25 Januari 2023
19:53 WIB
Penulis: Aldiansyah Nurrahman,
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengaku ada masalah politik identitas di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, ia menyebut kecenderungan politik identitas itu masih cukup kuat.
Penyebab hal itu terjadi lantaran syahwat politik yang begitu besar di lingkungan NU. Serta, dari eksploitasi politik identitas, khususnya agama, yang dilakukan para elite politik pada Pemilu 2019.
“Sampai Pemilu terakhir, yang kita lakukan 2019 lalu, kita melihat bahwa ada mobilisasi dukungan dengan menjadikan identitas NU ini sebagai senjata,” kata dia, dalam diskusi daring yang digelar Kementerian Dalam Negeri, Rabu (25/1).
Pria yang disapa Gus Yaqut itu menyadari bahwa politik identitas, bukan model dinamika politik yang baik, karena memunculkan sifat yang irasional. Jadi, konsolidasi berdasarkan politik identitas itu akan mengarah kepada konsolidasi yang bersifat kesukuan.
Akhirnya, hal tersebut menjadikan para partisipan politik tidak lagi berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi lebih kepada sentimen identitas yang irasional.
“Di sisi lain karena pertarungan identitas yang irasional menyebabkan dialog yang rasional atau dialog yang lebih damai juga cenderung terhambat,” ujar dia.
Untuk itu, ia juga mengungkapkan harapannya bahwa sistem penyelenggaraan pemilu secara serentak pada 2024 mendatang bisa menekan peluang eksploitasi politik identitas sebagaimana terjadi pada 2019.
“Eksperimen pemilu serentak dari pusat ke daerah, dari pilpres sampai pilkada, ini sebetulnya eksperimen yang menarik karena akan mengacak pada saat yang sama formasi koalisi di antara para pihak yang terlibat, sehingga akan menghambat juga katakanlah konsolidasi identitas karena grouping/pengelompokan pihak-pihak dalam koalisi itu teracak sedemikian rupa,” papar dia.