07 Juni 2022
18:48 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA- Beragam jenis zat psikoaktif baru kini beredar di Tanah Air. Zat yang sejatinya adalah masuk dalam psikotropika ini disebut new psychoactive substances (NPS) sayangnya banyak yang belum terang diatur dalam perundangan. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Petrus Reinhard Golose mendorong pengaturan zat psikoaktif baru atau NPS ini serta penguatan tim asesmen terpadu dalam revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Kami perlu mendorong pengaturan NPS dalam undang-undang, mengingat banyaknya jenis NPS yang telah teridentifikasi beredar di Indonesia," kata Golose dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (7/6). Ini disampaikan juga saat menerima kunjungan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, Senin (6/6).
Edward berkunjung ke BNN, juga untuk membahas revisi UU Narkotika yang sebelumnya telah dibahas Menkumham Yasonna Laoly bersama Komisi III DPR RI pada 31 Maret lalu.
Golose, yang didampingi oleh Direktur Hukum BNN Susanto dalam pertemuan tersebut, menyampaikan beberapa isu yang perlu diangkat dalam pembahasan revisi UU Narkotika. Selain soal masuknya NPS dalam perundangan revisi ini, BNN juga menyerukan perlunya penguatan tim asesmen terpadu. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Yasonna Laoly dalam pertemuannya bersama Komisi III DPR.
Dikutip dari laman resmi Kemenkumham, Yasonna mengatakan pentingnya meningkatkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, mengingat tren perkembangan penyalahgunaan masih sangat tinggi.
Di pertemuan, Edward berharap BNN dan Kemenkumham dapat kompak mengenai isu-isu yang akan dibahas bersama DPR.
"Terkait revisi Undang-Undang Narkotika yang akan dibahas di DPR, leading sector memang adalah Kementerian Hukum dan HAM. Namun, kami harus kompak mengenai isu-isu dan materi yang akan dilakukan pembahasan bersama DPR," ujar Edward Omar Sharif dikutip dari Antara.
Kurangi Besarnya Anggaran
Kalangan Dewan juga menyuarakan perlunya revisi Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu yang disorori adalah untuk mengatasi besarnya anggaran dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya, untuk belanja para warga binaan atau narapidana di Indonesia yang mencapai angka Rp1,8 triliun.
Desmond meyakini, melalui revisi UU Narkotika, beban negara terkait belanja makan narapidana di Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kemenkumham dapat dikurangi dari angka hampir 2 triliun rupiah itu.
"Dalam UU Narkotika ada 5 poin, misalnya kita bahas tentang rehabilitasi, beban itu dalam undang-undang kalau saya lihat masih pola lama. Rehabilitasi itu kalau masih tidak jelas antara bandar dan pemakai narkoba, putusan akan tetap sama, maka kelebihan kapasitas tidak akan terselesaikan,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.
Desmond menjelaskan, melalui revisi UU Narkotika nantinya akan diatur dengan jelas pihak yang akan bertanggung jawab atas kegiatan rehabilitasi dengan melibatkan pemerintah daerah. Di UU itu juga perlu ditetapkan bahwa setiap orang yang terbukti sebagai pemakai narkoba, untuk langsung direhabilitasi.
"Lalu masalah rehabilitasi ini tanggung jawab siapa? kalau kita pisahkan antara bandar dan pemakai. Pemakai dikategorikan rehabilitasi, hasil diskusi di Komisi III DPR, bagaimana pemakai itu langsung direhabilitasi tapi penanganannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, bukan ditanggung Kementerian Hukum dan Ham lagi,” ujarnya.
Dalam Raker Komisi III DPR, Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan tahun 2023 dianggarkan dana senilai Rp1,8 triliun untuk belanja Bapas Kemenkumham. Yasonna menyebutkan, anggaran yang besar tersebut karena kelebihan kapasitas di seluruh lembaga pemasyarakatan yang sebagian besar dihuni narapidana kasus narkotika.