c

Selamat

Kamis, 2 Mei 2024

NASIONAL

24 Juli 2021

11:57 WIB

Epidemolog: Abaikan 3T, Kasus Kematian Tinggi

Kasus kematian konsekuensi logis kegagalan deteksi

Penulis: Wandha Nur Hidayat

Editor: Leo Wisnu Susapto

Epidemolog: Abaikan 3T, Kasus Kematian Tinggi
Epidemolog: Abaikan 3T, Kasus Kematian Tinggi
Foto udara makam korban covid-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

JAKARTA - Angka kematian akibat covid-19 di Indonesia mencapai seribu kasus dalam beberapa hari belakangan, bahkan kemarin, Jumat (23/7) rekor baru 1.566 kasus. Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyebut hal ini konsekuensi dari pengabaian upaya 3T.

"Ini dampak serius dari pengabaian terhadap 3T, dampak serius dari tidak diperhatikannya aspek testing, tracing, yang dilanjut isolasi karantina dan rawatan. Ini yang menyebabkan kematian," ujar Dicky kepada Validnews, Sabtu (24/7).

Dia menjelaskan tingginya kasus kematian covid-19 terjadi karena memang kasus konfirmasi positifnya pun tinggi. Jadi kasus kematian merupakan konsekuensi logis dari wabah yang gagal dideteksi sejak di hulunya, baik dengan testing maupun tracing.

Pemerintah dinilai tidak bisa menemukan lebih dulu kasus infeksi ketika jumlah orang yang dilacak dan diperiksa rendah. Akhirnya mereka yang telah terinfeksi tidak dapat dicegah supaya kondisinya tidak menjadi parah dengan penanganan atau rujukan yang tepat.

"Kematian itu indikator keparahan pandemi. Kalau ada kematian, jangankan lebih dari seribu, bahkan kematian satu saja itu sudah menjadi indikator, apalagi banyak," ungkap dia.

Dicky menegaskan kunci utama menekan jumlah kematian adalah tidak boleh terlambat mendeteksi kasus. Saat ditemukan seseorang positif covid-19, maka kasus kontak eratnya langsung dicari karena bisa jadi ada kontak  erat yang memiliki komorbid atau lansia.

Jadi mereka yang memiliki risiko kematian lebih besar berdasarkan analisis risiko awal bisa langsung dirujuk untuk tidak melakukan isolasi mandiri. Melainkan, misalnya, diisolasi terpusat di tingkat kecamatan atau kelurahan, atau mungkin dirawat di rumah sakit.

Menurut dia, angka kematian kasus covid-19 yang isolasi mandiri (isoman) pun tidak bisa diabaikan. Tingginya kasus kematian saat isoman bukan hanya disebabkan kurangnya deteksi dini yang memadai, tetapi juga visitasi atau pemantauan terhadap kasus itu.

"Akhirnya kita tidak bisa melakukan penilaian risiko awal ketika bahwa yang ini bisa isoman, yang ini tidak bisa harus dalam pemantauan. Nah itu gagal dilakukan, sehingga terjadinya kematian-kematian," urai dia.

Oleh karena itu, lanjut dia, para epidemiolog selalu menyerukan pentingnya meningkatkan jumlah testing dan testing secara ekstrem, lalu dilanjutkan dengan treatment yang tepat. Biaya untuk testing atau pemeriksaan pun seharusnya sepenuhnya ditanggung negara.

"Itu kuncinya ada di 3T, juga perlu ada visitasi dengan cara mendatangi rumah-rumah ini dengan melibatkan kader atau civil society, sehingga bisa dideteksi lebih awal, mana yang layak menjalani isoman, mana yang tidak," ucap Dicky.

Dia berpendapat pemerintah pusat harus memberi contoh kepada daerah untuk mendorong kemauan mereka menggenjot testing dan tracing. Perlu ditanamkan paradigma bahwa penemuan kasus covid-19 adalah prestasi dan kewajiban mereka.

Ditegaskan bahwa testing adalah upaya untuk mulai menentukan timbulnya pandemi, testing juga menentukan performa suatu manajemen pengendalian pandemi, dan testing yang menentukan akhir pandemi. Mengabaikan testing akan berakibat fatal seperti saat in.

"Karena bagaimana kita mau berperang melawan musuh, tetapi musuhnya tidak ditemukan. Bagaimana mau menang kalau musuhnya senyap dan di bawah permukaan, ya kita kalah. Itu yang harus dipahami. Konteksnya itu seperti itu," tutur Dicky. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar