c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

11 Juli 2025

19:30 WIB

Memastikan Sejawat Tunanetra Melek Teknologi

Banyak tunanetra ingin bisa menguasai dan mengakses teknologi. Sayangnya, orang yang mau mengajarkan kepada mereka tidak banyak.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Rikando Somba, Novelia,

<p>Memastikan Sejawat Tunanetra Melek Teknologi</p>
<p>Memastikan Sejawat Tunanetra Melek Teknologi</p>

Ilustrasi seorang penyandang tunanetra menggunakan ponsel. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

JAKARTA - Belakangan, Revi Muhamad Rizki tidak kaget lagi mendengar ponselnya berdering pada tengah malam. Jika orang kebanyakan akan malas menjawabnya, Rexya, sapaan akrabnya, tidak demikian. Ia merasa perlu meladeni tiap telepon yang masuk. Kapanpun itu.

Pernah jam dua pagi Rexya terbangun karena mendapat telepon dari seorang tunanetra yang mendadak minta diajari mengoperasikan suatu aplikasi. Kejadian seperti ini tidak terjadi satu dua kali. Namun, hal ini sering dialaminya sejak komunitas Infinity Art and Technology (InfiArtt) didirikan.

InfiArtt memang dibuat dengan satu tujuan; mengajarkan para tunanetra agar bisa memanfaatkan teknologi dalam kehidupan sehari-harinya. Makanya, Rexya tidak pernah merasa terganggu dihubungi tengah malam. Ia justru akan dengan senang hati mengajarkan mereka yang ditanyakan, atau yang diketahuinya. 

Rexya memahami penguasaan teknologi para tunanetra yang diajarinya berbeda-beda. Ada yang tahu hal-hal yang mendasar. Kebanyakan tunanetra justru tidak memahami teknologi sama sekali.

Tunanetra yang agak tahu teknologi akan diajari mengaktifkan aksesibilitas pada ponsel. Fitur ini akan memberikan umpan balik suara saat seseorang menyentuh ponsel.

Pada android, pembaca layar dikenal dengan Android Accessibility Switch atau TalkBack, sedangkan di Iphone disebut VoiceOver. Untuk mengaktifkannya tunanetra memerlukan bantuan, lantaran pengaturan awal ponsel memang dibuat untuk orang yang melihat. 

Setelah aksesibilitas diaktifkan, ponsel akan sensitif terhadap sentuhan. Rexya biasanya akan mengajarkan fungsi dari setiap sentuhan, sebab usapan ke kanan, kiri, atas, dan bawah ke layar ponsel memiliki fungsi yang berbeda-beda. Jumlah ketukan ke ponsel juga berpengaruh.

Sentuhan pada layar akan memicu munculnya suara dari ponsel yang memberi menjelaskan isi layar. Cara seperti ini membuat tunanetra bisa lebih mudah mengenali fitur-fitur atau aplikasi dalam ponsel, membaca teks, sampai untuk mengetik dengan mandiri.

Saat sudah menguasai fungsi tiap sentuhan dalam ponsel, maka para tunanetra bisa menggunakan ponsel selayaknya orang yang bisa melihat. Mereka bisa menggunakan WhatsApp, aktif di Instagram, dan hal-hal lainnya.

Saat menguasai pembaca layar, tunanetra akan bisa menggunakan beragam teknologi pendukung yang dapat membantu para disabilitas netra. Misalnya, Optical Character Recognition (OCR) untuk mengkonversi gambar teks menjadi format teks yang dapat dibaca mesin.

Pembaca layar akan memindai teks yang sudah dikonversi dan mengeluarkan suara sesuai dengan teks tersebut.

Contoh lainnya adalah Cash Reader , aplikasi untuk membaca uang. Dengan mengaktifkan Cash Reader dan pembaca layar, tunanetra hanya tinggal mengarahkan kamera ponsel ke uang yang ingin diketahui nominalnya. Nantinya, akan terdengar suara yang menyebutkan nominal uang yang disorot kamera.

“Mereka belum tentu bisa memakainya, jadi kita jembatani itu. Kita buat teknik yang sederhana untuk mengajari mereka,” kata Rexya kepada Validnews, Rabu (10/7).

Selain itu, kata Rexya, aplikasi di ponsel yang patut dimiliki tunanetra adalah Be My Eyes. Sebab, para tunanetra bisa terhubung dengan relawan Be My Eyes yang akan menjadi mata buat mereka.

Misalnya, saat aplikasi itu diaktifkan, hasil gambar dari kamera ponsel tunanetra akan langsung terhubung dengan ponsel relawan. Jadi, para relawan akan mendeskripsikan gambar tersebut.

Rexya menyampaikan, relawan juga bisa membantu memilihkan baju sesuai dengan bentuk dan warna yang ditunjukkan tunanetra di kamera. Lalu, bisa untuk membantu membacakan surat, atau mengarahkan tunanetra yang ingin mengambil uang di ATM.

