali mendengar ada bencana alam berdampak besar. “Saya sudah dari tahun 2013 menjadi pendongeng dan bergabung dengan relawan untuk membantu anak-anak dari sisi psikososial,” kata Ojan, saat berbincang dengan Validnews, Rabu (27/3). 

Aksi sosial yang dilakukan Ojan dan teman-temannya juga agak berbeda dengan relawan lainnya. Bila kebanyakan relawan memberikan bantuan dengan cara berpindah-pindah tempat tiap hari, Ojan sebaliknya.

Ketua Umum Forum Pendongeng Nasional ini lebih senang fokus membantu di salah satu titik lokasi terdampak bencana. Mereka biasanya bisa menetap hingga tiga bulan lamanya, tergantung kebutuhan di lapangan.

Ojan dan teman-temannya biasanya berangkat menuju lokasi bencana paling lambat lima hari sesudah kejadian. Saat di tempat bencana, Forum Pendongeng Nasional akan melakukan asesmen dengan sejumlah pihak setempat, mulai dari BPBD, TNI-Polri hingga masyarakat setempat. Lalu, Ojan meminta izin kepada masyarakat setempat, serta mencari lahan untuk tenda darurat.

Sekolah Darurat 
Ojan juga akan menyempatkan diri berkeliling ke lokasi bencana di sekitar tenda darurat. Kalau kegiatan belajar mengajar terhenti, maka Ojan dan teman-temannya juga akan membuka sekolah darurat di tenda yang sama. 

Pelajaran di sekolah darurat ini akan disesuaikan dengan kemampuan para relawan yang ada di situ saja. Misalnya, pelajaran matematika akan diajarkan oleh relawan yang punya kemampuan paling baik dibanding relawan lain. Intinya, Ojan dan teman-teman tidak ingin pendidikan anak terbengkalai.

Ojan dan teman-temannya pasti akan senang bila mereka bisa terbangun dari tidur karena suara anak-anak yang bermain di depan tenda. Sebab, kebisingan seperti ini adalah tanda anak-anak mulai melupakan kejadian bencana alam yang baru dirasakannya. 

“Meski kami tidak dapat untung malah keluar biaya, tapi kami senang memberikan bantuan psikososial kepada anak-anak ini,” kata Ojan. 

Relawan pendongeng lainnya, Adiputra Septiyantono menyadari tidak mudah mendekati anak terdampak bencana alam. Sebab dia dan teman-teman relawannya berstatus orang asing di hadapan anak-anak tersebut. 

Untuk menarik perhatian, Adip dan teman-temannya mau tidak mau menggunakan teknik yang banyak dipakai pendongeng lain, yakni menampilkan beberapa trik sulap. Biasanya, mereka akan merayu lima orang anak atau lebih agar mau mengikuti pertunjukan sederhana yang mereka siapkan. 

Kalau terkesan, mereka biasanya akan mengajak teman-temannya untuk datang ke pertunjukkan sulap berikutnya. 

Saat jumlah anak yang datang dirasa sudah cukup, Adip baru mulai mendongeng. 

Kegiatan mendongeng tidak dilakukan terlalu sering. Adip khawatir anak-anak cepat jenuh. Makanya, agar keceriaan anak-anak tetap terjaga, Adip kadang mengajak bermain dan berimajinasi seolah sedang ikut kegiatan berkemah di sekolah dengan memanfaatkan tenda pengungsian yang ada. 

Akrabkan Anak 
Tenda pengungsi akan dinamai Kemah Ceria Bersama. Di kemah tersebut, mereka mengemas kegiatan semenarik mungkin agar anak-anak merasa akrab satu sama lain.

“Pas bencana semua orang akan terasa asing bagi mereka. Biasa mereka di rumah, mereka tiba-tiba harus tinggal di tenda yang tidak mengenal satu sama lain. Kami datang untuk membuat suasana tetap asyik,” kata Adip, saat berbincang dengan Validnews, Rabu (27/3). 

Di tenda itu, Adip dan teman-temannya sebisa mungkin berperan sebagai guru bagi anak-anak. Mereka akan membimbing anak belajar sesuai kemampuan yang dimiliki. 

Kemah ceria bersama yang didirikan di lokasi bencana alam pada akhirnya perlahan menarik perhatian pihak lain. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi bahkan tak sungkan menyalurkan bantuan berupa tenaga guru, sehingga kegiatan belajar mengajar di kemah ceria semakin efektif. 

Kegiatan belajar mengajar di kemah ceria bersama kadang diselingi pembacaan dongeng, trik sulap dan beberapa permainan lainnya untuk mengantisipasi kejenuhan anak-anak. 

“Kami mengemas semua kegiatan ini dengan menyenangkan agar anak-anak tetap ceria,” lanjutnya. 

Adip dan teman-temannya juga membatasi kunjungan pelbagai pihak saat kegiatan berlangsung di tenda. Dengan demikian, keceriaan anak-anak juga terjaga. 

Mereka sadar anak-anak terdampak bencana alam kerap jadi sasaran penyaluran bantuan dari para dermawan. Masalahnya, mereka sering datang tanpa mengindahkan pentingnya waktu belajar dan bermain si anak.

“Inilah yang kami lakukan biar anak-anak teratur dan tetap ceria,” kata Adip. 

Pengamat Psikologi Universitas Indonesia, Rose Mini Agoes Salim mengatakan, aksi sosial yang dilakukan para pendongeng ini kemungkinan akan membantu anak terbebas dari ingatan memilukan saat bencana alam terjadi. Kegiatan itu membawa imajinasi anak kepada hal lain yang lebih positif. 

Melalui dongeng, anak-anak bisa merajut lagi mimpinya. “Kegiatan tersebut bisa menjadi inspirasi untuk melakukan kegiatan membantu anak dalam situasi sulit,” kata Rose, kepada Validnews, Rabu (26/3). 

Aksi sosial ini dipercayakan akan menghindarkan anak dari trauma jangka pendek maupun panjang. Terlebih bila mereka menemukan sosok untuk tempat berkeluh kesah usai merasakan dampak bencana alam di sekitarnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar