c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

13 Juni 2023

20:40 WIB

Maju-Mundur Mengendalikan Konsumsi Gula

Konsumsi gula berlebih belum bisa dikendalikan pemerintah, sedangkan dampaknya tak murah dan masif.

Penulis: James Fernando, Gisesya Ranggawari, Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

Maju-Mundur Mengendalikan Konsumsi Gula
Maju-Mundur Mengendalikan Konsumsi Gula
Warga memilih minuman di minimarket kawasan Jakarta Selatan, Selasa (22/11/2022). ValidNewsID/Arief Rachman

JAKARTA – Keinginan Presiden Joko Widodo agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerapkan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun 2023 tak bisa diwujudkan. Kemenkeu menyatakan, rencana itu masih dikaji karena mempertimbangkan kondisi ekonomi dan industri. Penerapannya ditunda hingga 2024.

Keinginan Jokowi itu tertulis. Ada di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, ditandatangani 30 November 2022.

Menyelaraskan prosesnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pada awal 2023 sudah menyurati Menkeu Sri Mulyani untuk mendorong penerapan kebijakan cukai MBDK.  

Usulan untuk pemberlakukan cukai ini dipicu oleh angka diabetes pada anak yang kian meningkat. Catatan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bahkan menunjukkan adanya tren kenaikan 70 kali lipat pada 2023 ketimbang 2010.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, tingkat konsumsi makanan manis sebesar 87,9% dan minuman manis 91,49% di Indonesia. Data ini menunjukkan tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia kepada makan dan minuman manis.    

Selanjutnya, prevalensi masyarakat yang mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali dalam sehari mencapai 61,27%. Riskesdas itu mencatat, 30,2% masyarakat mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu.

Kemenkes mengingatkan, konsumsi gula berlebih dapat mengakibatkan insulin menjadi resisten. Atau, tubuh menjadi tidak mampu menjalankan tugas sebagai metabolisme gula menjadi energi. 

Akibatnya terjadi peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia). Ujungnya, adalah risiko terhadap terjadinya kegemukan (obesitas) dan diabetes melitus.

Lebih mirisnya, diabetes yang tidak terkontrol akan berisiko menganggu organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal dan lain-lain. Kerap penyakit ini berujung dengan kematian juga. 

Menyoal kaitan gula dan diabetes, British Diabetic Association menguraikan bahwa  konsumsi gula tidak ada kaitannya secara langsung dengan diabetes tipe 1. Karena, penyebabnya adalah sistem imun tubuh yang menyerang produksi insulin. Sementara itu, penyebab diabetes tipe 2 tak melulu karena konsumsi gula saja.

Meskipun bukan pemicu utama diabetes, konsumsi gula secara berlebihan tetap tidak disarankan. Jika berlebihan, secara tidak langsung akan menambah risiko diabetes. 

Mengonsumsi makanan atau minuman dengan kandungan gula tinggi akan menyebabkan obesitas. Kondisi ini yang termasuk salah satu faktor risiko diabetes tipe 2. Tipe ini lah yang banyak ditemukan.

Gula memiliki kandungan kalori tinggi dan asam glikolat yang berfungsi memberikan energi bagi tubuh serta dapat membantu menjaga kulit tetap sehat.

Adapun konsumsi gula per hari bagi pria, maksimal 150 kalori. Atau 37,5 gram setara 7,5 sendok teh. Sementara perempuan 100 gram atau lima sendok teh. Kelebihan konsumsi, bisa menimbulkan risiko gula darah tinggi, sindrom metabolik, obesitas, penyakit jantung, dan diabetes tipe 2.

Nah, penyakit diabetes, menjadi salah satu penyakit yang menyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia. 

Data International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan, jumlah penderita diabetes pada 2021 di Indonesia meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir. Jumlahnya diperkirakan dapat mencapai 28,57 juta pada 2045.

Menurut Institute for Health Metrics and Evaluation, diabetes merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi ke-3 di Indonesia tahun 2019 yaitu sekitar 57,42 kematian per 100.000 penduduk atau lebih besar 47% dibandingkan dengan jumlah 19,47 juta pada 2021.  

Pembatasan Konsumsi Gula
Menilik peliknya hal ini, pemerintah telah lama menerapkan pembatasan konsumsi gula. Hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Kemudian, direvisi menjadi Permenkes Nomor 63 Tahun 2015.

Pasal 2 memaparkan, Permenkes ini lahir untuk meningkatkan pengetahuan konsumen terhadap asupan konsumsi gula, garam, dan/atau lemak pada pangan olahan dan pangan siap saji. Di pasal 3 ayat 1, tercantum bahwa produsen pangan olahan yang mengandung gula, garam, dan/atau lemak untuk diperdagangkan wajib memuat informasi kandungan serta pesan kesehatan pada label pangan.

