c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

16 Februari 2023

20:45 WIB

Maju-Mundur Pengetatan Pernikahan Dini

Dispensasi pernikahan dini masih marak, meski batas usia minimal untuk menikah dinaikkan pemerintah.

Penulis: Gisesya Ranggawari, Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Leo Wisnu Susapto

Maju-Mundur Pengetatan Pernikahan Dini
Maju-Mundur Pengetatan Pernikahan Dini
Ilustrasi. Dua orang sedang berpose untuk difoto dengan menggunakan sepatu santai saat menikah. Shutterstock/popovartem.com

JAKARTA – Ayu, bukan nama sebenarnya, menuturkan kisah pilu karena pernikahan dini. Belum genap seumur jagung perkawinannya, dia harus terpisah dari suaminya, bahkan hingga kini. 

Perempuan berusia 23 tahun ini, harus rela tinggal beda daerah dengan suaminya, meski masih dalam provinsi sama di timur Pulau Jawa. Perpisahan harus dijalani oleh pasangan yang menikah di bawah umur itu. 

Pada 2017, saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menaikkan batas minimal usia perkawinan seseorang menjadi 19 tahun, Ayu dan kekasihnya harus menikah. Kehamilan di luar nikah jadi sebabnya. Kehamilan diketahui saat dia harus bersiap untuk ujian kelulusan SMA.

“Mau tidak mau harus menikah, kalau tidak menikah bagaimana nasib anak saya? Saat itu saya baru mau ujian kelulusan,” tutur wanita yang saat ini berusia 23 tahun, kepada Validnews, Sabtu (16/2).

Ayu kemudian harus berhenti dari sekolah. Kekasihnya pun harus cuti kuliah. Mereka berdua harus segera mengurus perkawinan dengan rangkaian panjang. Keduanya juga datang ke Pengadilan Agama mengajukan dispensasi kawin karena belum cukup umur. 

Tanpa punya persiapan untuk mengurus anak, memiliki penghasilan tetap, perkawinan harus terjadi. Pengadilan pun mengabulkan karena pertimbangan kehamilan Ayu.

Buah hati lahir dengan selamat. Sebulan setelah mereka sah menjadi suami istri. Hanya saja, badai yang melanda, belum berhenti menimpa keluarga muda itu. Bermula dari keluarga suami yang ingin agar Ayu kembali sekolah. 

Mertua memang tak keberatan mengasuh cucu mereka. Hanya saja, orang tua Ayu menilai tak lagi perlu bagi anaknya untuk melanjutkan sekolah.

Karena beda pendapat itu, prahara menimpa keluarga Ayu. Pihak mertua dan orang tuanya bersitegang. Di puncak ketegangan, usulan agar mereka bercerai pun muncul. 

Akan tetapi, pasangan muda ini menolak. Bara kadung sulit dipadamkan. Kedua orang tua memaksa mereka berpisah.

Ayu hanya bisa menyesal dengan apa yang terjadi. “Saya kini mengalami banyak kesulitan dengan menikah muda. Secara ekonomi dan harus cari cara agar kami tak terpisah,” kata Ayu.

Kisah Ayu hanya dari ribuan perkawinan anak yang terjadi di Indonesia. Banyak cerita serupa di berbagai daerah terjadi. 

Soal dispensasi pernikahan, data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA) mencatat selama pandemi dari Januari hingga Juni 2020 ada 34 ribu permohonan pernikahan dini, dan 97% dikabulkan. 

Alasan yang diajukan seperti dampak sosial, pola asuh keluarga, kehamilan tanpa pernikahan, masalah ekonomi, paparan akses informasi, aturan adat dan budaya, kurangnya pendidikan,dan pandangan terkait agama. 

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA), di Indonesia perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun diperkirakan mencapai 1.220.900. Jadi, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.

Hasil penelitian terbaru mempertegas kegentingan ini. Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Tentu saja, fenomena memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKK).

