02 Juli 2025
12:11 WIB
KPPOD Ingatkan Masalah Penjabat Dampak Pemilu Dipisah
Pemisahan pemilu diperkirakan menghasilkan penjabat kepala daerah yang maksimal bisa menjabat dua tahun enam bulan.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) menyaksikan Penjabat Gubernur menandatangani pakta integritas saat pelantikan sembilan penjabat gubernur di Jakarta, Selasa (5/9/2023). Antara Foto/Jessica Wuysang.
JAKARTA - Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, berpotensi membuat banyak posisi kepala daerah yang kosong akan diisi penjabat (Pj).
Dia mengingatkan, melihat peristiwa penunjukan penjabat kepala daerah sebelumnya, ada masalah kepercayaan dari publik atau rendahnya legitimasi sosok penjabat.
“Problem terbesar itu sebetulnya soal kepercayaan. Kepercayaan dari DPRD dan juga kepercayaan dari masyarakat,” ujar dia kepada Validnews, Rabu (2/7).
Armand mencontohkan hal itu terjadi di DKI Jakarta. Menurut dia, secara psikologi sosial dan batin masyarakat Jakarta sebenarnya tidak tidak suka dengan kehadiran Pj.
“Hal itu juga akan mengganggu dalam proses pelayanan publik sehari-hari,” sebut dia.
Untuk mengatasi masalah kepercayaan terhadap penjabat, Armand mengusulkan, pemerintah pusat mesti menjawab masalah mekanisme pemilihan dan pengangkatan penjabat yang akuntabel dan transparan.
Baca juga: Kebijakan Ganti Pj Kepala Daerah Yang Gagal Kendalikan Inflasi Terbukti Efektif
Dia menjelaskan, berkaca dari penunjukan penjabat sebelumnya, tidak terjadi proses yang akuntabel dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Armand mengaku sejak tiga tahun lalu sudah menyuarakan masalah ini, di samping masalah-masalah lainnya seperti soal kewenangan penjabat.
Ia menerangkan, kewenangan penjabat tidak seutuhnya sama dengan kepala daerah definitif. Namun, dalam praktiknya, kewenangan penjabat kepala daerah sama persis dengan kepala daerah definitif.
Karena itu, menurut dia, masalah kewenangan ini juga mesti dijawab pemerintah dan DPR. Pasalnya, jangka waktu kekosongan kepala daerah akibat putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 bisa sampai dua tahun enam bulan.
Tak lupa, dia menambahkan, metode evaluasi dan pengawasan terhadap kinerja Pj juga menjadi masalah selama ini yang harus diselesaikan. Sebab, selama ini hanya berlangsung di internal pemerintah.
Pada kesempatan terpisah, Guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Muhadam Labolo menyebut pengangkatan penjabat sebelumnya memunculkan sejumlah masalah.
Seperti, rendahnya tingkat legitimasi yang menciptakan ketegangan di daerah dan tingginya intervensi pemerintah pusat yang kemudian dicurigai dalam sejumlah kasus.
Selain itu, dalam kasus-kasus tertentu Pj dianggap tidak memahami kondisi lokal sehingga tak bertahan lama menjabat di suatu daerah.
Dalam catatan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) ini, sebagian besar Pj tidak ada yang bertahan lebih dari dua tahun. Tak sedikit juga Pj yang dimutasi meski baru bertugas satu tahun. Bahkan, ada yang baru tiga bulan sudah dimutasi karena ada konflik di tingkat lokal.
“Saya kira saya menjelaskan persoalan Pj, yaitu intervensi pusat, transaksional, konflik di daerah, juga rendahnya legitimasi di dalam kasus banyaknya Pj yang didistribusikan ke daerah,” ungkap Muhadam, dalam diskusi daring Menakar Dampak Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 Terhadap Sistem Ketatanegaraan dan Tata Kelola Pemilu, Selasa (7/1).
Sebagai informasi, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan penyelenggaraan pemilu serentak antara pemilu nasional yakni pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilu daerah atau lokal yakni memilih anggota DPRD (provinsi, kabupaten/kota) dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.
Jeda waktu kedua pemilu itu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan.