c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

10 Agustus 2023

19:54 WIB

Dilema Hilangnya Status Warga Negara

Status stateless membuat hak seseorang terpangkas. UNHCR menargetkan masalah ini tuntas 2024.

Penulis: Gisesya Ranggawari, Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

Dilema Hilangnya Status Warga Negara
Dilema Hilangnya Status Warga Negara
Ilustrasi WNI nikah di luar negeri. Sepasang Warga Negara Indonesia berfoto usai menjalani sidang isbat nikah di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (27/7/2023). Antara Foto/Virna Puspa Setyorini.

JAKARTA - Ibu muda itu sudah dua tahun menetap di Jakarta. Yenni Agustine (35) namanya. Saban hari, dirinya merasa gundah. Yang diresahkannya bukan persoalan sepele. 

Ya, dia menetap di Ibu Kota Jakarta tanpa memiliki status warga negara alias stateless. Meski dia tercatat dalam Kartu Keluarga (KK) di salah satu keluarga di Pontianak, Kalimantan Barat belasan tahun lalu, bukan berarti dia otomatis menjadi warga negara Indonesia .

Aturan yang ada mensyaratkan dia harus menetap di Indonesia selama lima tahun tanpa putus, untuk mendapatkan kembali status Warga Negara Indonesia (WNI).

Sebelumnya, 15 tahun lalu, Yenni tinggal di Taiwan. Dia menjadi warga negara tersebut, karena menikah dengan pria asal negara itu. 

Hukum negara itu mengharuskan perempuan WNA yang menikah dengan warga Taiwan, otomatis menjadi warga negara setempat. Tapi, jika bercerai, otomatis juga individu itu kehilangan warga negara Taiwan. 

Malang tak bisa diprediksi. Yenny bercerai. Akibatnya, dia menyandang dua status sekaligus. Sebagai janda dan orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. 

Di tanah air, Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, menyatakan status WNI ibu satu anak ini tak bisa langsung balik begitu saja. Hukum di Indonesia tak mengenal kewarganegaraan ganda.

Untuk meraih kewarganegaraannya kembali, dia harus mengajukan permohonan menjadi warga negara di negara kelahirannya sendiri. Permohonan diajukan ke Ditjen Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen AHU Kemenkumham). 

Dia akan menjalani proses naturalisasi, dari warga negara asing menjadi WNI.

Yenni mengikuti proses ini. Dia bersabar. Dia mengaku, proses naturalisasi yang dia jalani tak terlalu ribet. Meski, ia tak lepas dari rasa kecewa. Semestinya, ada pengecualian bagi eks-WNI untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. 

“Inginnya lebih mudah ya, tidak harus menunggu lima tahun karena kita kan keturunan asli Indonesia,” ungkap Yenni. 

Pekerja Migran
Kasus Yenni yang menjadi tak punya kewarganegaraan tak jauh beda keadaannya dengan WNI hasil temuan Komnas HAM.

Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah memaparkan, ratusan ribu WNI di luar negeri terancam stateless. Kebanyakan disebabkan menjadi pekerja migran ilegal di Malaysia dalam jangka waktu lama dan telah memiliki keturunan.

Anis mengungkapkan, setidaknya ada 325.477 orang asal Indonesia berpotensi tidak memiliki kewarganegaraan atau stateless di Malaysia. Sebanyak 151.979 orang WNI di Kinabalu dan 173.498 orang di Tawau.

“Pekerja migran sudah puluhan tahun tanpa identitas. Banyak anak-anak sejak lahir stateless karena kondisi orang tua tidak tercatat di Malaysia dan tidak ada di Indonesia,” kata Anis, Rabu (9/8).

Anis memaparkan implikasi menjadi stateless. Hak-hak mereka terancam hilang. Seperti, tidak ada dalam data administrasi kependudukan. Berdampak pada layanan dan hak, seperti hak pendidikan, kesehatan, hingga ketenagakerjaan sulit terpenuhi.

“Tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan hak itu,” kata Anis. 

Anis minta, pemerintah lebih memperhatikan pekerja migran ilegal yang sudah berpuluh-puluh tahun di luar negeri. Mereka sudah menjadi stateless bersama dengan keturunan mereka. Jika dibiarkan, mereka rentan terhadap kekerasan dan tidak bisa menerima pelindungan dari pemerintah.

Mengutip Konvensi PBB 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan, definisi stateless adalah seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara mana pun berdasarkan pelaksanaan hukumnya. 

Menurut UNHCR, secara sederhana, definisi ini berarti bahwa orang tanpa kewarganegaraan tidak memiliki kewarganegaraan dari negara mana pun. Beberapa orang terlahir tanpa kewarganegaraan, tetapi yang lain menjadi tanpa kewarganegaraan.

Keadaan tanpa kewarganegaraan dapat terjadi karena beberapa alasan. Misalnya, diskriminasi terhadap kelompok etnis atau agama tertentu atau berdasarkan jenis kelamin. Lalu, munculnya negara-negara baru dan pengalihan wilayah antara negara-negara yang ada. Bisa juga, disebabkan kesenjangan dalam hukum kewarganegaraan. 

Apa pun penyebabnya, keadaan tanpa kewarganegaraan memiliki akibat yang serius bagi orang-orang di hampir setiap negara dan di semua wilayah di dunia. Karena itu, UNHCR menargetkan 2024, masalah stateless tuntas.

Sikap Pemerintah
Direktur Perlindungan dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemenlu Judha Nugraha mengamini, banyak individu punya masalah ini. Dia menyerukan agar  pemerintah menggunakan asas pelindungan maksimal terhadap WNI. 

Dengan kata lain, pemerintah tidak akan membuat seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya atau stateless

“Pemerintah mencabut kewarganegaraan seseorang setelah memastikan yang bersangkutan telah menerima kewarganegaraan lain,” ungkap Judha, Senin (7/8).

Menurut dia, dalam berbagai kasus, bahkan ramai di media, tidak semua termasuk dalam kasus stateless. Kebanyakan kasus hanya masalah WNI di luar negeri yang tidak terdokumentasi.

Sebagai contoh, WNI yang menjadi pekerja migran ilegal di Malaysia, lalu menikah dan memiliki anak. Anak mereka tidak bisa dikatakan stateless, meskipun kelahirannya tidak tercatat. Mereka hanya bisa disebut tidak berdokumen. 

Judha menegaskan, meski tanpa berdokumen, mereka tetap WNI dan wajib mendapatkan pelindungan dari negara. Mereka juga memiliki hak sebagai warga negara, mulai dari hak kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. 

“Pemerintah sedang upayakan agar mereka bisa pulang ke Indonesia, serta ada dokumen untuk anak mereka dengan tetap memeriksa latar belakang mereka,” kata dia. 

Meski demikian, pemerintah tetap tidak bisa mencegah seseorang menjadi warga negara lain. Tetapi, pemerintah selalu terbuka untuk eks-WNI yang ingin kembali memegang kewarganegaraan Indonesia.  Termasuk, lanjut dia, bagi para eksil 1965 dan keturunan yang sulit untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan. 

Pemerintah telah mengakomodasi penyelesaian status mereka berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Salah satunya dilakukan dengan memberikan opsi pemulihan hak bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk korban 1965. 

Para korban tersebut merupakan mahasiswa WNI yang berada di luar negeri saat peristiwa 1965 terjadi. Mereka tidak bisa pulang lantaran dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Nantinya, para eksil akan diberikan tiga opsi soal kewarganegaraan. Ketiga opsi tersebut di antaranya, tetap menjadi warga negara asing; ingin kembali menjadi warga negara Indonesia; atau diberikan kemudahan untuk berkunjung ke Indonesia, utamanya untuk korban pelanggaran HAM masa lalu. 

“Tentu kami beri mereka berbagai pilihan yang membuat mereka merasa lebih baik dan tidak memberatkan mereka,” kata Judha. 

Kehilangan Status WNI
Direktur Jenderal Administrasi Hak Umum (AHU) Kemenkumham, Cahyo Raharidan Muzhar menguraikan, kasus yang dialami Yenni hanya 1 dari ribuan yang kehilangan status WNI karena perkawinan. 

Pasal 26 Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, tertulis WNI akan kehilangan kewarganegaraannya jika menikah dengan WNA yang mengharuskan WNI berstatus warga negara pasangannya. 

“Ada banyak karena perkawinan campuran dengan WNA dan tak bisa dicegah karena kewarganegaraan adalah hak tiap orang,” kata Cahyo, Selasa (8/8).

Cahyo mengatakan, selain perkawinan, dalam UU Nomor 12 tahun 2006 juga disebutkan sembilan hal lain yang dapat membuat seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya. 

Misalnya, memiliki paspor negara asing; domisili lebih dari lima tahun berturut-turut tanpa alasan sah; bekerja di instansi pemerintah setempat; menjadi pemilih aktif dalam pemilu di negara setempat; atau WNI yang secara sukarela mengangkat sumpah setia kepada negara tertentu.

“Termasuk dalam kasus imigran ilegal yang sudah lebih dari lima tahun mereka di negara perantauan bisa saja kehilangan kewarganegaraannya jika mereka tidak kembali dan tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI,” kata Cahyo. 

Untuk eks-WNI yang ingin kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, bisa mengikuti prosedur naturalisasi. Mereka harus mengajukan permohonan tertulis kepada menteri yang sedikit berbeda dengan proses yang dijalani oleh WNA pada umumnya. 

Untuk pengajuan permohonan kewarganegaraan, harus memenuhi syarat, yakni tinggal di Indonesia lima tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut; bisa berbahasa Indonesia; mengakui Pancasila dan UUD 1945; dan tidak memiliki kewarganegaraan ganda.

Cahyo menambahkan, ia tengah mengupayakan agar syarat tersebut dikecualikan. Terutama, pemberian kembali status kewarganegaraan Indonesia kepada eks-WNI yang kehilangan kewarganegaraan karena bergabung dengan kelompok militer asing atau organisasi internasional yang dilarang. 

Secara rinci, aturan ini belum tegas diatur dalam UU Kewarganegaraan. Jika tidak segera diatur, dikhawatirkan akan menimbulkan polemik dalam masyarakat. Terlebih, hal-hal yang berkaitan dengan keamanan nasional.

“Ini perlu jadi perhatian bersama, apalagi ada kondisi khusus yang berkaitan dengan keamanan nasional dan perlindungan terhadap masyarakat,” kata Cahyo. 

Dalam kesempatan berbeda, Direktur Tata Negara Ditjen AHU Kemenkumham, Baroto mengungkapkan, permohonan kehilangan kewarganegaraan ke Ditjen AHU Kemenkumham terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, sejak 2017 hingga 2022, pihaknya sudah mengeluarkan 4.699 permohonan kehilangan kewarganegaraan. 

“Jumlah WNI yang mengajukan permohonan memang terus naik tiap tahunnya, dengan berbagai alasan yang pastinya, mulai dari alasan pernikahan, karier, komunikasi, pendidikan, sampai keinginan bebas visa tertentu,” kata Baroto, Selasa (8/8).

Baroto mengatakan, dalam UU Kewarganegaraan, seseorang juga bisa mengajukan permohonan kehilangan atau melepaskan kewarganegaraan. Jika tidak melepas status kewarganegaraan kepada pemerintah, mereka tetap terdata sebagai WNI. 

“Jadi selama mereka tidak mengajukan permohonan, di luar sembilan hal tadi ya, maka kewarganegaraan Indonesia itu akan tetap melekat pada diri mereka,” kata Baroto.

Baroto mengamini,  pilihan kewarganegaraan adalah hak tiap-tiap individu yang tidak bisa di intervensi oleh negara. Namun, tetap ia mendorong agar masyarakat tidak melakukan perpindahan kewarganegaraan secara legal dan sesuai aturan yang berlaku. Sebab, jika dilakukan secara ilegal, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.  

Dia menekankan, pemerintah mempermudah proses permohonan mereka yang kehilangan kewarganegaraan.  

“Yang pasti kita harus meminimalisir WNI kita menjadi stateless saat ingin pindah ke luar negeri. Jadi memang kami terus sosialisasikan pengurusan permohonan secara legal dan mempermudah mereka, karena itu juga termasuk hak mereka,” kata Baroto.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar