19 Agustus 2025
10:59 WIB
Dosen Unsoed Gugat Aturan Pendidikan Dokter
Pendidikan dokter dalam UU Kesehatan dinilai memberi ketidakpastian dan diminta kembali ke mekanisme yang ada dan peraturannya belum dicabut.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi Dokter Spesialis Penyakit Liver. Envato/nansanh.
PURWOKERTO - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Mukhlis Rudi Prihatno mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang (UU) Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kepastian hukum dan masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia.
"Undang-Undang Kesehatan ini sebenarnya bukan undang-undang yang buruk. Tapi untuk khusus pendidikan itu memang berbeda," demikian alasan akademis yang biasa disapa Rudi itu dikutip dari Antara di Purwokerto, Senin (18/8) malam.
Ia mengatakan di Indonesia ada tiga undang-undang yang mengatur pendidikan, yaitu Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta Undang-Undang Pendidikan Tinggi.
Bahkan, sebelumnya, kata dia, ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang sekarang dicabut dan digantikan Undang-Undang Kesehatan, sehingga muncul permasalahan.
Baca juga: Guru Besar Unpad Kritik Kebijakan Kemenkes Cetak Dokter Spesialis
Menurut dia, sejumlah aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa maupun para guru besar dari berbagai perguruan tinggi beberapa waktu lalu merupakan salah satu dampak dari tiadanya Undang-Undang Pendidikan Kedokteran.
Menurut dia, sudah 50 tahun pendidikan kedokteran berjalan dan lancar. Apalagi, ada Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, namun kemudian dicabut. Sudah bagus juga pendidikan dokter di bawah ke Kementerian Pendidikan Tinggi.
Namun, dengan adanya Undang-Undang Kesehatan, saat ini ada hal yang baru, yaitu masalah hospital-based (berbasis rumah sakit) dan university-based (berbasis perguruan tinggi), terutama untuk pendidikan spesialis.
Jadi, menurut Rudi, hal itu harus diluruskan dengan mengembalikan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Yakni, mengembalikan pendidikan kedokteran kepada kementerian yang membidangi pendidikan, sehingga tidak di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Ia mengatakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang berhak memberikan gelar akademik adalah perguruan tinggi. Namun, dengan adanya skema hospital-based dalam pendidikan dokter spesialis, muncul pertanyaan apakah rumah sakit memiliki kewenangan tersebut.
Menurut Rudi, rumah sakit sebagai entitas pelayanan kesehatan juga belum tentu mampu memenuhi kewajiban Tridharma Perguruan Tinggi, termasuk pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, aspek penjaminan mutu dan kurikulum seharusnya tetap menjadi domain perguruan tinggi.
Rudi mengatakan penerapan sistem hospital-based juga berpotensi menimbulkan masalah kuota pendidikan. Karena, rumah sakit kerap berbagi dengan beberapa universitas.
Dia mencontohkan kondisi di Jakarta dan Bandung, saat rumah sakit yang sama digunakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran. Tapi, kuota mahasiswa justru berkurang dari universitas dan dialihkan ke hospital-based.
“Jika tujuannya menambah tenaga dokter spesialis, semestinya jumlahnya bertambah, bukan bergeser," urai Rudi.
Ia juga menyoroti lemahnya landasan hukum penyelenggaraan pendidikan dokter dalam UU Kesehatan karena tidak merujuk pada Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang mengatur satu sistem pendidikan nasional.
Sementara itu, anggota tim kuasa hukum pemohon, Azam Prasojo Kadar mengatakan permohonan uji materi terkait Pasal 187 ayat 4 dan Pasal 209 ayat 2 UU Kesehatan ke MK pada 13 Agustus 2025.
"Harapan kami agar konflik dualisme antara pendidikan berbasis universitas dan berbasis rumah sakit dapat diselesaikan," papar dia.
Oleh karena itu, kata dia, penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis dan subspesialis seharusnya tetap berada di bawah ranah pendidikan tinggi, bukan rumah sakit.
Menurut dia, payung hukum rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama cacat hukum dan tidak sesuai dengan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945.
Ia menilai dualisme penyelenggaraan pendidikan kedokteran berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sekaligus ketidakpastian hukum jika tidak segera dikembalikan ke sistem pendidikan tinggi.
"Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengembalikan marwah pendidikan kedokteran pada jalur yang benar, yaitu berada di bawah Kementerian Pendidikan," kata Azam.