c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

29 Juli 2025

18:57 WIB

Kasus Karhutla Berulang, Walhi: Penegakan Hukum Bermasalah

Pemerintah dinilai hanya berani menjerat atau menetapkan tersangka masyarakat biasa dan komunitas lokal yang membakar ladang saat menangani persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla)

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Kasus Karhutla Berulang, Walhi: Penegakan Hukum Bermasalah</p>
<p>Kasus Karhutla Berulang, Walhi: Penegakan Hukum Bermasalah</p>

Arsip foto - Foto udara saat petugas tenaga kebencanaan beristirahat di tengah penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan Danau Cermin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Minggu (27/7/2025). ANTARA/HO-BPBD Kalsel


JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi karena penegakan hukum yang bermasalah. Pasalnya, pemerintah tidak berani menindak korporasi perusak dan pembakar hutan.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian mengungkapkan, dalam tiga bulan terakhir ratusan titik api ditemukan dari kegiatan perusahaan penerima izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit dan Perizinan Perusahaan Pemanfaatan Hutan (PPPH).

“Per Juli saja, dari 1 Juli sampai 28 Juli, kami menemukan 373 hotspot dengan level tinggi itu berada di konsesi perkebunan HGU sawit dan izin PPPH milik korporasi,” jelasnya dalam diskusi daring Karhutla dan Impunitas, Selasa (29/7).

Walhi mengatakan, berdasarkan hasil elaborasi data-data dari Walhi di Sumatera dan Kalimantan, didapati titik-titik api berada di 231 konsesi perusahaan. Titik api ini terjadi di Sumatera Selatan, Jambi, Aceh, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.

“Artinya ada ratusan perusahaan yang sekarang di atas konsesinya itu ditemukan hotspot atau titik api. Ini menunjukkan bahwa lagi-lagi karhutla itu secara masif terjadi di atas wilayah-wilayah operasi perusahaan ini yang notabene beroperasi di dua kawasan penting, kawasan ekologis gambut dan kawasan hutan,” paparnya.

Uli menyayangkan evaluasi terhadap korporasi tidak dilakukan, apalagi pencabutan izin.

Sebetulnya, kata dia, ada beberapa putusan inkrah pengadilan yang menyatakan ada puluhan perusahaan terbukti melakukan karhutla di wilayah produksinya, namun sampai sekarang eksekusinya itu tidak bisa berjalan dengan maksimal.

Uli melanjutkan, perusahaan-perusahaan itu selalu melakukan kesalahan berulang. Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah merupakan letak lokasi yang perusahaan terkait.

“Berulang maksudnya mereka juga terbakar konsesinya di tahun-tahun sebelumnya, di 2015, 2016, 2019, bahkan sampai 2023 saat kami melakukan pelaporan terhadap 194 korporasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perusahaan-perusahaan itu juga di antaranya masih berulang, ditemukan hotspot di dalam konsesinya tahun ini, bulan ini,” tuturnya.

Karena hal ini, Uli menyebut, pemerintah seolah-olah tunduk pada kepentingan korporasi dengan terus-menerus memberikan impunitas kepada korporasi perusak dan pembakar hutan.

Pemerintah disebutnya hanya berani menjerat atau menetapkan tersangka masyarakat biasa dan komunitas lokal yang sebenarnya dalam konteks pengelolaan lahan mereka itu memang membakar ladang.

“Ketika mereka membuka ladang, memang mereka melakukan pembakaran. Tapi mereka punya cara sendiri, punya pengetahuan lokal, punya cara tradisional, punya syarat-syarat ketika mereka akan melakukan mekanisme atau metodologi pembakaran ini ketika mereka membuka lahan,” jelasnya.

Uli menilai pemerintah hanya berani menindak atau kemudian menyalahkan atau menggeneralisasi masyarakat biasa. Sedangkan aktor intelektual, yaitu korporasi yang terus menerus terbakar, konsesinya tidak pernah disentuh.

“Penyegelan itu hanya sekedar gimmick saja, tidak pernah diikuti dengan evaluasi dan pencabutan izin,” ujarnya.

Dari semua itu, Uli melihat karhutla merupakan masalah struktural. Ada struktur hukum yang tidak berjalan dengan baik. Pengimlementasian Undang-Undang Kehutanan tidak bisa menjalankan kebijakan-kebijakan yang cukup baik hari ini.

Belum lagi, menurutnya, tantangan lainnya adalah budaya hukum di Indonesia yang selalu memberikan impunitas hukum.

Oleh karena itu, Uli menegaskan, Revisi UU Kehutanan yang sedang berjalan saat ini harus dijadikan momentum untuk membuat UU Kehutanan yang lebih progresif.

“Mampu kemudian menjangkau modus-modus kejahatan di sektor kehutanan termasuk kemudian pembakaran atau karhutla, termasuk juga kemudian mampu melakukan atau menjamin penegakan hukum yang kuat di sektor hutan salah satunya juga ekosistem gambut menjadi bagiannya,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar