20 Oktober 2025
16:57 WIB
Kondisi Pekerja Migran Makin Merosot di Tahun Pertama Prabowo-Gibran
Tahun pertama Prabowo-Gibran dinilai tak memiliki daya juang kuat untuk melindungi pekerja migran asal Indonesia.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Arab Saudi membawa barang mereka setibanya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (4/5). AntaraFoto/Dhoni Setiawan.
JAKARTA - Migrant Care menilai kondisi pekerja migran Indonesia (PMI) makin merosot dan jauh dari akses keadilan pada masa satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran.
Alih-alih memperkuat mandat konstitusi untuk melindungi seluruh warga negara, kebijakan pemerintah justru semakin menjadikan PMI sebagai komoditas ekonomi dan mesin pencetak uang, bukan sebagai subjek pemegang hak asasi manusia.
Direktur Eksekutif, Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan kelemahan tata kelola migrasi, makin lemahnya diplomasi pelindungan, serta meningkatnya perdagangan orang. Apalagi, dengan penyalahgunaan teknologi digital, menjadikan situasi PMI berada di titik paling mengkhawatirkan dalam satu dekade terakhir.
Data Kementerian Luar Negeri mencatat ada 2.585 kasus pelindungan warga negara Indonesia (WNI) pada paruh pertama 2025. Sekitar lebih dari 75% kasus merupakan orang yang terjerat perdagangan orang di sektor penipuan kerja online.
Model mencari kerja ini menjerat ribuan WNI, terutama para pemuda ke Kamboja, Myanmar, Laos, dan Filipina. Sebagian besar korban adalah pemuda muda berusia 17–30 tahun yang direkrut melalui iklan pekerjaan palsu berbasis digital, yang melibatkan jaringan mafia migran bekerja sama dengan sindikasi lintas negara.
Melalui berbagai kasus perdagangan orang ini menegaskan bahwa Indonesia kini bukan hanya negara asal korban TPPO, tetapi juga menjadi basis rekrutmen jaringan kriminal digital Asia Tenggara.
Baca juga:
Di sisi lain, laporan masyarakat sipil mencatat 87 PMI yang berasal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri terhitung sejak Januari-Agustus 2025, mayoritas bekerja di sektor pekerjaan yang berisiko tinggi seperti perkebunan, manufaktur, perikanan, dan pekerja rumah tangga migran.
“Negara gagal memastikan hak atas keselamatan kerja, proses hukum atas kasus kematian tidak transparan, dan banyak jenazah pulang tanpa kejelasan tanggung jawab majikan maupun negara penempatan,” urai Wahyu, dalam keterangannya, Senin (20/10).
Pada 24 Januari 2025, lima PMI ditembak oleh aparat keamanan Malaysia, yang menyebabkan satu orang meninggal dunia dan empat lainnya luka-luka. Hingga kini, penyelesaian kasus berjalan mandek, tidak transparan, dan tidak menunjukkan adanya langkah diplomasi yang tegas dari Pemerintah Indonesia.
Wahyu semakin mempertanyakan sikap negara ketika salah satu anggota DPR menyatakan, hubungan baik Indonesia dan Malaysia perlu menjadi pertimbangan dalam penyelesaian kasus tersebut. Hal ini menunjukan seolah-olah keselamatan WNI dikalahkan oleh kepentingan diplomasi bilateral.
Tiga hari setelah peristiwa penembakan, Presiden Prabowo Subianto justru melakukan lawatan ke Malaysia tanpa membawa agenda diplomasi pelindungan yang jelas, sehingga memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam membela martabat dan keselamatan warganya di luar negeri.
Wahyu menyatakan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) yang dibentuk pada pemerintahan Prabowo tidak serius dalam memberikan pelindungan terhadap PMI.
Sejak awal, menurutnya, pembentukan kementerian ini dilakukan tanpa ada peta jalan pelindungan PMI yang komprehensif. Tanpa desain kelembagaan yang solid, dan tidak disertai anggaran memadai untuk menghadapi eskalasi masalah migrasi tenaga kerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Alih-alih memperkuat mandat pelindungan melalui tata kelola yang akuntabel, kementerian ini justru bekerja dalam logika penempatan tenaga kerja untuk mengejar target kucuran remitansi, bukan perlindungan martabat WNI,” katanya.
KP2MI menargetkan peningkatan penempatan PMI hingga 425 ribu orang per tahun mencerminkan pendekatan migrasi yang eksploitatif, tanpa jaminan keselamatan. Juga, mengabaikan mekanisme pengawasan, pengendalian risiko negara tujuan, maupun skema perlindungan keluarga PMI.
Untuk pelingungan PMI, Migrant Care mencatat, pemerintah tak memiliki haluan kebijakan pelindungan berbasis data risiko. Tidak, ada audit negara tujuan, dan tidak ada kerangka keselamatan bagi pekerja migran Indonesia.