Lalu, Pasal 4 ayat 2 tertulis, pesan kesehatan dengan tulisan, konsumsi gula lebih dari 50 gram, Natrium lebih dari 2.000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.

Rinciannya, konsumsi gula sebesar 10% dari total energi (200 kkal), atau setara dengan empat gula sendok makan atau 50 gram. Sementara itu, anjuran konsumsi garam adalah 2.000 mg natrium setara satu sendok teh atau lima gram.

Sementara itu, anjuran konsumsi lemak per orang konsumsinya 20-25% dari total energi (702 kkal). Konsumsi lemak tersebut sama dengan lemak lima sendok makan atau 67 gram.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso berharap, minuman dan makanan kemasan harus menyebutkan kandungan gula dalam takaran sendok, bukan hanya gram. 

“Agar masyarakat bisa lebih mudah menakar asupan gula yang mereka konsumsi dalam sehari,” tukasnya, saat berbincang dengan Validnews, di Jakarta, Selasa (13/6).

Menurut dia, cara itu dapat membuat masyarakat lebih waspada dengan batas asupan gula anjuran WHO. Bila melebihi anjuran tersebut, risiko berbagai penyakit pun bisa menyerang anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.

"Jadi, kita jangan tertipu dalam minuman saja. Tapi, snack-snack itu juga mengandung gula yang tinggi," ujarnya menekankan.

Piprim apresiasi upaya pemerintah melindungi masyarakat dari bahaya makanan dan minuman dalam kemasan. Namun, diperlukan informasi lebih jelas terkait bahaya yang mengintai di balik asupan gula berlebih.

Kebijakan Pembatasan Konsumsi
Di pasar, hal terjadi berbeda, Chief Research and Policy Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda menyebutkan, ketentuan di Permenkes 30 Tahun 2013 tidak berjalan dengan baik. 

Dia menemukan, beberapa produk MBDK dengan kandungan gula tinggi masih banyak ditemui di pasaran. 

"Misalnya, ada MBDK yang 500ml itu kandungan gulanya 40 gram," sebutnya pada Validnews di Jakarta, Senin (12/6).

Dia juga menyampaikan, batas maksimal konsumsi gula yang diterapkan pemerintah masih tergolong rendah. Sementara itu, World Health Organization (WHO) adalah 24 gram per hari. CISDI setuju dengan batas yang ditetapkan WHO. Pasalnya, standar WHO dibuat berdasarkan penelitian yang lebih kuat.

Malahan, CISDI menilai konsumsi MBDK di Indonesia semenjak dua dekade terakhir sudah meningkat, bahkan mencapai 15 kali lipat. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dalam peringkat ketiga dengan konsumsi minuman berpemanis tertinggi se-Asia Tenggara.

Kemenkes mengamini, konsumsi gula berlebih ini perlu dimitigasi. Namun, Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, belum ada kebijakan lain untuk menghadang konsumsi gula berlebih di masyarakat.

“Baru berdasarkan Permenkes 30 Tahun 2013,” urainya ketika dihubungi Validnews, Senin (12/6).

Sementara, dorongan Kemenkes agar pemerintah menerapkan cukai makanan dan minuman berpemanis belum lahir.

Lalu, kebijakan pembatasan lain seperti penerapan gambar bahaya konsumsi MBDK di tiap kemasan, Nadia akui, itu belum ada. Padahal, kebijakan ini sudah diterapkan di kemasan rokok. Yakni, ada kewajiban gambar bahaya akibat merokok di tiap bungkus rokok.

Akan ide pencantuman gambar bahaya MDBK dalam tiap kemasan makanan dan minuman, Ketua IDAI menilai sebagai gagasan menarik.

“Memasang foto penyakit degeneratif akibat asupan gula berlebih dalam kemasan makanan dan minuman itu ide menarik,” sebut Piprim.

Instrumen Cukai
Kemenkes, menurut Nadia, kini mendorong agar ada penerapan cukai pada makanan dan minuman berpemanis. Kebijakan yang dinilai dapat mengontrol akses terhadap konsumsi gula berlebihan di masyarakat. Sekaligus, dapat mendorong pemasukan negara.

Apalagi, diabetes merupakan salah satu beban penyakit dan ekonomi yang besar karena prevelensinya terus meningkat.

Pernyataan itu diperkuat dengan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bahwa klaim untuk penyakit diabetes terus meningkat setiap tahunnya. 

Pada 2018, BPJS Kesehatan menyalurkan Rp6,5 triliun. Menjadi Rp7,1 triliun pada 2019. Kembali naik menjadi Rp7,5 triliun pada 2022.

Selain menerapkan cukai pada makanan dan minuman berpemanis, Nadia sampaikan perlu ada promosi, edukasi dan skrining awal melalui Posyandu. Hal ini untuk mendukung regulasi pengenaan cukai dan pengawasan makanan dan minuman yang beredar.

Saat ini, Kemenkes berupaya melakukan promosi dan edukasi secara berkelanjutan. Edukasi itu soal bagaimana masyarakat dapat memahami informasi label nilai gizi pada bahan pangan dan minuman kemasan siap saji.

Pemerintah lalu berkoordinasi dengan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas soal pembatasan, penjualan makanan dan minuman manis ini. Harapannya, anak-anak tidak ketergantungan dengan makan dan minuman manis. Dengan begitu, jumlah masyarakat yang mengidap penyakit diabetes bisa ditekan.

Sayangnya, tidak semua pihak sekolah merespons baik soal pembatasan penjualan minuman manis ini. 

Sebagian sekolah beranggapan pembatasan penjualan makanan dan minuman masih ini menjadi penting dalam rangka menekan angka diabetes di Indonesia. Sebagian lainnya, tidak menanggapi usulan dari pemerintah ini.  

Nadia mengingatkan, pengurangan jumlah kasus diabetes di Indonesia tak bisa dilakukan satu sektor saja. Melainkan harus ada koordinasi dan sinergi antara kementerian/lembaga dan masyarakat luas.

“Intinya edukasi kepada masyarakat sangat penting karena parenting/pola asuh kebiasaan tidak memberikan gula secara rutin kepada anak dengan minuman atau berpemanis. Kesadaran pembatasan kadar gula dalam pola makanan keluarga sehari-hari ini penting,” tandas Nadia.

Terkait harapan Kemenkes, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Askolani dalam konferensi pers beberapa waktu lalu menyatakan, penerapan pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan akan dilakukan pada 2024. Hal ini menyesuaikan dengan ketentuan ini menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

Dia menjelaskan, ekstensifikasi cukai perlu masuk dalam susunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) sesuai dengan mekanisme Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pengusulan dan penambahan cukai baru perlu melalui mekanisme Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Terkait berapa besarannya, Kemenkeu belum bisa memaparkan. Namun, Maret 2022, CISDI menerbitkan ringkasan kebijakan Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia. CISDI merekomendasikan penetapan cukai untuk MBDK sebesar 20% dari harga.

Alasannya, CISDI memandang konsumsi gula di masyarakat kina tinggi. Hal ini berpengaruh pada angka obesitas, diabetes dan penyakit tidak menular lainnya.

Olivia mengatakan, penyakit tidak menular akibat konsumsi gula berlebih juga dapat meningkatkan angka kematian. Karena itu, pengendalian konsumsi gula penting dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Caranya yakni melalui kebijakan fiskal seperti cukai. Berbagai negara sudah menerapkannya. Hasilnya, efektif menekan konsumsi gula masyarakat.

Selain lewat kebijakan fiskal, pengendalian juga perlu dilakukan oleh Kemenkes, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan dinas kesehatan (dinkes). Menurut Olivia, dengan cara ini Kemenkes dan BPOM dapat bergerak dari pusat, sedangkan dinkes dapat bergerak di daerah.

"Jadi, memang perlu upaya dari berbagai lapisan supaya pengendalian ini sampai ke daerah, menyeluruh," kata Olivia.       

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menuturkan, rencana pemerintah ini bisa berdampak pada industri makanan dan minuman. Asosiasi memperkirakan akan ada kenaikan harga minuman berkemasan hingga 30% akibat pengenaan cukai di makanan dan minuman berpemanis. 

GAPMMI pernah melakukan simulasi penerapan cukai ini. Hasilnya disimpulkan bisa memengaruhi harga minuman hingga 30%. 

“Kenaikan harga cukup tinggi,” kata Adhi pada Validnews, di Jakarta, Senin (12/6).

Rencana ini, lanjut dia, juga akan berdampak banyak pada penjualan dan kinerja industri makanan dan minuman di Indonesia. Adhi mengaku belum menerima undangan resmi dari pemerintah untuk membahas terkait rencana penerapan cukai minuman berpemanis ini.

Dia berharap agar asosiasi dan pelaku industri dilibatkan dalam perumusan dan cara penerapan pengenaan cukai tersebut. GAPMMI tetap pada pendapat, penerapan cukai untuk minuman berpemanis akan berdampak pada industri. Mereka mengkhawatirkan nasib sektor ini jika dikenakan cukai itu.  

"Saya kira sekarang ini masih belum stabil di industri karena bahan baku masih tinggi, harga energi masih tinggi, sementara harga jual tidak bisa naik cukup tinggi. Kalau cukai dikenakan lebih berat lagi, sangat berdampak," keluh Adhi. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar