c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

13 Oktober 2025

19:30 WIB

Memastikan Anak Disabilitas Kenal Budaya Sendiri

Anak-anak disabilitas perlu dikenalkan pada budaya lokal agar merasa menjadi bagian dari komunitas budaya itu sendiri.

Penulis: James Fernando

Editor: Rikando Somba

<p dir="ltr" id="isPasted">Memastikan Anak Disabilitas Kenal Budaya Sendiri</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Memastikan Anak Disabilitas Kenal Budaya Sendiri</p>

Komunitas KIBAR mengenalkan Aksara Jawa budaya ke anak-anak disabilitas. Dok KIBAR

JAKARTA – Anak zaman sekarang merasa wajar jika lebih dekat dengan budaya asing ketimbang budaya asli negerinya. Ini disebabkan kemudahan menjumpai konten budaya asing di internet. 

Sebaliknya, untuk tahu budaya lokal, kesempatan mereka mengenalnya kebanyakan hanya dari sekolah saja. Itu pun tidak semua anak memperolehnya di ruang kelas. 

Salah satu kelompok anak yang jarang dapat kesempatan belajar budaya lokal diamati adalah anak disabilitas. Situasi ini setidaknya terjadi di Jombang, Jawa Timur, tempat Komunitas Inklusi Budaya Nusantara (Kibar) mengenalkan budaya kepada anak disabilitas. 

Kibar muncul dari pengalaman Dany Setiawan, setelah berbincang dengan sejumlah anak disabilitas yang dulu terlibat dalam kegiatan belajar bersama yang ia adakan bersama teman-teman kampusnya.  

Dany kaget saat mengetahui bahwa seorang anak penyandang disabilitas mengaku tidak mengetahui budaya lokal Jombang. Anak itu cuma tahu dirinya berasal dari Jombang. Mirisnya, anak-anak lain juga menyampaikan hal serupa. 

Setelah percakapan itu, Dany jadi sadar anak-anak penyandang disabilitas masih masuk dalam kelompok terabaikan, termasuk urusan pengenalan budaya sendiri. Keadaan ini tidak hanya meresahkan Dany, tapi juga lima temannya. Mereka sepakat untuk mengajarkan kebudayaan kepada anak disabilitas di SLB-SLB.

Melalui Kibar, mereka sadar tidak akan mudah mengenalkan budaya Jombang kepada anak-anak penyandang disabilitas, terlebih untuk mereka yang memiliki hambatan sensorik. Untuk itu, Dany sebisa mungkin menjalankannya dengan cara yang menyenangkan. Kibar, kata Dany, tengah fokus mengenalkan Besutan, sebuah bentuk teater tradisional khas Jombang, dan aksara jawa. 

Kesenian Besutan dipilih karena bersifat visual. Di depan anak-anak, Dany dan teman-temannya biasanya akan memperagakan cerita-cerita dalam Besutan secara langsung. 

Aksi mereka ini sering kali berhasil menarik penuh perhatian anak-anak. Ada saja anak yang spontan maju karena tertarik memainkan salah satu lakon atau terlibat menjadi penari. 

Karena kegiatan ini rutin dilakukan, anak disabilitas lama-lama mulai mengerti dan tahu adegan-adegan dalam cerita Besutan. Namun, Dany tidak akan menuntut anak-anak disabilitas untuk membuat pertunjukan khusus. 

“Yang penting mereka senang dan merasa terlibat. Itu sudah langkah besar, setidaknya mereka sudah bisa mengenal budayanya. Itu bagi kami sangat cukup,” kata Dany, saat berbincang dengan Validnews via telepon, Minggu (12/10).

Pendampingan Koratul
Selain Besutan, Kibar juga memperkenalkan aksara Jawa, huruf tradisional yang menjadi bagian penting dari identitas budaya Jawa, pada teman-teman tuli. 

Namun, Kibar tidak sendirian mengajari teman-teman tuli. Aktivitas ini juga melibatkan Komunitas Ramah Tuli Jombang (Koratul) untuk memudahkan proses komunikasi. Keterlibatan Koratul sebagai pendamping diperlukan karena Dany dan teman-temannya tidak begitu fasih bahasa isyarat. 

Kibar juga sengaja membuat kartu aksara edukatif yang menampilkan aksara Jawa di satu sisi dan ilustrasi bahasa isyarat beserta penjelasannya, di sisi lain. Kartu ini sangat membantu upaya anak-anak memahami makna dan bentuk aksara.

Dany menyadari ada banyak aksara Jawa yang perlu dipelajari oleh teman-teman tuli. Karena itu, agar anak-anak tidak bosan, Dany dan teman-temannya kadang menyiapkan beberapa beberapa permainan untuk menunjang pembelajaran aksara Jawa ini. 

Salah satu permainan yang mereka siapkan adalah papan permainan ular tangga. Bedanya, papan permainan itu menggunakan aksara Jawa dan budaya lokal Jombang. 

Permainan ini kadang diadakan untuk mencari tahu sudah sejauh mana pemahaman anak-anak telah aksara Jawa. Pasalnya, saat permainan berlangsung, Dany tidak hanya mendampingi, tapi juga menyisipkan pertanyaan kepada teman tuli.

Dany biasanya menanyakan soal nama bidak yang mereka gunakan untuk bermain. Lalu, menanyakan arti aksara Jawa di dalam suatu kotak. Dengan cara itu, pembelajaran budaya tak terasa seperti beban. Anak-anak dapat belajar sambil bermain, tertawa, dan mengingat lebih lama.

Meski sadar ini cuma langkah kecil, Dany dan teman-temannya tetap berharap budaya tak lagi menjadi ‘barang asing’ bagi anak-anak disabilitas, melainkan sesuatu yang dekat, membanggakan, dan mereka miliki.

Dany rela konsisten melakukan hal ini karena menilai budaya bukan sekadar pelajaran tambahan. Budaya buatnya merupakan identitas yang perlu dirawat oleh semua, termasuk anak disabilitas. 

“Anak-anak ini juga punya hak yang sama untuk mengenal akar budaya mereka. Kalau mereka tidak dikenalkan dari sekarang, siapa yang akan merawatnya nanti?” kata Dany.

Utamakan Kenyamanan
Anisa Indah Fitriani, anggota Kibar yang turut andil untuk mengajarkan aksara Jawa, menilai teman-teman tuli sebenarnya juga bakat dan keinginan belajar yang tinggi. Hanya saja, agar bakat teman-teman tuli keluar maksimal, situasi kelas harus nyaman betul.

Anisa yakin kenyamanan menjadi kunci untuk menciptakan situasi belajar yang inklusif kepada penyandang disabilitas. Karena itu, Anisa biasanya tidak akan langsung mengajak teman-teman tuli belajar saat akan memulai kelas. Anisa justru akan mengajak mereka bermain bersama. 

Permainan yang tawarkan berupa permainan puzzle budaya, monopoli tokoh tradisional Jombang, dan berbagai games interaktif lainnya. Semua permainan itu pasti disisipkan gambar-gambar berkaitan dengan budaya Jombang, seperti tokoh Besut dan Rusmini dari kesenian Besutan.

Sembari bermain, Anisa didampingi pengurus Koratul sesekali akan menyampaikan cerita budaya pada anak-anak. Cerita-cerita ini tidak melulu disampaikan Anisa secara serius. Sesekali ia akan menyisipkan candaan ringan agar situasi belajar tetap menyenangkan. Setelah yakin seluruh teman tuli merasa nyaman, Anisa biasanya baru mengeluarkan kartu-kartu Aksara Jawa lengkap dengan penjelasannya.

Anisa terbilang sabar menjelaskan kartu-kartu itu. Ia bahkan tidak akan sungkan mengeluarkan kartu yang sama, lalu menjelaskannya dari ulang. Ia melakukan ini karena memahami tidak mudah mengajari anak-anak disabilitas. Sebab mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda saat coba memahami sesuatu.

Menurutnya, tantangan terbesar muncul saat mengajar teman-teman dengan disabilitas penglihatan dan disabilitas intelektual seperti tunagrahita. Banyak dari mereka cepat lelah, sulit menghafal, atau kurang memahami.

Mereka lelah, tapi bukan berarti menyerah. Karena itu, Anisa akan mengajari mereka pelan-pelan. Paling banyak Anisa mengajari mereka tiga aksara Jawa tiap kali pertemuan. 

Ia juga akan selalu memperhatikan raut wajah anak tunagrahita ketika belajar. Kalau dilihatnya mereka sudah mulai kelelahan maka pelajaran itu pun dihentikan. Lalu, menggantinya dengan permainan yang bisa menghilangkan penatnya.

“Intinya apa yang diajarkan itu yang penting anak-anak happy dulu. Setelah itu baru bisa diajarkan pelajaran Aksara Jawa ini,” kata Anisa, kepada Validnews, Minggu (13/10).

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis, menilai kegiatan pengenalan budaya kepada anak-anak disabilitas yang dilakukan di Jombang, Jawa Timur, merupakan bentuk pemberdayaan inklusif yang patut diapresiasi. Menurutnya, inisiatif tersebut tidak hanya mengedepankan aspek kemanusiaan, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk menyatukan kelompok disabilitas dalam ruang budaya tempat mereka berasal.

"Ini bukan sekadar tindakan kemanusiaan. Ini adalah pemberdayaan yang inklusif. Anak-anak disabilitas dikenalkan pada budaya lokal agar mereka merasa menjadi bagian dari komunitas budaya itu sendiri," kata Rissalwan, kepada Validnews, Minggu (12/10).

Menurutnya, budaya memiliki karakter unik yang memungkinkan terciptanya ruang inklusif dibandingkan bidang lain seperti pendidikan atau ekonomi. Budaya justru bisa menjadi ruang belajar bersama, baik bagi penyandang disabilitas maupun masyarakat umum.

Dia berpandangan, mengenalkan simbol budaya seperti permainan tradisional, aksara lokal, atau tokoh-tokoh budaya kepada anak-anak disabilitas dapat menjadi sarana efektif untuk membentuk rasa kepemilikan terhadap identitas lokal.  Kegiatan inklusi seperti ini dinilainya perlu digalakkan untuk membentuk masyarakat yang lebih inklusif di masa depan.

"Kita tidak bisa membiarkan anak-anak disabilitas merasa bukan bagian dari suku atau budaya tempat mereka lahir. Budaya itu bergerak dan harus merangkul semua, termasuk mereka yang memiliki keunikan fisik maupun psikis,” tandasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar