25 Oktober 2022
18:45 WIB
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Ombudsman RI menduga terjadi potensi maladministrasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kasus gagal ginjal akut pada anak yang disebabkan oleh obat sirup.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menjelaskan, potensi maladministrasi di Kemenkes terlihat karena Kemenkes tidak memiliki data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemiologi. Hal ini kemudian berakibat pada kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus-kasus gagal ginjal.
Jadi, Kemenkes sesungguhnya hingga Agustus kemarin masih belum mengerti tentang masalah yang ada, masih belum punya data dan baru kemudian sadar bahwa ini ada kejadian yang darurat ketika kemudian Ikatan Dokter Anak Indonesia itu menyuplai data yang ada. Atas dasar itulah kemudian baru di-tracking ke belakang sejak kapan kasus ini mulai terjadi,” jelasnya, dalam konferensi pers, Selasa (25/10).
Dengan cara itu, data yang didapat Kemenkes, menurutnya, belum tentu akurat. Maka dari itu, soal data pokok ini menjadi isu pertama yang merupakan bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh Kemenkes.
Potensi maladministrasi Kemenkes yang kedua adalah karena Kemenkes tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gagal ginjal akut pada anak. Maka, dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus gagal ginjal akut pada anak.
Lalu, yang ketiga, potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes adalah ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya standar pelayanan, termasuk pelayanan pada pemeriksaan di laboratorium.
Kelalaian Pengawasan
Sementara di BPOM, Ombudsman melihat kelalaian yang terjadi terlihat pada pengawasan baik pada saat pre market atau proses sebelum obat didistribusikan dan post market control atau berterkaitan dengan pengawasan setelah produk itu beredar.
Pada pre market, bentuk maladministrasi yang dilakukan BPOM adalah tidak maksimalnya BPOM melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi dengan mekanisme uji mandiri.
“Seolah-olah kepada perusahaan itu diberikan kewenangan negara untuk melakukan pengujian tanpa kontrol yang kuat dari BPOM. Yang kami temukan mekanismenya itu justru adalah uji mandiri dilakukan oleh perusahaan farmasi dan baru kemudian mereka melaporkan kepada BPOM,” papar Robert.
Robert menyebut BPOM terkesan pasif, hanya menunggu munculnya laporan yang disampaikan. Padahal, seharusnya kontrol harus dilakukan secara aktif.
Maladministrasi BPOM selanjutnya adalah ada kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan dimana terjadi pelampauan ambang batas atas kandungan senyawa yang ada dalam produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Standarisasinya tidak terjaga dengan baik oleh para produsen atau oleh perusahaan farmasi
“BPOM tampaknya juga tidak melakukan kontrol yang ketat, yang efektif atas pelampauan atau yang melebihi standar atau ambang batas kandungan senyawa berbahaya,” ungkap Robert.
Bentuk maladministrasi selanjutnya adalah tidak maksimalnya verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar ini pada pre market.
Sementara pada post market control, BPOM melihat bahwa pemberian izin pasca edar obat atau produk yang ada, belum maksimal. Kemudian hal ini juga tidak diikuti dengan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar maupun terhadap konsistensi mutu kandungan produk.