13 November 2023
14:47 WIB
JAKARTA - Tren kasus cyberbullying atau perundungan melalui media sosial di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Karena inilah, perlindungan hukum terhadap korban cyberbullying menjadi sangat penting untuk memitigasi agar dampaknya tidak meluas.
“Salah satu langkah yang diusulkan adalah dengan meningkatkan efektivitas peran Satgas Anti Cyberbullying,” kata Shri Hardjuno Wiwoho, Founder sekaligus Ketua Yayasan Syariah Hardjuno Wiwoho (SHW Center) dalam keterangannya, Senin (13/11).
Dia mengutip data UNICEF 2020 yang menyatakan, 45% anak berusia 14-24 tahun di seluruh dunia telah mengalami perundungan berbasis cyber sepanjang 2020.
Data tersebut mirip dengan data dari Center for Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 yang meneliti siswa SMP dan SMA usia 13-18 di 34 provinsi di Indonesia dengan hasil riset bahwa 45,35% mengaku pernah menjadi korban.
Adapun 38,41% lainnya menjadi pelaku. Platform yang sering digunakan untuk kasus Cyberbullying, antara lain WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
“Sehingga memang cyberbullying ini fenomena yang meresahkan. Cyberbullying lebih seram dari bullying biasa, karena bisa 24 jam dilakukan. Kapan saja, di mana saja, siapa saja, melalui medsos itu bisa di-bully dan bisa mem-bully juga. Mental generasi muda rusak gara-gara budaya cyberbullying,” ujar Hardjuno yang juga Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut.
Dia pun mengingatkan, Indonesia akan memasuki masa puncak bonus demografi pada 2030, di mana 68% penduduk Indonesia tergolong penduduk berusia produktif.
Dengan penetrasi media sosial yang begitu massif namun perilaku cyberbullying yang begitu tinggi, lanjut Hardjuno, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.
“Sebab generasi usia produktifnya lahir dari ekosistem cyberbullying yang membungkam seluruh potensi yang dimiliki,” serunya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sendiri, sejatinya telah mendorong sekolah untuk membentuk Satas Anti Bullying yang di dalamnya termasuk cyberbullying.
Namun, kata Hardjuno, tugas, peran, dan peraturan mekanisme Satgas ini perlu diformulasikan lebih tegas dan jelas untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tindakan guna melindungi korban khususnya korban perundungan siber.
“Maksud saya, selain bullying konvensional, Satgas di sekolah ini juga memberi perhatian penuh pada cyberbullying. Gangguan mental itu ancaman nyata. Idealnya, Satgas Anti Cyberbullying ini terdiri dari berbagai elemen, mulai dari unsur perwakilan guru, siswa, dan orang tua,” beber Hardjuno.
Kebijakan Non-Penal
Hardjuno menjelaskan, perundungan siber sebagai salah satu jenis kejahatan di dunia maya merupakan problematika di bidang hukum, pendidikan, dan psikologi perkembangan.
Menurut riset yang dilakukannya, Hardjuno mengatakan, cyberbullying, menunjukkan pentingnya kebijakan non-penal (kebijakan di luar hukum pidana yang kuncinya adalah pencegahan dan pembaharuan pandangan masyarakat) sebagai upaya menanggulangi cyberbullying.
“Riset yang saya kerjakan merupakan riset yuridis-normatif melalui pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan,” jelas Hardjuno.
Jadi menurut Hardjuno Satgas Anti Cyberbullying sebagai kebijakan baru non-penal di bawah naungan KPAI perlu makin diefektifkan dan secara integral juga melibatkan sarana penal.
“Sehingga Satgas Anti Cyberbullying di sekolah benar-benar dibekali kemampuan non-penal dan menggunakan sarana pidana sebagai upaya terakhir. Keduanya secara bersama-sama, tidak terpisah, pemahamannya musti dimiliki oleh Satgas di sekolah,” papar Hardjuno.
Efek Cyberbullying
Sebelumnya, Psikolog Asosiate LPT UI Depok, Rosana Dewi Yunita, M.Si, Psi. pun memberikan beberapa hal yang perlu diketahui orang tua jika cyberbullying terjadi pada anak. Menurut Rosanna, perundungan secara daring atau cyberbullying maupun secara langsung memiliki efek dan tanda yang mirip.
Oleh sebab itu, perundungan dalam bentuk apapun merupakan hal serius dan harus segera di atasi.
Beberapa tanda cyberbullying yang mungkin terjadi pada anak dan remaja, antara lain terlihat murung, terlihat lebih diam dan komunikasinya yang berkurang, dan tidak bersemangat. Selain dari segi perubahan tingkah laku, terkadang anak dan remaja yang mengalami cyberbullying juga mengalami gejala gangguan psikosomatis.
Gejala gangguan psikosomatis merupakan hubungan antara pemikiran atau psikis yang dapat memengaruhi kondisi tubuh atau sebaliknya. Misalnya, saat anak mengeluh sakit, tetapi saat diperiksakan ke dokter tidak ada tanda gangguan atau masalah kesehatan yang diderita mereka.
Pada anak dan remaja yang mengalami cyberbullying, gejala fisik atau gangguan psikosomatis tersebut mungkin terjadi pada mereka. Rosanna menambahkan, anak dan remaja yang mengalami cyberbullying cenderung tidak termotivasi saat melakukan kegiatan atau hobi yang mereka sukai sebelumnya.
“Sebelumnya, dalam menjalankan hobi-hobi yang diminati, ia terlihat ceria, ketika mengalami perundungan, ia jadi tidak terlihat percaya diri dan takut untuk keluar atau bersosialisasi,” kata Rosanna.
Dia menjelaskan, saat ini kebebasan mengakses informasi tidak lagi membuat cyberbullying merujuk pada salah satu atau sebagian usia saja, melainkan dapat terjadi pada usia berapa pun. Bahkan, anak berusia sekolah dasar dapat mengalami atau menjadi pelaku cyberbullying itu sendiri.
Bagi anak-anak pelaku cyberbullying, hal tersebut dapat terjadi baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Terkadang, kata Rosans anak-anak tersebut hanya mengikuti apa yang mereka lihat di media sosial dan internet saja.