c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

NASIONAL

20 Oktober 2025

13:54 WIB

KPAI Minta Proses Hukum Tak Timbulkan Reviktimasi 

Proses hukum, terutama anak sebagai korban, mesti hati-hati dan tidak menimbulkan reviktimasi.

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>KPAI Minta Proses Hukum Tak Timbulkan Reviktimasi&nbsp;</p>
<p>KPAI Minta Proses Hukum Tak Timbulkan Reviktimasi&nbsp;</p>

Ilustrasi kekerasan pada anak. Shutterstock/KieferPix.

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta, setiap proses hukum terhadap anak korban kekerasan tidak menimbulkan reviktimisasi. Hal ini termasuk berhenti menanyakan hal-hal yang bisa kembali menimbulkan luka pada korban dalam proses hukum.

"Perlu sekali memastikan setiap proses hukum terhadap anak, ini perlu ada kehatian-kehatian dan menghindarkan proses-proses atau tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan reviktimisasi kepada korban," ujar Komisioner KPAI, Dian Sasmita, dalam konferensi pers daring, Senin (20/10).

Dia melanjutkan, reviktimisasi itu tercermin dalam catatan KPAI. Pada 2024, lembaga ini menerima 296 aduan kasus kekerasan seksual pada anak yang mengalami hambatan dalam proses hukum. Sebagian besar hambatan itu berkaitan dengan proses hukum yang panjang, sehingga membebani korban dan keluarganya.

Dian menjelaskan, dalam proses hukum itu korban kerap diminta untuk menceritakan kembali pengalaman traumatis. Proses ini tidak hanya berlangsung sekali ketika korban dimintai keterangan oleh polisi. Namun, bisa terjadi berulang kali termasuk dalam proses persidangan.

"Itu akan menambah trauma, menambah tekanan psikis kepada korban karena dia diminta untuk mengungkit-ungkit lagi, menyampaikan lagi pengalaman yang buruk," terang Dian.

Dia menyebutkan, sejumlah institusi sudah memiliki peraturan yang memastikan proses hukum meminimalisir reviktimisasi. Salah satunya adalah Mahkamah Agung (MA) yang memiliki Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Aturan ini memastikan proses persidangan meminimalisir reviktimisasi dan stigmatisasi terhadap korban.

"Ini perlu menjadi perhatian bersama, tidak hanya tahap persidangan saja, tapi semua pihak juga perlu memastikan supaya korban tidak semakin menderita lagi," imbuh Dian.

Selain itu, dia berkata penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak boleh fokus pada proses hukum saja. Namun, juga harus fokus pada pemulihan anak korban secara berkelanjutan. Sebab, setiap tindak kekerasan berpengaruh pada proses tumbuh kembang berikutnya.

Terkait hal ini, dia pun menyoroti perlunya perbaikan aturan layanan BPJS Kesehatan bagi korban kekerasan. Pasalnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan menyatakan, pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.

"Ini salah satu regulasi yang perlu mendapatkan perbaikan, revisi, agar para korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak, ini tidak dibatasi aksesnya terhadap dukungan kesehatan," pungkas Dian.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar