20 Mei 2025
12:47 WIB
Guru Besar Unpad Kritik Kebijakan Kemenkes Cetak Dokter Spesialis
Kebijakan Kemenkes cetak dokter spesialis dinilai mencederai tata kelola sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan nasional.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Para Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad, menyampaikan maklumat yang bertajuk Maklumat Padjajaran di Unpad, Senin (19/5/2025). ANTARA/Ricky Prayoga.
BANDUNG - Para guru besar dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) kritik terhadap kebijakan pemerintah mencetak dokter spesialis, seperti Program Pemerintah Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dengan pola residensi di Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU) atau hospitalty based.
Kritik itu termuat dalam “Maklumat Padjajaran” yang dibacakan pada hari ini, Senin (19/5) di Unpad Bandung seperti dikutip dari Antara.
Maklumat bertujuan menyelamatkan martabat pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan nasional. Serta untuk mengevaluasi kebijakan Kemenkes di RS Pendidikan Universitas Padjajaran/RSHS Bandung.
Menurut Guru Besar FK-Unpad, Endang Sutedja, arah kebijakan Kemenkes yang sudah diwacanakan dan ditempuh saat ini, dinilai bukan cuma mencederai tata kelola sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan nasional. Kebijakan itu juga berpotensi meruntuhkan pilar-pilar etik, profesionalisme, dan otonomi keilmuan yang selama ini menjadi dasar keberlangsungan sistem kesehatan yang bermartabat dan berkeadilan.
Dia menyampaikan, pendidikan kedokteran bukan hanya proses teknis mencetak tenaga kerja, tetapi tindakan merawat kehidupan. Setiap lulusan bukan hanya membawa kompetensi, tetapi juga nurani, tanggung jawab, dan kepercayaan publik.
Guru Besar FK Unpad itu menegaskan, ketika pemerintah secara sepihak melemahkan kolegium, mengintervensi universitas, dan memindahkan proses pendidikan dari ruang akademik ke birokrasi, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap etika secara umum dan etika kedokteran.
"Kita menyaksikan apa yang disebut Max Weber sebagai Entzauberung–hilangnya kesakralan ilmu dan pengabdian akibat rasionalitas instrumentalis," sambung dia di Bandung, Selasa (20/5) dikutip dari Antara.
Lebih jauh, dia menjelaskan, ketika pemerintah mengubah rumah sakit pendidikan menjadi pusat produksi dan deregulasi kompetensi, tanpa ruang akademik, maka profesi medis tidak lagi menjadi pilar peradaban, melainkan alat sistem kekuasaan dan pasar. "Ini bukan hanya krisis kebijakan, melainkan krisis nilai," papar Endang.
Kolega Endang, sesama guru besar FK Unpad lainnya, Johanes Cornelius Mose menyampaikan para guru besar itu menilai, Kemenkes telah bertindak melebihi kewenangan sebagai pejabat negara yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Baca juga: Pendidikan Dokter Spesialis di Rumah Sakit Untuk Hal Ini
Pasca penerbitan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Perubahan UU Kesehatan, lanjut dia, Kemenkes secara ekspansif mengambil alih fungsi desain dan pengelolaan pendidikan tenaga medis, termasuk pembentukan kolegium tanpa partisipasi organisasi profesi dan universitas.
Kemenkes juga melakukan penyederhanaan jalur kompetensi profesi medis yang sulit dan berbahaya melalui pelatihan teknis singkat, serta penerapan kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit (RSPPU) secara unilateral, tanpa kerangka pendidikan tinggi.
"Kebijakan pelaksanaan RSPPU yang cenderung sepihak dan mengabaikan ketentuan perundang-undangan menghapus peran universitas sebagai institusi akademik yang sah, melanggar prinsip otonomi ilmiah dan tridarma perguruan tinggi, serta berpotensi merusak mutu pendidikan spesialis dan sistem jaminan mutu pendidikan nasional," lanjut Johanes.
Tindakan tersebut, lanjut dia, telah mengabaikan fungsi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti) sebagai pemegang otoritas dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Karena pendidikan profesi medis bukan domain administratif kementerian teknis, melainkan bagian dari sistem akademik nasional.
"Saat rumah sakit vertikal menjadi pusat pendidikan tanpa integrasi akademik, fungsi keilmuan, evaluasi akademik, dan pertanggungjawaban publik terhadap mutu lulusan menjadi lenyap," lanjut dia.
Johanes Mose menekankan, harusnya ada komunikasi yang baik antara unsur-unsur yang membentuk sistem pendidikan kesehatan, dalam hal ini kedokteran.
"Unsur itu adalah Kemenkes, Kemendikti, serta kolegium. Seperti tiga dudukan di atas tungku, jika satu hilang maka bejana di atasnya akan tumpah," ucap Johanes.