Sementara itu, untuk tunanetra yang ingin belajar mengoperasikan laptop, Rexya akan mendahulukan pengajaran layout laptop terlebih dahulu. Tapi sebelumnya, ia akan mencari tahu dekripsi laptop yang akan dipakai, termasuk posisi tombol keyboard-nya. Rexya perlu tahu gambaran mengenai laptop yang digunakan, agar lebih mudah membimbing tunanetra yang ingin belajar. 

Tunanetra yang ingin belajar mengoperasikan laptop pasti akan diminta untuk menghafal posisi semua tombol. Rexya juga akan mengarahkannya untuk memanfaatkan pembaca layar di laptop. Caranya, dengan mengunduh aplikasi NVDA.

Sama seperti ponsel, pembaca layar pada laptop menurut Rexya adalah hal mendasar yang harus diketahui tunanetra agar bisa menggunakan aplikasi yang ada pada gadget dalam kegiatan sehari-hari. 

“Pembaca layar itu jadi mata kita. Kalau kita tidak menguasai itu, ya tidak bisa apa-apa,” ujarnya.


Antusias Tinggi
Pelatihan terhadap tunanetra ini tidak hanya dilakukan individu per individu. InfiArtt juga terbiasa mengenalkan teknologi pada tunanetra melalui webinar. Kadang InfiArtt juga sengaja menggelar siaran langsung di Youtube InfiArtt Official. 

Info tentang webinar biasanya disebar ke grup WhatsApp InfiArtt yang berisi kurang lebih 400 orang. Info ini juga akan disebar ke komunitas-komunitas tunanetra lainnya di Indonesia.

Rexya senang antusias tunanetra tinggi untuk melek teknologi. Ini terlihat dari webinar yang selalu penuh interaksi. Banyak peserta menyampaikan pertanyaan pada pengurus InfiArtt. Di grup WA situasinya juga sama. Padat dengan diskusi.  

Tidak sedikit juga tunanetra yang minta dibimbing secara eksklusif oleh pengurus InfiArtt melalui telepon atau dengan tatap muka. Rexya tidak keberatan sama sekali. Kalau sedang senggang, tunanetra tersebut akan diundangnya untuk datang ke rumahnya.

Komunitas yang berdiri April 2020 ini juga mempunyai website yang dibuat oleh pengurus InfiArtt sendiri. Laman itu berisikan materi berbentuk tulisan dan rekaman suara seputar teknologi-teknologi yang bisa dimanfaatkan tunanetra.

Para pengurus InfiArtt sendiri juga terus aktif mencari ilmu dari komunitas tunanetra di luar negeri atau situs-situs luar negeri. Ilmu yang mereka dapat akan dibagikan ke tunanetra di Indonesia.

Segala ini dijalankan Rexya dan teman-temannya tanpa imbalan apapun. Mereka mau bergerak semata-mata untuk membantu para tunanetra di Indonesia.

Sebelumnya, Rexya yang juga tunanetra, dulu juga kesulitan mengakses teknologi. Semua dikuasainya susah payah secara otodidak. Oleh karena itu, Rexya tidak ingin tunanetra lain mengalami kesulitan yang sama.

“Tidak semua tunanetra dapat mengakses teknologi pembantu seperti komputer dan handphone. Padahal ini adalah hal yang harus dipelajari teman-teman tunanetra, cuma memang sumber dayanya sangat minim,” jelas Rexya yang juga merupakan pengajar komputer ini.

Salah satu tunanetra yang merasakan manfaat dari aksi InfiArtt adalah Salma Rahmasari. Guru pendidikan agama Islam SMK di Garut, Jawa Barat ini mengaku bisa mengoperasikan aplikasi Digital Audio Workstation (DAW), suatu perangkat lunak komputer yang digunakan untuk merekam, mengedit, dan memproduksi audio, karena teman-teman di InfiArtt.

“Aku nanya bagaimana caranya, dijawab coba klik anu, klin anu. Nanti hasilnya kita bisa kirim, share audio. Jadi mereka bisa tahu hasil aku kaya gimana, yang salahnya gimana. Jadi, kaya pendampingan eksklusif,” tuturnya, Kamis (3/7).

Keaktifan Salma di InfiArtt belakangan membuatnya dipercaya sebagai sekretaris InfiArtt. Salma juga mulai menjadi pengajar di InfiArtt.

Meski berstatus sebagai guru, Salma merasakan betul perbedaan belajar di SMK dan InfiArtt. Di SMK, Salma mengajari orang-orang yang bisa melihat dengan usia yang seragam. Sedangkan di InfiArtt ia mengajar tunanetra yang heterogen dari sisi usia, latar belakang, dan kebutuhannya. Permasalahannya jelas lebih kompleks.

Selama aktif mengajari para tunanetra, Salma juga sering menerima telepon random malam hari. Salma sampai berseloroh seperti helper dan customer service kalau hari sudah malam.

“Ada yang minta diajari, ada juga yang modus mau deketin. Awalnya menanyakan apa, tapi ke sananya jadi modus. Konsekuensi sih bagi saya ketika saya memilih jalan ini, ya luruskan niat benar-benar membantu,” kata Salma.

Penyandang tunanetra dari komunitas Karya Tuna Netra (Kartunet) mengakses internet melalui ponsel sa at mengikuti sosialisasi pelatihan internet tunanetra di Rumah Internet Atmanto, Pancoran, Jakarta, Selasa (5/4). ANTARA FOTO/Teresia May 

Kesempatan Belajar Komputer
Kepala Bagian Ketenagakerjaan Yayasan Pendampingan Tunanetra Mitra Netra, Aria Indrawati mengatakan, seorang tunanetra juga butuh menguasai teknologi. Bagi mahasiswa, ponsel dan laptop akan dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan dosen dan mengerjakan tugas.

“Apalagi kalau untuk bekerja di bidang yang terkait digital, misalnya content writer, digital marketing, apapun ya sekarang kita itu sudah menjadi kebutuhan,” kata mantan Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) ini, Sabtu (5/7).

Aria mengaku pernah mendapatkan keluhan dari dosen Universitas Negeri Malang bahwa mahasiswanya tunanetra belum bisa menggunakan laptop. Padahal laptop dibutuhkan untuk perkuliahan.

“Bisa jadi dia 12 tahun sekolahnya hanya di SLB (Sekolah Luar Biasa) dan sekolah itu tidak ada pelajaran komputer, karena bisa jadi tidak ada guru yang bisa mengajarkan komputer untuk tunanetra,” paparnya.

Dia juga mendapat keluhan dari Universitas Pamulang. Kampus ini semula memberikan dukungan beasiswa kepada penyandang disabilitas untuk berkuliah di sana, termasuk tunanetra. Namun, tiap mahasiswa yang mendaftar harus bisa menggunakan komputer sebagai salah satu kemampuan dasar untuk kuliah.

“Mereka request dulu ke Mitra Netra, tolong ini dites, apakah sudah menguasai komputer. Kemarin itu kami menerima 15 calon mahasiswa baru yang mendaftar ke Universitas Pamulang,” ungkapnya.

Dari hasil tes, diketahui ada beberapa dari mereka yang kemampuan komputernya masih nol. Diketahui juga ada yang baru mulai belajar mengetik 10 jari. Karena itu, Mitra Netra akhirnya menyarankan mereka belajar komputer dahulu, lalu mendaftar kuliah lagi di tahun berikutnya. 

“Nah, ini yang juga mahasiswa tunanetra itu tidak paham karena tidak ada yang memberikan pengarahan. Terutama itu kalau dia sekolah 12 tahun di SLB, di sekolah khusus, yang di sana memang kesadaran guru-gurunya itu juga masih belum baik bahwa suatu tunanetra itu harus belajar komputer,” jelasnya.

Lalu, saat berkunjung ke SLB di Banda Aceh, Aria juga mendapati tidak ada guru yang bisa mengajarkan komputer.

“Itu memang tantangannya ketersediaan guru atau instruktur yang mengajarkan khusus komputer untuk tunanetra di Indonesia. Kalau secara teknologi itu aksesibilitasnya sudah tersedia,” jelasnya.

Karena itu, ia mengapresiasi adanya gerakan seperti InfiArtt yang bisa mengajari teknologi ini ke tunanetra.  Di sisi lain, pemerintah harus tetap perlu bergerak. Dia berharap pemerintah membuat pelajaran komputer bisa diajarkan tunanetra sejak SD dan mampu menyediakan guru yang bisa mengajarkan komputer. Guru ini disarankannya juga tunanetra agar bisa jadi sosok yang jadi panutan siswanya.

Aria juga menyarankan, Balai Latihan Kerja (BLK) juga mengajarkan komputer dan memiliki instruktur khusus komputer bagi tunanetra.

Mengutip jurnal Peningkatan Pemberdayaan Penyandang Tunanetra melalui Perancangan Social Media Newsletter di Yayasan Sosial Tunanetra yang ditulis Maharani Imran, Jumat (11/7), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan gangguan penglihatan di seluruh dunia mencapai 2,2 miliar jiwa. Sebanyak 50% atau 1,1 miliar di antaranya mengalami kebutaan atau disabilitas netra total.

Berdasarkan jumlah penduduk yang mengalami kebutaan, Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia di bawah India dan China. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2023 mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah disabilitas terbanyak pada usia lanjut.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah penyandang disabilitas tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% keseluruhan penduduk Indonesia. Jika saat ini jumlah penduduk di Indonesia mencapai lebih dari 270 juta jiwa, maka jumlah penyandang disabilitas tunanetra berada pada kisaran 4 juta jiwa.

Dari penelitian Australia - Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) pada 2023 diketahui hanya 1% dari total keseluruhan penyandang disabilitas di Indonesia yang bekerja di sektor formal.

Sementara, data Buku Statistik SLB Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2023/2024 menyebutkan tunanetra yang mendapatkan akses pendidikan, yaitu 4.270 orang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar