25 September 2025
19:12 WIB
Dagang Gading Gajah, Mat Ali Dituntut Penjara Setahun
Terdakwa Mat Ali masuk daftar pencarian orang dan akhirnya ditangkap kepolisian pada April 2025
Editor: Rikando Somba
Personel Kepolisian Polres Aceh Tamiang menata gading gajah saat rilis di Mapolres Aceh Tamiang, Aceh. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas.
BANDA ACEH- Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Gayo Lues, Provinsi Aceh, menuntut terdakwa perdagangan gading gajah dengan hukuman satu tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Iqbal mengemukakannya persidangan dengan majelis hakim diketuai Dicky Chandra Wahyudi Susanto di Pengadilan Negeri Blangkejeren di Gayo Lues, Kamis (25/9). JPU menyatakan, Mat Ali terlibat penjualan gading dengan berat 29,4 kilogram pada Juni 2024.
Selain pidana penjara, JPU Muhammad Iqbal juga menuntut terdakwa membayar denda Rp30 juta dengan subsidair atau hukuman pengganti jika tidak membayar selama tiga bulan kurungan.
”Gading tersebut dijual dengan harga Rp20 juta per kilogram. Terdakwa sempat melarikan diri saat transaksi gading di kawasan Pining, Kabupaten Gayo Lues,” kata JPU Muhammad Iqbal.
Terdakwa Mat Ali, warga Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh hadir ke persidangan tanpa didampingi penasihat hukum.
Berdasarkan fakta di persidangan, JPU menyatakan terdakwa Mat Ali terbukti bersalah melakukan tindak pidana perdagangan gading gajah yang merupakan bagian tubuh satwa dilindungi . Dia didakwa bersalah melanggar Pasal 40 Ayat (2) jo Pasal 21 Ayat (2) huruf b dan d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistem jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
"Terdakwa Mat Ali masuk daftar pencarian orang dan akhirnya ditangkap kepolisian pada April 2025," kata JPU Muhammad Iqbal.
Majelis hakim melanjutkan persidangan pada pekan depan dengan agenda mendengarkan pembelaan terdakwa.

Puluhan Burung Untai
Sementara, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) di kesempatan berbeda berhasil membongkar perdagangan 48 ekor burung junai emas (Caloenas nicobarica) yang dilindungi dan mengamankan pelaku perdagangan tanpa dokumen di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel).
"Kegiatan ini merupakan bentuk kerja sama antar lembaga penegak hukum dan dukungan masyarakat sebagai pengawas secara sukarela yang peduli terhadap kelestarian satwa-satwa dilindungi yang dimiliki oleh negara Indonesia," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut Dwi Januanto Nugroho di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan operasi yang dilakukan di Kabupaten Gowa itu dilakukan Balai Penegakan Hukum Kehutanan Wilayah Sulawesi bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Polda Sulsel setelah rangkaian penyelidikan atas laporan masyarakat dan temuan postingan penawaran satwa di akun bisnis daring milik pelaku L.
Baca juga: Farwiza Farhan: Dari Hutan Aceh Ke Panggung Dunia
Jual Tubuh Satwa Dilindungi, Dua Warga Aceh Diganjar 6 Tahun Penjara
Hasil pemeriksaan awal, L mengaku mendapatkan anakan burung dari rekan komunitas "Burung Langka" untuk dipelihara sampai dewasa sebelum dijual kembali melalui media sosial. Dalam satu tahun terakhir, pelaku mengakui telah menjual delapan ekor satwa dilindungi.
Dari alat bukti ponsel milik pelaku yang diperoleh, penyidik menemukan unggahan penawaran satwa di akun media sosial milik pelaku. Keterangan saksi ahli dari BBKSDA Sulsel mengonfirmasi status burung tersebut termasuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).
Dalam pernyataan serupa, Kepala Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sulawesi Kemenhut Ali Bahri menyampaikan telah mengamankan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi berinisial L dan menyita 48 ekor burung junai emas sebagai barang bukti. Kini, L sudah ditetapkan menjadi tersangka dan diancam dengan hukum pidana paling lama 15 tahun serta denda maksimal Rp5 miliar.
Saat ini, tersangka ditahan di Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda Sulsel untuk proses penyidikan lebih lanjut. Seluruh satwa yang diamankan dititiprawatkan ke BBKSDA Sulsel untuk penanganan medis, perawatan, dan upaya rehabilitasi sesuai standar konservasi.