Kesehatan mental mahasiswa menjadi tanggung jawab bersama seluruh ekosistem kampus
Ilustrasi mahasiswa. Shutterstock/Urbanscape
JAKARTA - Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Yulina Eva Riany menegaskan, kampus harus menjadi ruang yang aman untuk mencegah terjadinya bullying pada mahasiswa. Pernyataan ini merespons kasus seorang mahasiswa yang diduga bunuh diri karena mengalami perundungan.
"Kampus harus menjadi ruang aman dan empatik, bukan hanya tempat belajar,” terang Yulina melalui keterangan di laman resmi IPB University, Jumat (24/10).
Dia menjelaskan, ada empat pilar penting yang perlu dibangun untuk menciptakan kampus aman. Pertama, perguruan tinggi harus memiliki kebijakan anti-bullying yang tegas. Ini termasuk memiliki mekanisme pelaporan bullying yang aman dan anonim.
Kedua, kampus perlu meningkatkan kapasitas layanan konseling kesehatan mental. Misalnya, dengan memperluas layanan ke format daring dan menghubungkannya dengan rumah sakit atau klinik psikologi.
Ketiga, perlu ada pencegahan berbasis komunitas. Misalnya, dengan melatih dosen dan mahasiswa untuk menjadi gatekeeper bagi mahasiswa yang rentan.
Keempat, perlu ada penguatan peran organisasi mahasiswa. Contohnya, organisasi mahasiswa menanamkan nilai empati pada mahasiswa baru melalui program orientasi, kegiatan gotong royong, mentoring, dan ruang aman untuk berbagi cerita.
“Budaya empati tidak bisa tumbuh instan. Ia lahir dari keteladanan pimpinan, konsistensi sistem, dan ruang sosial yang manusiawi,” tambah Yulina.
Dia juga menjelaskan, kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh tekanan sosial, psikologis, dan struktural yang saling berkaitan. Berbagai tekanan itu bisa berkembang menjadi depresi atau keputusasaan jika tak ada dukungan sosial yang memadai.
Selain itu, banyak mahasiswa menghadapi masa pencarian jati diri dan kemandirian yang sering berbenturan dengan harapan keluarga atau realita hidup. Kondisi ini bisa semakin buruk jika mahasiswa mengalami kesepian, perundungan, dan tekanan sosial.
Di tengah kondisi itu, Yulina menilai masih ada mahasiswa yang enggan mengakses layanan kesehatan mental karena takut mendapatkan stigma atau privasinya bocor.
Oleh karena itu, kampus juga harus mendorong mahasiswa untuk berani mencari bantuan dan menghapus stigma bahwa meminta pertolongan adalah kelemahan.
"Kesehatan mental mahasiswa adalah bagian dari tanggung jawab bersama seluruh ekosistem kampus," tutup Yulina.