06 Desember 2021
21:00 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengungkapkan, pihaknya akan memperbaiki sistem laporan untuk mempercepat penanganan aduan kekerasan seksual yang masuk ke Komnas Perempuan.
“Kami saat ini sedang berusaha mempersingkat alur aduan, karena setiap bulannya ada sekitar 500-800 aduan yang masuk dan kami membutuhkan waktu untuk memverifikasi setiap aduan yang masuk,” ungkap Siti dalam konferensi pers terkait kasus yang menimpa mahasiswi asal Mojokerto, NWR, Senin (6/12).
Siti mengatakan aduan terkait kasus yang dialami NWR sudah diterima oleh pihaknya sejak Agustus 2021 lalu. Namun karena kesulitan menghubungi korban, Komnas Perempuan baru berhasil menghubungi NWR pada 10 November 2021 untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi dan juga harapannya.
Pada saat yang sama Komnas perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto. Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sekerap yang dibutuhkan, tetapi juga sudah dilakukan dan dijadwalkan kembali di awal Desember.
“Dalam komunikasi dengan komnas perempuan dia meminta bantuan konseling psikologis dan mediasi dengan keluarga pacarnya, bahkan sebelum itu dia juga sempat berkonsultasi dengan LBH terdekat dan NWR diminta melaporkan kasusnya ke Propam,” terang Siti.
Dalam aduannya ke Komnas Perempuan, NWR mengaku telah menjadi korban kekerasan seksual sejak tahun 2019 lalu. Ia terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara: memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin.
Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali. Pada kali kedua bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban. Alasannya, masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah. Keluarga pelaku kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
“Akibatnya korban mengalami gangguan kejiwaan, ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya,” terang Siti.
Siti mengungkapkan, kasus yang dialami NWR merupakan satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021.
Kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan. Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai penyedia layanan di hampir 34 Provinsi. Sekitar 20% di antaranya terjadi di ranah privat.
Di kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Kasus KDP seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum karena adanya relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual. Terlebih, apa yang dialami korban seringkali dianggap sebagai peristiwa suka sama suka. Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.
“Banyaknya pengaduan yang masuk tidak setara dengan jumlah sumber daya yang dimiliki Komnas Perempuan, membuat kami menjadi kewalahan dalam merespons aduan yang masuk dan tidak bisa mendampingi korban secara langsung dan cepat, ini yang sedang kami coba perbaiki,” tegas Siti.