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menguraikan, ada banyak anak ‘dijebak’ untuk menikah. Seperti, iming-iming ekonomi, kekerasan, perlakuan salah, kejahatan seksual.

Tumbuh pula anggapan di masyarakat, perkawinan dapat menyelamatkan keluarga, meski masih di bawah umur. 

“Begitu disayangkan masih banyak orang tua yang yakin akan pendapat itu. Mereka tak sadar, telah menjerumuskan anak untuk mengalami kesulitan di kemudian hari,” kata Jasra, Senin (13/2).

Jasra menmabahkan, media sosial pun turut memicu. Lantaran, banyak unggahan pernikahan usia anak. Unggahan itu memamerkan keindahan, bahwa hidup sejak usia muda bersama orang yang dicintai itu indah. 

Ancaman
Berdasarkan penelitian KPAI, 80% dari perkawinan anak menyebabkan anak kehilangan masa tumbuh kembang terbaiknya. Putus sekolah, melahirkan keluarga miskin, serta gangguan alat reproduksi adalah dampak pasti lainnya. 

Ada pula risiko kematian saat melahirkan atau risiko tinggi disabilitas dari bayi yang dilahirkan. Semuanya itu berdampak psikologis bagi anak yang menjalani perkawinan. 

Pernikahan anak juga akan melahirkan musibah bagi anak. Karena belum matang secara ekonomi, tanpa kemampuan manajemen konflik keluarga, juga pemahaman cara mengasuh anak. Tak heran, berpisah dan perceraian jadi solusi. Ujungnya, jumlah janda anak melonjak.

Anak-anak yang lahir dari pernikahan itu, akan tumbuh menjadi generasi dengan rasa emosi, tertekan, dan rentan mengalami penelantaran. Akhirnya menempatkan mereka menjadi masalah berlapis di masyarakat.

Jasra menyebutkan, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional atau SUSENAS 2020 mencatat sekitar 8,19% perempuan di Indonesia pertama kali menikah dalam rentang usia 7-15 tahun. Terbanyak ada di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Barat dan Kalimantan Tengah.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA, Rini Handayani mengatakan, perkawinan anak merupakan salah satu tantangan dalam pembangunan sumber daya manusia. Ini dikarenakan perkawinan anak memiliki dampak multiaspek dan lintas generasi.  

Pelanggaran hak anak seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan lain-lain tak bisa diperoleh secara optimal. 

“Menimbulkan masalah baru bagi anak-anak kita, mulai dari putus sekolah, tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), anak lahir dengan stunting, KDRT, sampai masalah perekonomian, jadi sebisa mungkin kita harus mencegah perkawinan anak,” kata Rini, Rabu (16/2).

Tegakkan Aturan
Akan fenomena perkawinan anak ini, Jasra berpendapat, pemerintah harus bisa melahirkan sejumlah strategi mengurangi hal ini. Mulai dari penegakan aturan, menjamin kesejahteraan anak, harus ditegaskan. Juga, meningkatkan kesadaran dan sikap anak terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas anak. 

Pemerintah juga diharapkan teguh menerapkan Sertifikasi Nikah yang sudah dicanangkan pada 2020. Sertifikasi ini wajib bagi calon penganting. Untuk mendapatkannya, pasangan mempelai harus belajar lebih dulu tentang hidup berkeluarga.

Jika sertifikasi ini tegak diterapkan, KPAI yakin akan menurunkan angka perceraian, pernikahan di bawah umur, dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Sebaliknya, Mahkamah Agung melalui Kabiro Hukum dan Humas, Sobandi, memastikan serius meminimalisir angka perkawinan anak di Indonesia. 

Setelah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan, MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Perma ini menjadi menjadi acuan pemeriksaan hakim pada permohonan dispensasi perkawinan anak. Baik hakim pengadilan agama bagi pemohon beragama Islam dan di pengadilan negeri bagi non-muslin, urai Sobandi dalam jawaban yang diterima Validnews, Rabu (15/2).

“Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Perma, permohonan dikabulkan karena alasan sangat mendesak,” imbuhnya. 

Salah satu alasannya jika tidak dilakukan pernikahan akan membahayakan nyawa dan keberlangsungan hidup salah satunya.

Sobandi menyebutkan, untuk alasan yang diajukan oleh pemohon dispensasi kawin begitu beragam. Namun alasan yang dapat dikabulkan berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah karena alasan mendesak. 

Yakni keadaan yang tidak ada pilihan lain dan terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. 

Akan tetapi, tetap dengan mempertimbangkan semangat pencegahan perkawinan anak, aspek moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.

Perpanjangan Proses
Sobandi mengatakan, sejak 2021, MA telah melaksanakan model penerapan Perma 5 Tahun 2019. Model penerapan itu dilakukan berdasarkan naskah kerja sama MA dan Kementerian PPPA.

Dia menguraikan, sejak model itu diterapkan, saat menerima permohonan, hakim harus memberikan nasihat tentang risiko perkawinan pada usia anak kepada pemohon. 

Dalam hal ini, kedua orang tua/wali anak. Lalu, pada anak, calon suami/istri, dan kedua orang tua calon suami/istri. 

Nasihat itu berpusat pada, agar, pemohon benar-benar memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Lalu, ditawarkan, untuk membatalkan niat mereka. 

Bila nasihat tersebut tak membuat pemohon bergeming, hakim akan berkordinasi dengan pemerintah. Yakni, calon pengantin mengikuti serangkaian tes dari sisi psikologis dan tes lain. 

Tujuannya, agar hakim punya data untuk memutuskan permohonan. Apakah menolak karena pertimbangan kesiapan psikologis, kesehatan, maunpun ekonomi.

“Sejak tahun 2021 dengan menerapkan model pemberian dispensasi perkawinan, istilahnya perpanjangan proses, sehingga pemohon akan lebih sulit untuk mendapatkannya,” kata Sobandi.

Terkait model yang diterapkan dalam permohonan dispensasi kawin di bawah umur itu, Rini Handayani menambahkan, PPPA mencatat sejak 2020, ada sekitar 5.000 pemohon yang akhirnya mencabut permohonan dispensasi kawinnya.

“Karena itu, ini akan terus kami upayakan dan perluas penerapannya ke pengadilan di daerah-daerah untuk mencegah perkawinan anak,” kata Rini.

Selain itu, lanjut Rini, PPPA juga bekerja sama dengan kementerian untuk melakukan upaya pencegahan perkawinan anak. Yakni, mendorong anak-anak perempuan untuk mengikuti wajib belajar 12 tahun, kemudian menggencarkan pendidikan seks dan pendidikan kesehatan reproduksi. 

Pemerintah menilai, hal ini penting dilakukan, mengingat ada kaitan erat antara pendidikan seks dan Kesehatan reproduksi, dengan perkawinan anak. 

Rini berharap pencegahan bisa dilakukan optimal dengan pendidikan seks. Anak jadi mengetahui bahaya perkawinan anak bagi kesehatan reproduksi. Lalu, memicu mereka untuk berpikir dua kali melakukan perkawinan anak atau berhubungan seks saat belum cukup umur. 

Rini menambahkan, salah satu pekerjaan rumah yang harus menjadi fokus pemerintah adalah, penanganan anak-anak yang terlanjur menjadi bagian perkawinan anak. Mereka harus mendapatkan pendampingan agar mereka bisa membangun keluarga yang mandiri, dan tidak memutus siklus perkawinan anak di keluarga mereka. 

Persoalan yang juga tak kalah sulit adalah aspek moral, agama, adat dan budaya. Pendidikan seks yang sejatinya bisa menjadi pencegah, masih kerap dipersepsikan tabu untuk disampaikan, apalagi dibahas mendalam. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar