c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

NASIONAL

20 Januari 2022

12:25 WIB

Kasus Omicron Di Indonesia Didominasi Perjalanan Dari Arab Saudi

Kasus Omicron yang dilaporkan sampai hari ini berjumlah 882 kasus. Untuk kasus yang melibatkan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) didominasi asal negara Arab Saudi sebanyak 128 kasus

Editor: Faisal Rachman

Kasus Omicron Di Indonesia Didominasi Perjalanan Dari Arab Saudi
Kasus Omicron Di Indonesia Didominasi Perjalanan Dari Arab Saudi
illustrasi virus covid-19 varian omicron. dok.Shutterstock

JAKARTA – Kementerian Kesehatan RI melaporkan kasus konfirmasi Omicron di Indonesia mencapai total 882 kasus hingga Kamis (20/1) pagi. Kasus tersebut didominasi pasien dari kalangan pelaku perjalanan luar negeri asal Arab Saudi.

"Kasus Omicron yang dilaporkan sampai dengan hari ini berjumlah 882 kasus. Terdiri atas 710 pelaku perjalanan luar negeri, transmisi lokal 161 pasien dan belum diketahui 11 kasus," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Nadia mengatakan, 882 kasus Omicron di Indonesia merupakan akumulasi pasien yang didata Kemenkes, sejak kasus pertama terdeteksi di Jakarta pada 15 Desember 2021. Untuk kasus yang melibatkan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) didominasi asal negara keberangkatan Arab Saudi sebanyak 128 kasus.
 
"Setelah Arab Saudi adalah asal negara kedatangan dari Turki sebanyak 109 kasus, Amerika Serikat 81 kasus, Malaysia 66 kasus dan Uni Emirat Arab (EUA) 54 kasus," ucapnya.
 
Nadia mengatakan, hampir 80% pasien Omicron sudah mendapatkan suntikan dua dosis vaksin covid-19, sehingga tidak menunjukkan gejala berat.
 
"Tentunya menjadi kewaspadaan kita bahwa orang yang sudah divaksin saja masih bisa terkena Omicron, apalagi yang belum divaksin. Kami melihat orang yang sudah divaksin tertular Omicron gejalanya lebih ringan," tuturnya.

Ia melanjutkan, ada kecenderungan peningkatan kasus penularan covid-19 pada awal tahun 2022. Namun angka peningkatannya tidak signifikan.
 
"Namun kita tetap waspada, protokol kesehatan harus tetap kita jalankan sambil percepatan vaksinasi," serunya.
 
Sebelumnya, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, mayoritas kenaikan kasus Omicron di level dunia terjadi dalam kurun waktu yang sangat cepat dan singkat, berkisar antara 35 hingga 65 hari.
 
“Di Indonesia kami mengidentifikasi kasus pertama pada pertengahan Desember, tapi kasus mulai naiknya di awal Januari. Kami hitung antara 35-65 hari akan terjadi kenaikan yang cukup cepat dan tinggi. Itu yang memang harus dipersiapkan oleh masyarakat,” kata Menkes dalam keterangan pers yang digelar di Jakarta, Minggu (16/1).
 
Wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek diperkirakan menjadi daerah pertama yang akan mengalami lonjakan kasus. Mengingat dari hasil identifikasi Kemenkes, mayoritas transmisi lokal varian Omicron terjadi di DKI Jakarta.

Diperkirakan dalam waktu dekat juga akan meluas ke wilayah Bodetabek, mengingat, secara geografis daerah tersebut berdekatan dan mobilitas masyarakat sangat tinggi.
 
“Kami juga sampaikan bahwa lebih dari 90% transmisi lokal terjadi di DKI Jakarta, jadi kita harus siapkan khusus DKI Jakarta sebagai medan perang pertama menghadapi varian Omicron, dan kami harus sudah memastikan bisa menangani dengan baik,” ucapnya.

Akhir Januari
Selain itu, Budi mengemukakan, produksi alat S-Gene Target Failure (SGTF) atau tes PCR yang bisa mendeteksi virus dalam 4-6 jam sebagai indikasi awal covid-19 varian Omicron, rampung pada akhir Januari 2022.
 
"Sekarang sudah kami siapkan. Mudah-mudahan bisa selesai produksinya akhir bulan ini nanti itu kita sebar," kata Budi saat hadir di Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diikuti dari YouTube Komisi IX DPR RI di Jakarta, Selasa.
 
Budi mengatakan, alat SGTF merupakan solusi tes cepat terhadap indikasi Omicron di Indonesia. Selama ini, penggunaan alat genom sekuensing relatif mahal dan membutuhkan hasil yang lebih lama, yakni berkisar enam hingga tujuh hari.
 
"Genom sekuensing itu hanya ada di 12 laboratorium dan sekali tes satu reagennya Rp5 juta sampai Rp6 juta," ujarnya.
 
Budi mengatakan, laporan dari hasil genom sekuensing yang relatif lama disebabkan jumlah laboratorium khusus genom sekuensing di Indonesia hanya berjumlah 12 unit dengan jumlah alat tes 15 unit. Sementara penggunaan alat tes PCR membutuhkan biaya berkisar Rp300 ribu per sampel dengan jumlah laboratorium pemeriksaan mencapai 1.100 unit di Indonesia.

"Nah, sekarang pertanyaannya apakah kita mau gunakan genom sekuensing? Sebenarnya tidak perlu secara epidemiologis," katanya.
 
Ia mengatakan, metode genom sekuensing diperlukan untuk melihat pola penyebaran varian covid-19 dan melakukan upaya pencegahan secara dini.
 
"Genom sekuensing kita pakai di awal untuk melihat pola penyebaran, tapi kalau nanti semuanya sudah seperti Delta, ya sudah pakai tas PCR saja," cetusnya.
 
Menurutnya, metode deteksi covid-19 menggunakan tes antigen maupun PCR masih efektif untuk dilakukan. 

"Tapi masih lebih bagus PCR karena gold standard. Baik antigen maupun PCR terkonfirmasi masih bisa dan masih baik untuk mendeteksi virus covid-19 apapun variannya," ujar Budi.
 
Akan tetapi untuk memisahkan varian Alfa, Beta, Delta, Gamma, atau Omicron perlu dibedakan memakai alat genom sekuensing.
 
"Tapi tetap, karena sekarang kita pakai genom sekuensing berat, sudah ada variasi tes PCR yang namanya SGTF yang bisa mendeteksi mutasi tertentu yang unik seperti Omicron," tandasnya.

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER